EsaiPendidikan

Wanita Haid Harus Berpuasa?

2 Mins read

Oleh: Musthafa Kamal*

Sumber Ilustrasi: Lemonmove

KULIAHALISLAM.COM – Telah jamak diketahui bahwa haid bagi wanita bukan hanya dispensasi untuk meninggalkan puasa (jaiz at-tarki) melainkan bahkan sebuah larangan untuk mengerjakannya (mumtani’ al-fi’li). Pendapat ini hampir diafirmasi oleh semua yuridis Islam. Kata ‘hampir’ ini mengindikasikan bahwa ada segelintir yuridis yang kontra dengan pendapat demikian. Artinya keharaman wanita haid untuk berpuasa masih mempunyai celah dialektika. 

Pasalnya argumentasi mengenai keharaman wanita haid untuk berpuasa sejatinya tidak disebutkan oleh Al-Quran. Dasar yang digunakan oleh yuridis Islam adalah Hadis dari Aisyah, 

مَا بَالُ الْحَائِضِ تَقْضِى الصَّوْمَ وَلاَ تَقْضِى الصَّلاَةَ فَقَالَتْ أَحَرُورِيَّةٌ أَنْتِ قُلْتُ لَسْتُ بِحَرُورِيَّةٍ وَلَكِنِّى أَسْأَلُ. قَالَتْ كَانَ يُصِيبُنَا ذَلِكَ فَنُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّوْمِ وَلاَ نُؤْمَرُ بِقَضَاءِ الصَّلاَةِ.

Artinya: “Kenapa gerangan wanita yang haid mengqadha’ puasa dan tidak mengqadha’ sholat?” Maka Aisyah menjawab, “Apakah kamu dari golongan Haruriyah?” Aku menjawab, “Aku bukan Haruriyah,” akan tetapi aku hanya bertanya. Dia menjawab, “Kami dahulu juga mengalami haid, maka kami diperintahkan untuk mengqadha’ puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha’ shalat.” (HR Muslim).

Namun konsensus yuridis Islam mengenai hal di atas, belakangan ini dibantah oleh sejumlah intelek Islam kontemporer yakni, Dr. Ahmad Imarah dari Mesir dan Prof. Dr. Abdul Aziz Bayindir dari Istanbul Turki yang mencoba menggunakan pendapat Yuridis akan Mengenai Kebolehan Puasa Saat Haid

Menurut Imarah, tidak dijumpai dalil baik dalam Al-Quran maupun Hadis yang menjadikan haid sebagai penghalang untuk wanita melaksanakan puasa. Ia bahkan menegaskan bahwa sebuah kekeliruan bila wanita membatalkan puasanya lantaran sedang haid.

. لم يرد فى تلك المسألة أمر ولا نهى قرأنى أو نبوى وأن النساء المسلمات يخطئن بإفطار رمضان خلال أيام الحيض.

Baca...  Mudah Terpengaruh Hoax Karena Media Sosial

“Tidak ditemukan mengenai masalah ini (keharaman wanita haid berpuasa) perintah maupun larangan dalam Al-Quran dan Hadis bahwa wanita membatalkan puasa Ramadlannya di waktu sedang haid” 

Pendapat ini ia utarakan dalam unggahannya di Facebook beberapa tahun lalu dan telah ditonton lebih dari 65 ribu viewers. Pada intinya, Imarah tetap mengharuskan wanita haid untuk melanjutkan puasanya. Sudah dapat diduga pendapatnya ini ditentang keras oleh yuridis lainya. 

Lebih lunak lagi, pendapat yang disampaikan Abdul Aziz Bayindir dalam karyanya Mafahim Yanbaghi An Tusahhah, ia menampik pendapat bahwa haid adalah penghalang puasa. Menurutnya jika haid merupakan penghalang puasa lantas mengapa di lain waktu wajib diganti (qodo’)? 

ولو كان الحيض مانعا للصوم فما وجب عليها قضاء ما فات من أيام كالصلوات التى لا تقضيها بعدانتهاء أيام الحيض

“seandainya haid merupakan penghalang puasa, mengapa wajib bagi wanita untuk menggantinya? Tidak seperti shalat yang tidak perlu diqodo’ selepas haid”

Dengan bahasa satire, ia menyindir para yuridis bagaimana mungkin kita diperintahkan untuk mengganti ibadah yang jelas keharamannya. Menurut yuridis Islam puasa haram dilakukan namun yang agak menggelitik adalah mengapa harus diqodo’. Lebih lanjut mengenai qodo’ akan dijelaskan pada alenia berikutnya. 

Jika yuridis Islam lainya memposisikan haid sebagai penghalang, maka Bayindir hendak memposisikannya sebagai udzur. Dengan demikian, mengikuti alur logika ushul fiqh, wanita diberikan opsi antara melaksanakannya atau meninggalkannya. Sama seperti sakit, bukan lantas haram untuk berpuasa namun boleh memilih antara berpuasa atau tidak. Haid pun demikian, di masa haid wanita akan merasakan sakit yang luar biasa. 

Mengenai qodo’, Bayindir menggugat pemaknaan qodo’ sebagai mengerjakan ibadah di luar waktunya. Menurutnya sembari mengutip pendapat Ibnu Taimiyah bahwa qodo’ sejatinya mengerjakan ibadah pada waktuya bukan justru sebaliknya. Sebagai apologi, ia mengutip ayat Al-Quran فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ atau فَاِذَا قَضَيْتُمْ مَّنَاسِكَكُمْ. Kedua ayat ini berarti melaksanakan tepat pada waktunya. Menjadi kontradiktif apabila diartikan sebalinya. 

Baca...  Refleksi Bersama: Balada Kehadiran UU Omnibus Law

Hal ini merupakan sedikit contoh yang ingin menyampaikan kepada kita bahwa Islam tidak sebegitu jumudnya bahkan pada peristiwa yang diyakini telah terjadi konsensus dikalangan pemikir Islam. Pendapat hanya sebuah pendapat, kita diberikan keleluasaan untuk mengikuti mana yang sekiranya ideal untuk diikuti.  Wallahualam bishawab

*) Mahasiswa Perbandingan Mazhab Uin Sunan Kalijaga Yogyakarta

2492 posts

About author
Merupakan media berbasis online (paltform digital) yang menyebarkan topik-topik tentang wawasan agama Islam, umat Islam, dinamika dunia Islam era kontemporer. Maupun membahas tentang keluarga, tokoh-tokoh agama dan dunia, dinamika masyarakat Indonesia dan warga kemanusiaan universal.
Articles
Related posts
EsaiKeislaman

Pengaruh Ilmu Kalam Terhadap Radikalisme dan Sekularisme

2 Mins read
Bagaimana Ilmu Kalam Menghadapi Radikalisme dan Sekulerisme ? Radikalisme dan sekularisme adalah dua kutub ekstrem yang membahayakan keseimbangan sosial dan spiritual masyarakat….
FilsafatPendidikan

Masa Depan Pendidikan Islam Indonesia dari Problematika Pendidikan Islam

5 Mins read
Pendidikan Agama Islam selain sebagai sebuah disiplin ilmu dalam bidang pendidikan juga merupakan peran bagi tercapainya tujuan pendidikan itu sendiri. Karena penekanan…
ArtikelEsai

Bingkai Asa Dakwah dari Sudut Ibukota

2 Mins read
Pada Selasa malam, 10 Juni 2025 lalu menjadi tonggak sejarah bagi pengembangan strategi dakwah masyarakat kosmopolitan. Terbentuknya Formatur Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM)…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights