Teologi pembebasan (liberal theology) pada awal mulanya adalah gerakan keagamaan yang muncul pada akhir abad ke-20 Katolik Roma yang berpusat di Amerika latin. Pencetusnya adalah Gustavo Gutierrez seorang pakar teolog dari Peru. Ia berupaya menerapkan keyakinan agama dengan berupaya memperhatikan penderitaan rakyat yang miskin, tertinggal dan tertindas.
Kemudian jika kita tarik teologi pembebasan pada sejarah pemikiran dan peradaban Islam, maka memunculkan sebuah gerakan-gerakan revolusi dalam Islam sebagai bentuk representasi kaum-kaum tertindas, seperti halnya Asghar Ali Engineer. Islam yang merupakan agama sebagai pembawa rahmat bagi seluruh alam terutama untuk umat manusia mempunyai sebuah tujuan memerdekakan umat manusia dari rantai-rantai penindasan.
Dalam hal ini Asghar Ali Engineer berpendapat bahwasannya tujuan utama dari agama itu sendiri adalah sebagai persaudaraan yang bersifat universal (universal brotherhood), kesejahteraan (equality) dan keadilan sosial (social justice).
Di samping itu nabi Muhammad sebagai pembawa Islam mempunyai semangat profetik dan liberative yang mana nabi Muhammad tidak mempunyai misi membentuk sebuah masyarakat homogen kaum muslim saja, akan tetapi cita-cita sebenarnya adalah menghancurkan kezaliman, kesenjangan dan diskriminasi yang terjadi pada saat itu.
Hal ini bisa di lihat ketika nabi mensyiarkan agama Islam dengan menekankan pentingnya sebuah ilmu pengetahuan yang mana nabi menyuruh umat Islam untuk membaca dan menulis setelah sekian lama bangsa Arab terkungkung dalam kebodohan dan keterbelakangan, beliau juga meletakkan asas-asas perdamaian, kemandirian ekonomi, mengangkat derajat perempuan yang pada saat itu perbudakan masih banyak di eksploitasi oleh saudagar-saudagar kaya.
Begitu juga dalam aspek-aspek keadilan dan kesejahteraan beliau juga menekankan sebuah permusyawaratan dalam mengambil sebuah keputusan dan mengecam saudagar-saudagar kaya yang menumpuk hartanya tetapi enggan (kikir) tidak mau berbagi kepada sesamanya.
Dalam bukunya yang berjudul “Islam and liberation theology (1990)”, Asghar Ali Enginer mempunyai 3 proyek mendasar tentang pemikirannya. Pertama, mengenai hubungan antara akal dan wahyu yang saling menunjang. Kedua, mengenai pluralitas dan diservitas agama sebagai keniscayaan. Ketiga, mengenai watak keberagaman yang tercermin dalam sensivitas dan simpati terhadap penderitaan kelompok masyarakat lemah.
Dalam Islam menurut Asghar Ali ada suatu problem ketika membicarakan tentang teologi, menurutnya teologi dalam Islam bersifat statis (status quo) hanya di hafalkan tidak mendorong kecerdasan berfikir dalam umat Islam dan tidak memberikan kontribusi kemajuan bagi umat Islam sendiri, status quo juga berhubungan dalam sistem politik yang mana teologi di jadikan alat bagi penguasa dalam melanggengkan sebuah kekuasaan dengan dalih atas nama agama.
Kemudian menurut engineer teologi Islam sering di jalankan hanya dalam ranah metafisik saja dan tidak menyentuh sisi subtansi berupa keadilan, kedamaian, kesejahteraan bagi umat Islam. Hal ini jauh berbeda dengan teologi pembebasan yang lebih cenderung mengarah kepada hal-hal yang konkret dan historis, di mana titik penekanannya bertuju pada realitas sosial yang terjadi, bukan realitas yang bersifat abstrak.
Oleh sebab itu teologi pembebasan tercetus karena di latar belakangi oleh masalah sosio-ekonomi, yang sedang terjadi dan juga membicarakan tentang masalah psiko-sosial. Struktur social yang sangat menindas kemudian harus diubah, sehingga terciptalah sebuah keadilan dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, optimis, membutuhkan kesabaran yang luar biasa, dan keyakinan yang kuat.
Sebab secara psikologis, masyarakat yang hidup dalam lingkungan yang menindas akan cenderung frustrasi, pesimis, mudah terombang-ambing, suka jalan pintas, pasrah dan lemah keyakinan. Kondisi psikis semacam inilah harus diatasi dengan munculnya sebuah keyakinan teologis yang kuat agar mendorong mereka untuk giat mengubah nasibnya sendiri tanpa rasa frustrasi, dan menjadikan sumber motivasi kaum tertindas untuk mengubah keadaan mereka dan menjadikan kekuatan spiritual untuk mengomunikasikan dirinya secara berarti, dengan memahami aspek-aspek spiritual yang lebih tinggi. (Kursani Ahmad, 2011).
Teologi pembebasan mengandung sebuah makna mendalam tentang sebuah kombinasi refleksi dan aksi, teori dan praktek, yang mana dalam bahasa agama di kenal dengan sebutan iman dan amal. Hal ini senada dengan ayat yang ada di dalam Alquran ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَمِلُوا۟ ٱلصَّٰلِحَٰت , yang mana kata amanu kebanyakan beriringan dengan kata ‘amalus-salihat, karena pada hakikatnya Islam tidak hanya selesai dengan berlandaskan sebuah iman saja, tetapi juga harus di buktikan dengan produk perilaku yang bermasalahat (saleh).
Kedua hal ini merupakan produk pemikiran dan perilaku yang harus di kombinasikan dan di ikuti secara praktis dalam teologi pembebasan, karena pada dasarnya teologi pembebasan mempunyai misi penting dalam menjadikan manusia merdeka secara sepenuhnya. Jadi teologi pembebasan berupaya untuk menjadikan mereka yang lemah dan tertindas menjadi makhluk yang independen dan aktif, dengan cara ini manusia bisa terbebas dari segala bentuk penindasan.
Asghar Ali Engineer juga menegaskan bahwasannya menafsirkan tauhid bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (unity of mankind). menurutnya tauhid di sini mengandung sebuah esensi aspek-aspek keadilan dan kesatuan yang melintasi batas-batas keyakinan, yakni menjaga sebuah kesetaraan manusia, hal ini bisa di tempuh dengan menolak diskriminasi dalam bentuk apapun, entah itu berkaitan dengan agama, ras, suku, budaya maupun kelas ekonomi seseorang.
Dengan demikian, konsep ini harus di tempuh agar terwujud konsep tauhid yang sesuai dengan semangat Alquran yaitu menciptakan keadilan dan kebajikan (al-adl wa al ahsan). Dan selaras dengan pesan kemanusiaan nabi Muhammad yang di sabdakan dalam Haji wada’ (perpisahan) :
“Katakanlah kepada mereka, darahmu, hartamu, dan kehormatanmu adalah suci, sesuci hari ini sampai masanya kamu menghadap Tuhan,”