Filsafat

Tahafut At Tahafut: Respon Atas Kerancuan Berpikir Al Ghazali

3 Mins read

Tahafut At Tahafut: respon atas kerancuan berpikir Al Ghazali. “Kritik atas kritik yang dibangun oleh Ibnu Rusyd merupakan sebuah wahana untuk membentuk sikap kritis di kalangan umat Islam agar tidak terjebak ke dalam sikap taqlid,” kurang lebih begitu kata Drs. M. Fahmi Muqaddas, M.Hum. Hal tersebut disampaikan dalam kata pengantar terjemahan kitab Tahafut at Tahafut oleh Khalifurahman Fath.

Tahafut at Tahafut, atau dalam bahasa Indonesia bisa diartikan “Kerancuan dalam kerancuan,” merupakan karya monumental dari seorang tokoh besar Islam abad pertengahan, yakni Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibnu Rusyd atau lebih dikenal dengan Ibn Rusyd.

Masih belum ditemukan informasi atau catatan tentang waktu ditulisnya kitab ini oleh Ibnu Rusyd. Namun, jika kita meninjau kitab-kitab lainya yang ditulis olehnya, seperti Fash al Maqal, dan Manahij al-Adillah, yang mana kitab ini ditulis pada saat usianya 50 tahunan, dan menjadi puncak kematanganya dalam berfikir.

Petunjuk atau indikasi yang dapat diambil dari puncak kematangnya adalah misal ketika Ibnu Rusyd menamai kitabnya ini dengan Tahafut, hal serupa juga bagi Al Ghazali yang menamai kitabnya Tahafut al-Falasifa. Meskipun, dalam kitabnya ini, Ibnu Rusyd tidak menamainya langsung dengan Tahafut Al Ghazali, tetapi dengan penamaan kitabnya yang berjudul Tahafut at Tahafut, menjadi sebuah otokritik bagi Al Ghazali sendiri. Karena memang di dalam isi kitab Tahafut at Tahafut, Ibnu Rusyd menyuguhkan bantahan-bantahanya terhadap kritik yang diberikan Al Ghazali kepada para filosof muslim dalam kitabnya itu.

Dalam kitabnya, Tahafut at Tahafut, Ibnu Rusyd menyebutkan indikator yang menyebabkan Al Ghazali mengkritik para filosof muslim, yaitu karena Ibnu Sina yang tidak menjabarkan secara komprehensif dan mendalam mengenai pemikiranya terkait Ketuhanan dan kosmologi. Maka dari itu, kitab ini selain untuk mengkritik Al Ghazali, secara tidak langsung menjadi otokritik bagi Ibnu Sina.

Baca...  Peran Hijab dalam Filsafat Keberagaman

Terdapat dua puluh sanggahan yang dilontarkan Al Ghazali kepada para filosof karena kerancuannya dalam berfikir. Dua puluh sanggahan tersebut disimpulkan tiga perkara oleh Al Ghazali dan ditulis di akhir kitabnya itu. Hal ini yang menjadikan Al Ghazali mengklaim bahwa para filosof kafir.

Tiga perkara itu kata Al Ghazali yang pertama adalah membantah para filosof yang mengatakan bahwa alam itu Qadim. Kedua, membantah para filosof bahwa Tuhan itu hanya mengetahui hal-hal yang sifatnya universal (kulliyat). Dan, yang ketiga, Al Ghazali membantah pendapat para filosof yang mengingkari kebangkitan jasmani setelah mati. Para filosof mengatakan hanya rohaninya saja yang dibangkitkan.

Jika menilik ke dalam Tahafut at Tahafut, Ibnu Rusyd membela argumen filsafat para filosof dengan mengharmonisasikan filsafat dengan agama. Misal, dalam membantah argumen pertama Al Ghazali, yang mana ia menolak alam itu qadim. Ibnu Rusyd mengatakan bahwa Al Ghazali salah paham dengan para filosof, yang dimaksud qadim itu dari segi waktu, bukan Dzat.

Karena qadim sendiri perihal waktu. Lebih lanjut, Ibnu Rusyd menerangkan bahwa alam itu ada sebelum waktu, dan waktu itu ada karena hasil dari gerakan alam. Singkatnya, ada sebelum waktu inilah yang disebut para filosof itu qadim.

Begitu pun pada argumen keduanya Al Ghazali yang menganggap kafir para filosof karena mengatakan Tuhan itu hanya mengetahui hal-hal yang sifatnya global atau umum (kulliyat). Bagi Ibnu Rusyd, Al Ghazali salah paham dengan para filosof.

Pengetahuan Tuhan tentang perincian tidak sama dengan pengetahuan perincianya manusia. Jadi, Tuhan tidak tahu perincian versinya manusia. Katanya Ibnu Rusyd, banyak hal-hal kecil jika Tuhan mengetahui malah mencederai kebesaran-Nya Tuhan sendiri.

