Keislaman

Siapakah yang Disebut Ulama ?

3 Mins read

Siapakah yang disebut ulama? Ungkapan sesungguhnya ulama adalah pewaris para Nabi (inna al-ulama waratsah al-anbiya’) menurut Ibn Hajar Al-Asqalani (773-852 H) dalam kitabnya Fath Al-Bariy adalah sebagian dari Hadis yang diriwayatkan Abu Daud, Imam At-Tirmidzi, dan Ibnu Hibbin. Hadis ini dipandang Sahih oleh Al-Hakim, dipandang Hasan oleh Hamzah al Kilaniy. Istilah “ulama” disebutkan dalam QS. Fathir ayat 28. Allah berfirman :

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَاۤبِّ وَالْاَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ اَلْوَانُهٗ كَذٰلِكَۗ اِنَّمَا يَخْشَى اللّٰهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمٰۤؤُاۗ اِنَّ اللّٰهَ عَزِيْزٌ غَفُوْرٌ

“(Demikian pula) di antara manusia, makhluk bergerak yang bernyawa, dan hewan-hewan ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Fathir: 28)

Prof. Muhammad Quraish Shihab menyatakan bahwa kata Ulama disebutkan dalam Alqur’an sebanyak dua kali. Pertama dalam konteks ajakan Alqur’an untuk memperhatikan turunnya hujan dari langit, beraneka ragamnya buah-buahan, gunung, binatang dan manusia yang kemudian diakhiri dengan ‘sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hambanya adalah Ulama.

Yang kedua dalam konteks pembicaraan Alqur’an yang kandungan dan kebenarannya telah diakui oleh Ulama Bani Israil (QS. 26 : 197).

Berdasarkan ayat tersebut menurut Prof. Muhammad Qurais Shihab, ulama adalah orang yang mempunyai pengetahuan tentang ayat-ayat Allah baik yang bersifat kawniyyah maupun Quraniyyah.

Dalam ensiklopedia Islam, disebutkan Ulama merupakan orang yang tahu atau yang memiliki pengetahuan ilmu agama dan ilmu pengetahuan kealamaan yang dengan pengetahuannya tersebut memiliki rasa takut dan tunduk pada Allah.

Kata Ulama merupakan bentuk jamak dari ‘alim yang artinya yang tahu atau yang mempunyai pengetahuan. Dalam Tafsir Al Maraghi karya Imam Mustafa Al Maraghi menyatakan bahwa ada sebuah asar yang diriwayatkan Ibnu Abbas bahwa dia berkata : Orang yang berilmu tentang Allah Yang Maha Pencipta di antara hamba-hambanya ialah orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, menghalalkan apa yang dihalalkan Allah dan mengharamkan apa yang diharamkan Allah, memelihara wasiat-Nya dan yakin dia akan bertemu dengan-Nya dan memperhitungkan amalnya.

Baca...  Implementasi Pembelajaran Alquran Hadis Terhadap Minat Belajar Peserta Didik

Sedangkan Imam Hasan Al Basri berkata, orang yang berilmu adalah orang yang takut kepada Allah Yang Maha Pengasih, sekalipun dia tidak mengetahui-Nya dan menyukai apa yang disukai Allah dan menghindari apa yang dimurkai Allah.

Pada masa al-Khulafa ar-Rasyidin tidak ada pemisahan antara orang yang memiliki pengetahuan agama,ilmu pengetahuan kealaman dan pemimpin politik praktis.

Para Sahabat Nabi pada umumnya memiliki pengetahuan keagamaan, pengetahuan kealaman dan sekaligus mereka juga pelaku-pelaku politik praktis. Para Sahabat terkemuka pada masa itu biasanya duduk dalam suatu dewan pertimbangan yang disebut Ahl al-Halli wa al-‘Aqad. Oleh ulama, para sahabat ini kemudian disebut ulama salaf.

Baru pada masa pemerintahan Dinasti Bani Ummayah dan sesudahnya, istilah ulama ditekankan kepada orang yang memiliki pengetahuan keagmaan saja. Bahkan karena ada pembidangan ilmu agama, istilah ulama dipersempit lagi, misalhnya ahli fiqih disebut Fuqaha, ahli hadis disebut Muhaddisin, ahli kalam disebut Mutakalimin, ahli tasawuf disebut Mutasawif dan ahli tafsir disebut Mufasir.

