Sumber gambar : dokumen pribadi |
Kita tahu bersama bahwa tujuan sebuah agama adalah untuk memenuhi hajat masyarakat luas. Misalnya, problem kemiskinan yang hampir merata disetiap lapisan masyarakat, problem ketidakadilan bagi setiap sektor kehidupan dan problem kebijakan politik yang timpang dan merugikan halayak ramai, ini merupakan siklus problem yang tidak bisa dipisahkan.
Dilihat dari perspektif di atas seharusnya Agama dapat menjadi penolong bagi kaum mustadh’afin, kaum yang lemah, tidak berdaya dan dapat menjadikan Agama sebagai rahmatan lil alamin, pengayom, penyelamat dan memberikan ketenangan kepada segenap masyarakat yang ada di sekitar pemeluk agama tersebut.
Bukan malah sebaliknya, Abai terhadap problem kemiskinan dan penindasan yang kasatmata di hadapan mereka. Kaum agamawan yang celaka adalah mereka yang “menghalangi, menghambat” individu, kelompok, atau sistem yang berusaha memberikan bantuan pertolongan dan pemberdayakan kepada kaum miskin.
Oleh karena itu, perlawanan atas sistem yang rakus dan menindas hanya dapat muncul dari kesadaran beragama yang berpihak terhadap kaum duafa dan mustadh’afin sebagaimana tertuang dalam surat Al-Maun, dengan demikian Agama dapat memihak terhadap keadilan – hak setiap orang untuk hidup dan hak atas sarana-sarana kehidupan dan penghidupan.
Siapa yang berjuang untuk mempertahankan kehidupan, memberikan bantuan karitas dan pemberdayaan kapasitas dan otoritas kepada kaum miskin, itulah dia yang “shalatnya menyelamatkan” kemanusiaan, Ia Mujahid anti kemiskinan dan pembela kaum miskin, Ia juga siap mati syahid dalam membela hak-hak kaum miskin dari para Begundal kapitalis neoliberalis dan kaki tangannya orang-orang jahil. (Zaqiyuddin Baidhawy, 2009 : 120)
Teologi Al-Mu’min dalam Muhammadiyah
Sudah sama-sama kita ketahui, salah satu latarbelakang berdirinya organisasi Muhammadiyah adalah tentang surat Al-Ma’un ini. ketika itu KH Ahmad Dahlan mengajarkan Qur’an Surat al-Ma’un kepada para muridnya secara berulang-ulang dalam waktu yang relatif lama, lalu salah satu murid bertanya mengapa Kyai tidak mengajarkan ilmu lain, karena mereka sudah berkali-kali mendapatkan pelajaran yang sama.
Lalu disanalah terdapat pesan moral yang amat luar biasa dari seorang KH Ahmad Dahlan. Bahwa ibadah ritual tidak ada artinya jika pelakunya tidak melakukan amal sosial. Surat ini bahkan menyebut mereka yang mengabaikan anak yatim dan tak berusaha mengentaskan masyarakat dari kemiskinan sebagai ‘pendusta agama’
Manifestasi inilah yang kemudian diterjemahkan kedalam tiga pilar yang menjadi fokus besar Muhammadiyah, yaitu healing (pelayanan kesehatan), schooling (pendidikan), dan feeding (pelayanan sosial). Spirit pelayanan kemanusiaan yang dilakukan secara massif inilah yang diyakini mengapa gerakan itu terus hadir dan berusia lebih dari satu abad.
Muhammadiyah pun memiliki banyak amal usaha di berbagai bidang di seluruh Indonesia bahkan kini menjangkau negara-negara lain di dunia. Penerjemahan itulah yang kemudian melahirkan lembaga pendidikan, kesehatan dan penyantunan orang miskin juga melakukan transformasi pemahaman keagamaan dari sekadar doktrin-doktrin sakral. (Andri 2018, 163).
Perkembang pesat Lembaga Amil Zakat Muhammadiyah (LazisMu) bahkan dapat diterjemahkan sebagai internalisasi nilai-nilai Al-Mu’min. Para Amil merupakan para mujahid yang berupaya melakukan penerjemahan dalam bentuk penghimpunan dana zakat, infaq, shadaqah, dan wakaf, kemudian disalurkan kepada masyarakat dengan berbagai layanan program yang sistematis dan terukur (Hendri 2020).
Dari Manifestasi surat Al-Ma’un ini lah Setidaknya hari ini Muhammadiyah memiliki 19.951 Sekolah, ada 102 Pesantren, 176 perguruan tinggi. Selain itu muhammadiyah juga memiliki amal usaha yang lain yaitu 457 Rumah Sakit, 635 Panti asuhan dan Panti jompo, 82 Rehabilitasi cacat, 71 Sekolah luar biasah (SLB), 13.000 Masjid dan musholah. 437 Baitul maal, 762 Bank Kredit Syari’ah. (“Lembaga pendidikan islam abad ke XX,” Jurnal Garuda Risdikti, No. 2 (Desember, 2015) hal. 238-239.)