Oleh: Asyiq Billah Ali*
Dalam menjalin hubungan sosial, seorang Muslim memiliki kebebasan untuk berinteraksi dengan siapa pun, tanpa memandang latar belakang atau golongan mereka. Mereka dapat terlibat dalam berbagai aktivitas seperti perdagangan, pembelajaran, dan lain sebagainya, baik dengan Muslim maupun non-Muslim.
Namun, ketika datang ke ibadah dan keyakinan, tidak ada ruang untuk kompromi. Akhir-akhir ini banyak orang membuat konten-konten Tiktok, Reels, dan media sosial lainnya yang seakan membuat sebagai konten candaan atau jokes orang Kristen yang ikut serta shalat jum’at di masjid demi sesuap Jum’at berkah (istilah untuk menyebut nasi bungkus yang dibagikan setelah shalat jum’at), begitu juga sebaliknya.
Padahal Al-Qur’an dengan jelas menggambarkan bagaimana Rasulullah dengan halus namun tegas menolak tawaran damai dari kaum Quraisy, yang ingin meminta kesepakatan dengan Rasulullah untuk menyembah dewa-dewa mereka.
Salah satu contohnya dapat ditemukan dalam Surat Al-Kafirun, di mana digambarkan bagaimana Rasulullah dengan tegas menolak ajakan-ajakan dari kaum Quraisy yang menginginkan agar beliau menyembah tuhan-tuhan mereka.
Surat Al-Kafirun: Konteks dan Latar Belakang Penurunannya
Dalam Alqur’an, surat Al-Kafirun menempati urutan ke-109 dan disampaikan setelah Surat Al-Ma’un. Surat ini termasuk dalam kategori surat Makkiyah karena turun ketika Rasulullah berada di Makkah. Meskipun Surat ini dikenal dengan nama Qul Yaa Ayyuhaa al-Kaafiiruun, namun sebutan yang paling populer adalah Surah al-Kafirun. Selain itu, Surah ini juga dikenal dengan nama Surah al-‘Ibadah dan Surah ad-Din.
Tidak sedikit yang menyebutnya Surah al-Muqasqisyah (penyembuh) karena isi kandungannya mampu menyembuhkan dan menghilangkan penyakit kemusyrikan.
Menurut penjelasan A Mudjab Al-Mahali dalam bukunya Asbabun Nuzul: studi pendalaman al Qur’an, inti dari surat ini adalah penegasan bahwa tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir sangat berbeda dengan apa yang disembah oleh Rasulullah SAW dan para pengikutnya. Orang-orang kafir menyembah berhala-berhala, sedangkan Rasulullah dan pengikutnya hanya menyembah Allah, Tuhan Semesta Alam.
Dalam riwayat Abi Hatim dari Sa’id bin Mina, disebutkan bahwa Al Walid bin Almughirah, al ‘Ashi bin Wa’il, al Aswad bin al Muthalib, dan Umayyah bin Khalaf bertemu dengan Rasulullah SAW. Kemudian mereka berkata, “Hai Muhammad, mari kita menyembah bersama apa yang kami sembah, dan kami akan menyembah apa yang engkau sembah. Kita dapat bersekutu dalam segala hal dan engkaulah yang akan memimpin kami.” Sehubungan dengan peristiwa dan ajakan tersebut, Allah menurunkan ayat 1-6 dari Surat Al-Kafirun.
Antara Ibadah dan Interaksi Sosial
Surat Al-Kafirun menawarkan perspektif terkait sikap umat Muslim dalam menjalani kehidupan sosial. Surat ini mengajarkan pentingnya toleransi terhadap keyakinan agama orang lain, namun tidak memperbolehkan kompromi dalam hal keyakinan sendiri.
Dalam ranah keimanan, umat Muslim diwajibkan teguh dalam meyakini bahwa hanya Allah SWT yang layak diibadahi. Oleh karena itu, ayat kedua dari Surat Al-Kafirun menyatakan dengan tegas, “Laa ‘a’budhu maa ta’budhuun” (Aku tidak akan menyembah apa yang kalian sembah), sebagai landasan yang kokoh dalam menjaga kepercayaan yang benar.
Menurut Quraish Shihab, kalimat ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad pada saat itu tidak akan pernah kompromi dengan Quraish Makkah dalam menyembah sesembahan yang mereka sembah, baik pada masa sekarang maupun di masa mendatang.
Ibnu Katsir juga memperkuat penjelasan ini dengan mengutip pernyataan Ibnu Taimiyah yang menyatakan bahwa kalimat dalam ayat kedua ini menolak tindakan penyembahan pada keyakinan agama lain yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi. Tidak ada toleransi dalam ibadah dengan umat lain. Negosiasi tidak dilakukan dalam menjalankan praktik keagamaan antara agama-agama.
Namun, di akhir Surat Al-Kafirun, Allah menunjukkan kasih sayang-Nya dengan membuka pintu “toleransi” terhadap perbedaan keyakinan yang ada di dunia ini. “Lakum dinukum wa liyadiin” (Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku).
Ayat ini juga memiliki makna yang sama dengan ayat 4 dari Surat Yunus dan ayat 139 dari Surat Al-Baqarah. Jika saya boleh menambahkan, terdapat rasa saling pengertian dalam menghadapi perbedaan yang ada di sekitarnya, dan diyakini bahwa keberagaman/perbedaan ini merupakan “keniscayaan” yang Allah ciptakan untuk diterima dengan tetap mempertahankan “kepercayaan” kepada-Nya. Wallahu A’lam
*) Mahasiswa Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Sunan Ampel Surabaya.
Editor: Adis Setiawan