Saat mufassir dihadapkan ayat yang “berwajah” manusia
Dalam ilmu teologi Islam, terdapat kejadian klasik yang tak pernah usai: bagaimana menafsirkan ayat-ayat Alqur’an yang dikenal sebagai ayat mutasyabihat (ayat-ayat yang maknanya samar-samar). Ayat-ayat ini berisi deskripsi tentang Allah yang seolah-olah memiliki sifat fisik manusia—seperti Yad (Tangan), Wajh (Wajah), Istiwa’ (Bersemayam), hingga isu kemampuan manusia untuk melihat Allah di akhirat.
Inilah yang disebut antropomorfisme (Tasybīh atau Tajsīm), yaitu tindakan yang memberikan sifat, bentuk, atau karakteristik manusia kepada sesuatu yang bukan manusia, khususnya kepada Tuhan. Antropomorfisme berarti menggambarkan Allah dengan sifat-sifat fisik manusia, seperti tangan, wajah, atau duduk di atas ‘Arsy, seolah-olah sama dengan makhluk.
Namun, tradisi teologi Syiah Imamiyah memandang penyerupaan Tuhan dengan makhluk (tajsīm dan tasybīh) bertentangan secara fundamental dengan prinsip tauhid. Untuk menjaga kemurnian tauhid (tanzīh), para mufassir Syiah mengembangkan strategi penafsiran yang dikenal sebagai ta’wīl (interpretasi metaforis atau simbolis).
Artikel ini akan menguraikan strategi ta’wīl tersebut melalui studi banding terhadap dua tokoh tafsir Syiah terkemuka: Al-Qummi dan At-Tabarsi .
Strategi Al-Qummi : Mengalihkan isu dan takwil doktrinal
Muhammad Hasan Ali bin Ibrahim Al-Qummi, mufassir Syiah awal, menunjukkan pola yang sangat khas ketika berhadapan dengan ayat-ayat antropomorfis, yaitu cenderung tidak banyak menafsirkan ayat antropomorfis.
1. Taktik “Mengalihkan Fokus” (Melewati)
Strategi utama Al-Qummi adalah menghindari penafsiran literal dengan mengalihkan fokus ke isu lain yang tidak bertentangan dengan Tauhid:
– Fokus Fikih (Hukum) : Pada QS. Al-Baqarah [2]:115,
وَلِلَّهِ ٱلْمَشْرِقُ وَٱلْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ
“Dan kepunyaan Allahlah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap, di situlah Wajah Allah (Wajhu Allāh). Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
Dalam ayat tersebut yang mengandung kalimat ” Wajah Allah “, Al-Qummi tidak sama sekali menyinggung ayat mutasyabbih tersebut. Beliau justru fokus pada penjelasan hukum fikih tentang perbedaan arah-arah shalat yang diperbolehkan ketika shalat sunah dan shalat fardu.
– Fokus Asbābun Nuzūl : Demikian pula pada QS. Al-Mujadalah [58]:1,
قَدْ سَمِعَ ٱللَّهُ قَوْلَ ٱلَّتِى تُجَٰدِلُكَ فِى زَوْجِهَا وَتَشْتَكِىٓ إِلَى ٱللَّهِ وَٱللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَآ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌۢ بَصِيرٌ
“Sesungguhnya Allah telah mendengar (sami’a) perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. Dan Allah mendengar (yasma’u) soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar (Samī’un) lagi Maha Melihat (Baṣīr).”
Dalam ayat tersebut yang mengandung unsur Samī’a Allāh (Allah Mendengar), Al-Qummi memilih fokus pada penjelasan Asbābun Nuzūl (sebab turunnya ayat) dan hukum ẓihār. Selain itu, ia juga mencatat melewati penafsiran terhadap ayat-ayat seperti QS. Taha [20]:5 ( Istiwā’ ) dan QS. Al-Hadid [57]:29 ( Yad Allah ).
2. Takwil yang Mendalam dan Doktrinal
Meskipun sering menghindar, Al-Qummi juga melakukan pentakwilan:
Menolak Penyerupaan Fisik : Dalam menafsirkan QS. Al-Qasas [28]:88,
وَلَا تَدْعُ مَعَ ٱللَّهِ إِلَٰهًا ءَاخَرَ ۘ لَآ إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُۥ ۚ لَهُ ٱلْحُكْمُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
“Janganlah kamu sembah di samping (menyembah) Allah, tuhan apa pun yang lain. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Wajah-Nya (Wajhahu). Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.”
