KULIAHALISLAM.COM-Sebagai muslim, kita terkejut dengan penyerangan pengajian habib Rizieq Shihab di Pemalang oleh gerombolan yang mengaku “pendukung Walisongo Indonesia”. Kelompok ini berpandangan bahwa habib bukanlah keturunan Rasulullah, melainkan imigran dari Yaman.Mereka juga menyerukan dakwah Islam kembali pada ajaran Walisongo. Terlepas dari polemik tersebut, sejatinya Walisongo adalah sembilan ulama yang sangat berpengaruh dalam penyebaran Islam di Jawa. Mereka adalah para tokoh yang memiliki peran penting dalam mengembangkan ajaran Islam di tanah Jawa pada abad ke-15 hingga ke-16 Masehi.
Salah satu aspek menarik dari Walisongo adalah latar belakang keturunan mereka yang mulia. Penelitian ilmiah telah menunjukkan bahwa beberapa Walisongo memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur keturunan Sayyidina Husain dan Sayyidina Hasan. Contohnya, Sunan Ampel (Raden Rahmat) diyakini sebagai keturunan Nabi Muhammad SAW melalui jalur Sayyidina Utsman bin Affan. Sementara itu, Sunan Gunung Jati (Syarif Hidayatullah) juga diyakini memiliki hubungan darah dengan Nabi Muhammad SAW melalui jalur keturunan Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Penelitian ilmiah tentang Walisongo telah banyak dilakukan oleh para peneliti sejarah Islam di Indonesia dan luar negeri. Menurut Dr. Azyumardi Azra, Walisongo memiliki peran penting dalam penyebaran Islam di Jawa melalui pendekatan yang damai dan toleran (Azra, 2004). Penelitian lain yang dilakukan oleh Dr. Martin van Bruinessen juga menunjukkan bahwa Walisongo memiliki hubungan yang erat dengan para ulama dan sufi di Timur Tengah dan India (van Bruinessen, 1995).
Pemahaman utuh tentang Walisongo sangat penting bagi muslim modern untuk memahami bahwa mereka adalah tokoh-tokoh syiar dakwah Islam di Jawa yang memiliki latar belakang keturunan mulia dengan filosofi dakwah yang toleran dan Rahmatan Lil alamin. Namun, ada kelompok-kelompok yang mengaku sebagai “pembela/pendukung Walisongo” tetapi jauh dari filosofi “Walisongo” yang dijalankan. Fenomena ini dapat dijelaskan sebagai “pseudo-affection” atau “cinta palsu”, di mana seseorang mengaku mencintai atau mendukung suatu kelompok atau ideologi, tetapi sebenarnya memiliki motif yang berbeda (Festinger, 1957).
Kita patut curiga bahwa apa yang dilakukan oleh kelompok ini adalah tipu muslihat musuh Islam. Menurut Gus Dur, “Musuh-musuh Islam seringkali menggunakan strategi adu domba dan tipu daya untuk melemahkan umat Islam dari dalam” (Islam dan Demokrasi)
Padahal dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman dalam surat Al-Anfal ayat 46: “Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.” Menurut Syaikh Ahmad Hassan, ayat ini menekankan pentingnya kesatuan dan persatuan di antara umat Islam, serta menghindari pertengkaran dan konflik yang dapat melemahkan kekuatan dan kesatuan umat (Tafsir Al-furqan)
Maka kita harus bersiaga kembali menguatkan karakter pribadi muslim dengan ibadah dan taqwa, guna menguatkan kapasitas moral iman insani. Kita harus waspada terhadap kemungkinan-kemungkinan yang terjadi akibat tipu daya musuh Islam serta tidak terjebak dalam konflik atau adu domba yang sejatinya tidak sejalan dengan konsep pemeluk agama Rahmatan Lil alamin.
Nasrun minnalahi wa fathun qarib
Referensi:
– Mulkhan, A. M. (2003). _Walisongo: Studi tentang Sejarah dan Peranannya dalam Penyebaran Islam di Jawa_. Yogyakarta: Penerbit Universitas Islam Indonesia.
– Azra, A. (2004). _Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII_. Bandung: Penerbit Mizan.
– van Bruinessen, M. (1995). _Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia_. Bandung: Penerbit Mizan.
– Festinger, L. (1957). _A Theory of Cognitive Dissonance_. Stanford University Press.
– Wahid, A. A. (1999). _Islam dan Demokrasi_. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
– Hassan, A. (tt). _Tafsir Al-Furqan_. Surabaya: PT. Karya Pembaharuan.