Penulis: Muhammad Ihza Fazrian*
Hassan Hanafi Merupakan seorang tokoh pemikir muslim kontemporer. Ia dilahirkan di kota Kairo, Mesir pada 13 Februari 1935. Berasal dari keturunan Maroko yang menetap di Mesir. Sejak kecil ia sudah menghafalkan Alqur’an dan belajar di madrasah setempat.
Ia berkuliah di Universitas Kairo dengan mengambil jurusan filsafat dan berhasil mengambil gelar sarjana di tempat tersebut. Kemudian ia melanjutkan kuliahnya ke Sorbone University, Prancis dan menyelesaikan disertasinya yang berjudul Les Metodes de’Exegese: Esai Sur Le Science den Fondaments de la Comprehension, ilm Ushul al Fiqh.
Karyanya tersebut menjadi karya ilmiah terbaik di Mesir. Ia juga menggagas gerakan at-turats wa tajdid (gagasan tentang tradisi dan pembaharuan) dan mendirikan organisasi bernama Yasar al-Islami (kiri Islam) sebagai bentuk pergerakan yang menunjang pemikiran-pemikirannya.
Pemikiran Hermeneutika Hassan Hanafi
Pemikiran Hassan Hanafi tidak serta merta menjurus pada bidang hermeneutika saja. Hal ini karena sosoknya lebih dikenal sebagai filsuf muslim, bukan pakar hermeneutik yang belakangan masuk dalam katagori mufasir.
Namun bila berbicara tentang hermeneutika, Hassan Hanafi memiliki pandangan yang menarik, terkhusus mengenai wahyu dan sunnah. Menurutnya memahami kedua hal tersebut dalam hermeneutika tidak sebatas wilayah interpretasi atau mencari pemaknaan saja, tetapi lebih dalam yaitu menjelaskan proses penerimaan wahyu tersebut dari wilayah perkataan hingga wilayah duniawi (membumi).
Wahyu, sunnah, dan hadis sebagai dasar tasyri’ bagi Hassan Hanafi bersifat diam dan statis. Artinya dibutuhkan pemahaman agar semuanya dapat hidup dan memberikan kebermanfaatan. Kalau berbicara sunnah sebagai varian dari sumber hukum, sunnah merupakan sesuatu yang berasal dari Nabi Muhammad yang berupa ucapan, perbuatan, dan ketetapan, lebih luas daripada hadis yang hanya sebatas ucapan Nabi saja.
Hassan mengkritik metode penafsiran klasik. Menurutnya, penafsiran klasik mengandung krisis orientasi. Hal ini dapat dilihat dengan tiga hal, pertama adalah bahwa penafsiran klasik hanya berfokus pada penfasiran atas suatu sosok saja. Misalnya tentang penafsiran atas wujud Allah yang terjabar dengan esensi, sifat, dan lain sebagainya.
Hal ini tidak mengarah kepada sesuatu yang lebih penting seperti hubungan manusia dan alam. Kedua bahwa tafsir klasik terlalu berkutat pada hal-hal yang sifatnya terlalu ekonomis dan sosial. Ketiga bahwa tafsir klasik selalu dimulai dengan hal-hal yang sifatnya perbaikan meskipun diluar lingkup agama, tidak melakukan kritik terlebih dahulu.
Upaya yang dilakukan oleh Hassan Hanafi dalam bidang hermeneutika mengarah kepada suatu wacana yang dikenal dengan “hermeneutika emansipatoris” atau hermeneutika pembebasan. Hermeneutika Hassan Hanafi ini juga menekan kan aspek rasionalitas sebagai bentuk revitalisasi pemikiran Islam. Setidaknya ada beberapa hal yang penting untuk dipahami dalam memahami wacana tersebut. Di antaranya adalah:
Kesadaran Atas Sejarah
Konsep pertama ini ditinjau dari pelaku yang meriwayatkan suatu teks wahyu dan ia diposisikan sebagai sosok yang bertanggungjawab atas orisinalitasnya. Ada dua metode yang digunakan dalam konsep ini, pertama adalah metode transferensi tulisan (an-naql al-maktub). Yakni pengambilan teks dari Alqur’an dan hadis secara langsung. Kedua adalah metode tranferensi lisan (an-naql as-syafahi) yang berfokus pada sunnah.
Dalam menjamin keasliannya, Hassan Hanafi menyatakan bahwa syarat pertama adalah teks harus dicatat sesuai dengan lafal-lafal yang apa adanya. Artinya periwayatnya harus ada bersamaan dengan penyampaiannya yang juga ditulis.
Kedua bahwa teks-teks yang ada seharusnya tersimpan dalam bentuk catatan sehingga tidak ditemukan kecacatan yang berupa pengurangan atau penambahan atas teks-teks tersebut.
