Urgensitas pendekatan bimbingan konseling pada anak dan remaja. Individu atau manusia itu sendiri pada hakikatnya merupakan makhluk yang berpikir (homo sapiens) dan makhluk yang beragama (homo religious) yang tidak akan pernah luput dari esensinya.
Disamping itu manusia juga dikatakan sebagai homo social yang dimana manusia sangat membutuhkan individu lain untuk berinteraksi, berbagi empiris, dan saling bertukar pikiran antara individu dengan individu lainnya.
Sebagaimana diemanasikan dalam Alqur’an pada (QS. Az Zariyat: ayat 49), Allah SWT berfirman: “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah)”. Dari ayat tersebut dapat ditarik sebuah silogisme bahwa ketika manusia dilahirkan di dunia, manusia tidak mampu untuk hidup individualis dalam tataran dunia yang realitasnya disuguhi oleh berbagai macam deviasi, kontradiktif, atau problematika yang lambat laun hal-hal tersebut akan di alami oleh setiap individu. Ketika individu terlahir, sudah mendapatkan bantuan atau bimbingan dari orang lain yang dikonotasikan sebagai orang tua.
Orang tua merupakan sebuah wadah konseling yang pertama kali akan didapatkan seorang anak dalam ruang lingkup keluarga. Setiap orang tua memiliki pola asuh tersendiri baik itu pola asuh demokratis, otoriter, dan pola asuh permisif dalam mendidik anaknya.
Ketika individu beranjak remaja, deviasi yang akan dihadapinya akan semakin besar. Sehingga secara tidak sadar bukan hanya orang tua/keluarga saja yang dibutuhkan, melainkan teman sebaya yang sefrekunsi dengannya sangat dibutuhkan dalam mencapai aktualisasi yang diinginkan
Seperti Praktik Kerja Lapangan (PKL) yang saya lakukan di sebuah panti sosial sentra paramita yang ada di lombok, Nusa Tenggara Barat. Sentra Paramita merupakan tempat/wadah untuk membimbing/mendidik anak-remaja yang terbilang masih dibawah umur yang menjadi korban kekerasan dan penyimpangan yang dilakukan oleh lingkungan sosial maupun orang-orang terdekatnya.
Disana saya selaku mahasiswa melakukan observasi sekaligus praktik untuk melihat interaksi, esensi, dan perkembangan anak-anak yang sedang dalam proses bimbingan untuk menjadi individu yang bermamfaat untuk diri sendiri, keluarga, serta lingkungan tempat tinggalnya.
Berdasarkan hasil observasi dan praktik yang dilakukan, saya melihat beberapa anak begitu antusias dengan kedatangan kami, karna disamping guru pembimbing yang ada di sentra paramita, anak-anak juga sangat membutuhkan teman sebaya atau seorang mentor yang mampu memahaminya baik dari segi intelektual ataupun perasaan yang dirasakannya.
Sehingga, saya menerapkan bimbingan konseling sebaya untuk menkaji lebih transenden permasalah yang dialami oleh anak-remaja yang ada di panti sosial paramita. Bimbingan konseling sebaya atau biasa disebut peer counseling ialah suatu program bantuan yang dilakukan oleh individu terhadap indvidu yang lain dengan konteks memiliki usia yang tidak jauh berbeda antara konselor dengan konseli (teman sebayanya).
Dalam pemberian peer counseling, disamping itu saja juga menggunakan pendekatan konseling kelompok namun kadang kala saya menerapkan konseling individu bagi anak yang memiliki self esteem rendah.
Saya melihat beberapa komparatif, dimana anak-remaja lebih dominan mengutarakan secara detail apa yang dialami dan dirasakannya saat melakukan konseling individu, dibandingkan dengan konseling kelompok anak-remaja lebih dominan merasa malu untuk mengutarakan apa yang dirasakannya. Namun secara universal tetap aksiologinya yaitu membantu anak-remaja untuk membangkitkan satohat dalam dirinya serta membangaun konsep diri yang positif agar mampu menjadi pribadi yang lebih baik dari sebelumnya.
Dari data empirik tersebut, saya memproleh begitu urgensinya pendekatan bimbingan konseling dalam membantu sesama individu dari berbagai kalangan usia untuk membentuk karakteristik dan apateia (kontrol diri) terhadap diri anak-remaja yang dalam konotasinya masih memiliki hasrat ingin tahu tinggi serta mudah terpengaruh oleh lingkungan yang berada di sekitar mereka.
Sehingga dari pemaparan epistemologi yang saya peroleh dari praktik kerja lapangan, saya menarik sebuah silogisme secara universal bahwa bimbingan konseling tidak hanya memberikan bantuan atau bimbingan semata terhadap individu yang sedang menghadapi krisis dalam hidupnya. Melainkan bimbingan konseling bisa sebagai mediator atau wadah seseorang untuk bercerita, bertukar pikiran, berbagi pengalaman, serta mampu menjadi keluarga dalam ranah sosial.