Secara historis, kebanyakan agama dan keyakinan pada masa pra-Renaissance cenderung mengabaikan, bahkan menghancurkan substansi esensial manusia. Pada masa itu, tak jarang manusia dipaksa untuk mengorbankan nyawa orang-orang terkasihnya demi apa yang mereka sebut sebagai “suguhan”—untuk tidak menyebut tumbal—dewa-dewi mereka. Salah satu sebab dari hal ini adalah keyakinan mereka yang menyatakan bahwa bencana alam dan krisis merupakan manifestasi dari kemarahan dewa-dewi. Sehingga, harus ada nyawa yang dipersembahkan agar amarah itu mereda.
Manusia, pada periode itu, sama sekali tidak memiliki nilai dan martabat. Manusia dipahami sebagai entitas kosong nilai. Tak ada konsepsi tentang manusia kecuali hanya sebatas pengabdi para dewa-dewi. Bahkan, jika memang diperlukan, nyawanya dan orang terkasihnya pun harus direlakan dalam pengabdian itu.
Konsepsi tentang manusia yang tak bernilai ini menjadi konsepsi yang dominan selama berabad-abad. Hingga pada akhirnya muncul konsep “Humanisme” pada masa Renaissance di abad ke-14 M.
Secara garis besar, konsep humanisme lahir sebagai gagasan alternatif yang hendak mendekonstruksi konsepsi-konsepsi tentang manusia yang mengabaikan nilai, potensi, dan martabat manusia, serta menegaskan peran krusial manusia dalam kehidupan secara keseluruhan.
Tokoh yang sering dianggap pertama kali mencetuskan konsep humanisme ini adalah Francesco Petrarca (1304-1374), seorang penyair Italia. Hingga ia dinobatkan sebagai “Bapak Humanisme Dunia.”
Namun, jika kita menelisik jauh sebelum Renaissance, konsep humanisme sebenarnya sudah dibicarakan secara gamblang dalam Al-Qur’an. Sebagaimana dikatakan Ali Shariati (1933–1977), seorang sosiolog muslim dari Iran, “Al-Quran adalah kitab suci atau buku yang paling banyak membicarakan humanisme.”
Al-Qur’an menjelaskan begitu rinci tentang konsep humanisme dari mulai proses penciptaan manusia hingga peran krusialnya pada tatanan sosial.
Sebagaiman dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah, ayat 30, pada mulanya, Allah hendak menciptakan Adam—representasi dari manusia—sebagai khalifah di muka bumi. Namun, banyak malaikat yang skeptis dengan hal ini, karena, sebelum Adam diciptakan, Allah telah menciptakan manusia-manusia lain yang membuat kerusakan di dunia. Namun, Allah menjawab keragu-raguan itu dengan tegas:
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui.”
Setelah itu, Allah mulai menciptakan Adam. Namun, dalam proses penciptaannya, ada hal yang membuat para malaikat tertegun. Alih-alih memilih materi paling suci, Allah memilih tanah dan lumpur sebagai bahan utama pembuatan Adam.
Kemudian, setelah tanah dan lumpur itu terbentuk, Allah meniupkan ruh suci-Nya ke dalamnya, dan terciptalah Adam sebagai cikal bakal manusia.
Pada titik ini, aspek simbolik dari kisah penciptaan Adam dalam Al-Qur’an berawal. Al-Qur’an menjelaskan betapa luar biasanya manusia ini, ia diciptakan dari dua unsur yang saling berlawanan. Lumpur, unsur paling rendah—tidak ada makhluk yang eksis di alam yang lebih rendah dari lumpur—dipadukan dengan ruh yang bersumber langsung dari wujud yang paling suci.
Dengan demikian, manusia adalah makhluk dua dimensi: materi dan ruh, dan oleh karena itu memiliki dua sifat yang berlawanan. Namun, dengan kehendak bebas yang ia miliki, ia bisa memilih untuk turun menuju titik terendah sebagai makhluk hidup, yakni lumpur; atau naik menuju puncak kemuliaan, yakni sumber ruh-Nya: Allah.
Setelah Adam terwujud, Allah memberinya pengetahuan tentang nama-nama dan memerintahkan untuk mengajarkannya kepada para malaikat—termasuk Iblis yang pada saat itu masih menjadi golongan malaikat. Setelah itu, Allah memerintahkan seluruh malaikat untuk bersujud kepada Adam. Namun, malaikat yang bernama Iblis menyuarakan protes:
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ ۖ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍ
“Kami tercipta dari api tanpa asap dan manusia dari tanah; mengapa Engkau mengutamakan manusia daripada kami?”
Allah kembali menjawab dengan tegas:
قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Aku mengetahui apa yang kamu tidak ketahui; bersujudlah kepada makhluk dua dimensi-Ku ini.”
Di sisi lain, ketika seluruh makhluk ditawari amanah sebagai wakil-Nya di muka bumi, tak ada satu pun yang mau menerimanya. Hingga pada akhirnya Adam, dan segenap keturunannya, diberi amanat oleh Allah sebagai wakil-Nya (khalifah) di muka bumi.
Menurut Shariati, amanat ini termanifestasi sebagai kehendak bebas manusia. Dengan amanat ini, manusia bisa berbuat seperti tuhan, namun hanya pada derajat tertentu.
Dari kisah di atas, Allah hendak memberitahukan kepada para malaikat—bahkan seluruh makhluk—bahwa Adam, sebagai cikal bakal dari manusia, adalah makhluk yang dengan pengetahuan yang dimilikinya, layak untuk dipandang lebih tinggi dari mereka dan lebih berhak menjadi wakil-Nya di muka bumi.
Sampai di sini, kita bisa melihat bahwa humanisme sejati telah dijelaskan secara simbolik dalam kisah penciptaan Adam. Martabat manusia dijunjung tinggi dalam Islam. Sujudnya malaikat di hadapan Adam ini bermaksud untuk menjelaskan konsep manusia dalam Islam. Manusia dengan anugerah terbesarnya: pengetahuan, mampu melampaui derajat malaikat yang suci. Dengan kata lain, kemuliaan manusia tidak diukur dari materi apa ia tercipta, tapi dari pengetahuan yang ia miliki.
Pada akhirnya, ketika banyak agama dan keyakinan hanya memfokuskan manusia pada satu dimensi—entah dimensi dunia ataupun akhirat—Islam hadir sebagai agama yang menjelaskan begitu gamblang konsep humanisme yang paling sempurna.
Konsep humanisme dalam Islam menempatkan manusia sebagai makhluk yang memiliki tanggung jawab dua dimensi. Di satu sisi, ia memiliki tanggung jawab sebagai wakil-Nya di muka bumi, di sisi lain, ia juga makhluk rohani yang kelak akan mempertanggungjawabkan apa pun yang ia lakukan di dunia sebagai faktor penentu nasibnya di akhirat. Wallahu a’lamu.