Ketiga, malaikat dan Nabi sebagai sosok yang mampu berkomunikasi dengan Allah pastilah objektif terhadap umat yang merupakan targetnya. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka keasliannya dapat dijamin dan sempurna.
Kesadaran Eidetis
Kesadaran ini diterapkan setelah uji keaslian dari teks telah selesai orisinalitasnya terjamin. Eidetis atau interpretasi atas teks harus dilakukan. Syaratnya tidak terletak pada kewewenangan atas suatu instansi atau lembaga tertentu. Melainkan kesadaraan sejarah dan pemahaman kebahasaanlah yang menjadi syaratnya.
Hassan Hanafi membagi kesadaran eidetis menjadi tiga tahap analisis. Pertama, penggunaan kemampuan linguistik sebagai alat yang mengantarkan keapda pemahaman atas teks. Kedua, analisis sejarah untuk meninjau latar belakang lahirnya teks tersebut, secara situasi dan kondisi yang melingkupinya.
Ketiga, generalisaasi yaitu dengan menkondisikan situasi saat ini dan situasi sejarah teks tersebut lahir sehingga melahirkan situasi yang lain. Pemahaman tersebut dapat digunakan sebagai hal baru dalam menyikapi kondisi kemasyarakatan.
Kesadaran Praksis
Kesadaran ini dilakukan setelah dua konsep di atas telah terlaksana. Dengan berhasilnya menguji orisinalitas teks dan interpretasi atasnya, diharapkan dapat memberikan pengaruh yang sesuai dengan konteks masyarakat.
Upaya ini disebut dengan kesadaran praksis. Yakni sebuah upaya agar teks-teks yang sifatnya statis menjadi dinamis dengan dibumikannya teks-teks tersebut. Berangkat dari keyakinan dan pemahaman atas teks, nantinya hal tersebut hanya dapat dilegitimasi dengan aksi yang nyata.
Hassan Hanafi juga menyatakan bahwa konsep kesadaran praksis ini tidak terikat dengan doktrin apapaun yang berkaitan dengan teks tersebut. Hanya saja, dalam memahami teks yang ada bukan berarti pemahaman yang pernah muncul atasnya harus ditinggalkan.
Wacana Emansipatoris Dalam Hermeneutika Hassan Hanafi
Emansipasi atau pembebasan merupakan aspek yang wajib disorot apabila berbicara tentang pemikiran Hassan Hanafi. Perlu diketahui bahwa meskipun dirinya lebih dikenal sebagai seorang filsuf muslim daripada pakar hermeneutika, konsep-konsep yang ia hadirkan terkhusus dalam menyikapi tradisi Islam sangat menonjolkan wacana yang bersifat emansipatif.
Kalau melihat banyaknya intelektual muslim sekarang yang hanya menjabarkan teks secara normatif saja, kiranya hal tersebut dapat memberikan problem serius. Begitu juga kalau penjabaran atas teks hanya ditangkap sesuai dengan otoritas para pengampunya saja, tentunya juga dapat memberikan konsekuensi yang serius lagi karena hal ini ditangkap oleh para penyimak.
Oleh sebab itu, wacana emansipatoris yang terdapat dalam hermeneutika Hassan Hanafi sangatlah relevan. Hal ini karena ia mengajak agar pembacaan atas teks harus ditinjau ulang secara kritis, baik berupa sejarah teks tersebut dan segala hal yang melingkupinya.
Kemudian dilanjutkan dengan pemahaman yang menyeluruh sangat diperlukan untuk menginterpetasi teks tersebut juga diharuskan. Hal ini bertujuan agar dapat menimbulkan kesadaran yang lebih luas lagi yakni kesadaran agar teks tersebut dapat hidup sesuai konteks yang berlaku.
Referensi
- Hassan Hanafi. Studi Filsafat 2 ; Pembacaan atas Tradisi Barat Modern. LkiS, 2014.
- Hermanto Halil. “Hermeneutika al-Qur’an Hassan Hanafi; Memadukan Teks Pada Realitas Sosial Dalam Konteks Kekinian.” al-Thiqah 1 (2018).
- Muhammad Patri Arifin. “HERMENEUTIKA FENOMENOLOGIS HASAN HANAFI.” Rausyan Fikr: Jurnal Ilmu Studi Ushuluddin dan Filsafat 13 (2017).
- Ummi Kalsum Hasibuan. “KAJIAN HERMENEUTIKA: (Telaah Konsep Hermeneutika Emansipatoris Hassan Hanafi).” Jurnal Ulunnuha 9 (2020).
*) Mahasiswa Program Studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pegiat diskusi dalam forum Balai Sunyi.