Dalam ayat tersebut yang menyebutkan ” … kecuali Wajah -Nya ( Illā Wajhahu ) “, Al-Qummi menolak adanya tajsim dan sifatan. Beliau mengartikan “Wajah Allah” sebagai agama Allah ( din-Nya ).
Takwil Rasional : Pada QS. Al-An’am [6]:103,
لَّا تُدْرِكُهُ ٱلْأَبْصَٰرُ وَهُوَ يُدْرِكُ ٱلْأَبْصَٰرَ ۖ وَهُوَ ٱللَّهُ ٱللَّطِيفُ ٱلْخَبِيرُ
“Dia tidak dapat dicapai (lā tudrikuhu) oleh penglihatan mata, sedang Dia meliputi (yudriku) segala penglihatan itu. Dan Dialah yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui.”
Yaitu tentang Allah yang “ menguasai penglihatan ,” Al-Qummi menakwilkan يُدْرِكُ (yudriku) menjadi يُحِيطُ (yuḥīṭu) yang berarti mencakup atau menguasai. Pola Al-Qummi menunjukkan bahwa ia berhati-hati dalam menafsirkan ayat mutasyabihat dan berusaha menghindari tasybīh.
At-Tabarsi : Bantahan sistematis dan komparasi rasional
At-Tabarsi (pengarang tafsir Majma’ al-Bayān) juga berada dalam bingkai teologi yang sama. Syiah Imamiyah menolak tajsīm dan tasybīh. Mereka menafsirkan sifat-sifat tersebut secara metaforis (ta’wīl.).
Prinsip Ta’.wil : Sama seperti Al-Qummi, At-Tabarsi dan ulama Syiah lainnya menafsirkan secara metaforis: Yad (Tangan) memerintah sebagai kekuasaan, Wajh (Wajah) sebagai dzat abadi, dan Istiwa’ (Bersemayam) sebagai penguasaan mutlak.
Contoh Implementasi : Dalam menafsirkan QS. Al-Fath [48]:10
إِنَّ ٱلَّذِينَ يُبَايِعُونَكَ إِنَّمَا يُبَايِعُونَ ٱللَّهَ يَدُ ٱللَّهِ فَوْقَ أَيْدِيهِمْ ۚ فَمَن نَّكَثَ فَإِنَّمَا يَنكُثُ عَلَىٰ نَفْسِهِۦ ۖ وَمَنْ أَوْفَىٰ بِمَا عَٰهَدَ عَلَيْهُ ٱللَّهَ فَسَيُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
“Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka (Yadu Allāhi fawqa aydīhim). Maka barang siapa yang melanggar janjinya niscaya akibat pelanggaran itu akan menimpa dirinya sendiri dan barang siapa menepati janjinya kepada Allah, maka Allah akan memberinya pahala yang besar.”
( Yad Allāh fawqa aydīhim , “Tangan Allah di atas tangan mereka”), Yad Allāh pertolongan sebagai pertolongan dan kesaksian Allah, bukan tangan fisik. Jika Al-Qummi di era awal menggunakan strategi menghindar dan menakwil secara doktrinal (Imam-sentris), At-Tabarsi di era klasik cenderung lebih sistematis dan rasional dengan menyajikan argumentasi linguistik untuk takwil tersebut dan secara eksplisit menolak pandangan Mujassimah (mereka yang mempercayai Tuhan memiliki tubuh).
Konsistensi menjaga kemurnian tauhid
Meskipun gaya mereka berbeda—Al-Qummi fokus pada riwayah dan At-Tabarsi lebih komparatif —kedua mufassir Syiah ini memiliki tujuan akhir yang sama: menjaga kemurnian Tauhid (tanzīh ) dari penyerupaan fisik (tajsīm). Penafsiran yang menolak antropomorfisme tidak hanya menjaga kemurnian Tauhid, tetapi juga memenuhi standar tafsir yang sahih dan ilmiah. Validitas tafsir i’tiqādī ditentukan oleh kesesuaiannya dengan: Sumber tafsir yang sahih (Al-Qur’an dan hadis),
Analisis Kaidah Tafsir, dan tanpa adanya klaim kebenaran sepihak (Truth Claim). Dengan demikian, melalui strategi ta’wīl dan fokus fokus, Al-Qummi dan At-Tabarsi telah berhasil membimbing pembaca untuk memahami sifat-sifat Allah bukan sebagai wujud manusia, melainkan sebagai Dzat yang Maha Suci dan mutlak..