Baca...  Pemikiran Filsuf Mulla Sadra dari Persia

Ibnu Rusyd menganalogikan hal ini dengan orang yang mules. Tuhan mengetahui pengetahuan tentang mules. Tapi, pengetahuan Tuhan tentang mules ini tidak sama dengan manusia, entah itu dari segi levelnya, intensitasnya, keutuhanya. Karena kalau persis dengan manusia, Tuhan harus mules dulu.

Hal inilah yang katanya Ibnu Rusyd, jika Tuhan mengetahui hal-hal partikular seperti manusia, malah merusak kebesaran Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, Tuhan mengetahui hal-hal yang partikular, tetapi tidak sama seperti partikularnya manusia. Karena manusia sendiri sifatnya dinamis.

Sedangakan pada argument ketiga, Al Ghazali mengatakan, di Alqur’an sudah disebutkan bahwa kita akan dibangkitkan. Jadi kesimpulannya, jasmani dan rohani juga akan ikut dibangkitkan. Jasmani yang sudah hancur di dunia akan dibangkitkan kembali dan digantikan dengan yang baru. Ibnu Rusyd setuju dengan pendapat Al Ghazali tentang kebangkitan rohani, tetapi mengkritik tentang kebangkitan jasmani.

Katanya Ibnu Rusyd, tidak adil jika Tuhan memberi jasmani yang baru, sedangkan yang melakukan dosa di dunia adalah jasad lamanya. Kemudian Ibnu Rusyd mempertegas dengan mengatakan bahwa pembalasan, penyiksaan, enak, sedih itu kan rasa, dan itu wilayahnya rohani.

Ibnu Rusyd juga menganalogikan hal ini dengan manusia yang tidur. Ketika tidur, jiwa atau ruh manusia tetap hidup, tetapi badannya mati. Begitupun ketika besok manusia itu mati, jiwanya tetap hidup, meskipun tubuh atau jasmaninya sudah hancur. Dan, Ibnu Rusyd juga mengutip dari Alqur’an bahwa jasmani itu dari tanah dan akan kembali ke tanah. Sedangkan yang kembali kepada Tuhan adalah rohani. Dalam hal ini Ibnu Rusyd mengutip ayat wa nafakhtu fihi min ruhi.

Pada akhirnya, perdebatan antara Ibnu Rusyd dan Al Ghazali dalam Tahafut at Tahafut menyumbangkan pemahaman yang mendalam mengenai dinamika pemikiran Islam. Keduannya menawarkan perspektif yang berbeda, namun sama akan kaya dalam hubungan antara akal dan wahyu. Kitab ini bisa menjadi saksi dari sebuah perjuangan para ulama dan filosof muslim terdahulu untuk menjaga dan mengembangkan keintelektualan Islam.

Baca...  Penegakan Hukum dan Keadilan dalam Lensa Tafsir Al-Qurthubi

Barangkali benar, apa yang dilakukan Ibnu Rusyd ini juga senada dengan ungkapan Al Ghazali yang mengatakan bahwa, “seorang musuh yang bijak lebih baik dari pada sahabat yang bodoh.” Oleh karena itu, dialog akal dan iman dalam kitab Tahafut at Tahafut ini merupakan sumbangan pemikiran yang penting dalam khazanah mencerdaskan kehidupan umat muslim seluruh dunia.

1 posts

About author
Mahasiswa Prodi Akidah dan Filsafat Islam di Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
Filsafat

Menjaga Mental Sehat Ala Ibnu Sina

3 Mins read
Gangguan mental seperti stres berlebih, menjadi penyakit yang menjangkit generasi Z dengan sangat brutal.  Gangguan mental ini tidak bisa dianggap sepeleh karena…
Filsafat

Harmoni Wahyu dan Akal: Peran Metodologi Tafsir dalam Mengembangkan Pemikiran Filsafat Islam

3 Mins read
Pendahuluan Filsafat Islam adalah cabang ilmu yang mengkaji hubungan antara wahyu, akal, dan realitas. Dalam sejarah Islam, filsafat berkembang pesat dengan memadukan…
Filsafat

Konsep Forgiveness Perspektif Hannah Arendt dan Agama Islam

3 Mins read
Permaafan atau forgiveness merupakan konsep yang sangat krusial dalam kehidupan manusia. Permaafan bukan hanya sebuah kata atau tindakan sederhana, tetapi merupakan proses…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Jalin Sinergi dengan Kemenag Sumedang, Dikdasmen PNF Muhammadiyah Sumedang Siap Tingkatkan Pelayanan di Bidang Pendidikan

Verified by MonsterInsights