Sementara orang yang memiliki pengetahuan kealaman tidak lagi disebut ulama. Sehingga tokoh-tokoh seperti Al Khawarizmi, Al Biruni dan Ibnu Hayyan tidak disebut Ulama lagi tetapi ahli kauniyyah.

Tokoh-tokoh seperti ini baru disebut ulama jika mereka memiliki pengetahuan agama. Para ahli filsafat juga jadi disebut failasuf (filosof) seperti Ibnu Rusyd, al-Farabi, Ibnu Sina banyak yang menyebut mereka filusuf bukan ulama.

Di Indonesia,istilah ulama diartikan lebih sempit lagi karena diartikan sebagai orang yang mengetahui pengetahuan ilmu keagamaan dalam bidang fiqih saja, bahkan dalam pengertian awam sehari-hari, ulama adalah fuqaha dalam bidang ibadah saja.

Akibatnya, orang  yang ahli politik, ahli hukum, ahli matematika, ahli fisika, ahli sastra, ahli ilmu kedokteran, ahli pendidikan, ahli komputer, ahli ekonomi, ahli kimia tidak disebut ulama padahal mereka ini pada hakikatnya adalah ulama Islam selama mereka beriman kepada Allah, Rasul-Nya dan kitab-Nya serta memiliki rasa takut kepada Allah yang membuat mereka senantiasa beribadah pada Allah.

Baca...  Musyawarah dan Demokrasi Perspektif Islam

Prof. Muhammad Qurais Shihab menyatakan secara inspiratif Alqur’an telah mendorong umat Islam untuk maju terutama dalam menggali dan mengembangkan pengetahuan.

Cukup banyak ayat yang menyebutkan tentang astronomi, biologi dan sebagainya sebagai tanda kebesaran Allah yang harus diselidiki manusia. Sejarah pun mencatat bahwa umat Islam berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan pada abad pertengahan karena dorongan Alqur’an.

Lebih lanjut ia menyatakan, perkembangan ilmu pengetahuan yang berarti terbuka dan terkumpulnya secara luas wawasan yang harus dikaji dan diajarkan, mengantarkan kita pada bidang sistematika ilmu.

Usaha ini dapat dipahami dalam rangka mempermudah pemahaman atau penyelidikannya, meskipun minimbulkan pemecahan atau pembatasan yang sering kali kurang menguntungkan. Seperti ahli fiqih (Fuqaha) hanya dipahami sebatas orang ahli-ahli hukum Islam akibatnya banyak yang menduga ibadah hanya terbatas pada ritual saja.

Fiqih pada mulanya dimaksudkan sebagai suatu pengtahuan yang menyeluruh tentang agama: mencakup hukum, keimanan, ahlak, Alqur’an, dan Hadis.

Penyempitan pengertian ulama  menimbulkan kesan seolah-olah hanya ilmu agama saja yang dapat menimbulkan rasa takut pada Allah (khassyah) sedangkan ilmu lain tidak.

Selain itu, banyak yang hanya mengutamakan ilmu agama dan menganggap rendah ilmu umum. Bahkan ada yang beranggapan untuk menjadi ulama cukup hanya dengan menguasai ilmu agama saja.

Ini keliru, karena jika dikembalikan kepada Alqur’an maka yang disebut alim ialah orang yang pengetahuannya menimbulkan rasa takut kepada Allah.

Ada kolerasai antara orang berilmu dan khassyah kepada Allah karena keberagamaan itu inheren dengan ilmu. Sehingga dapat dikatakan bahwa hanya orang berilmulah yang dapat mencapai puncak khassyah kepada Allah.

Hakikat ilmu bukanlah sekedar pengetahuan atau kepandaian yang dapat digunakan untuk memperoleh sesuatu tetapi merupakan cahaya (nur) yang dapat menerangi jiwa untuk berbuat dan bertingkah laku baik. Jika kita temukan ilmu umum yang bersifat sekuler karena bersumber dari Barat maka bukan berarti ilmu tersebut harus ditolak namun ambil yang baiknya dan jauhi yang buruknya.

Baca...  Sejarah Walisongo dalam Menyebarluaskan Agama Islam di Pulau Jawa 

Sumber : M Qurais Shihab dalam karyanya Membumikan Al Qur’an, Tafsir Al Maraghi, Ensiklopedia Islam terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve.

Related posts
KeislamanTafsir

Penegakan Hukum dan Keadilan dalam Lensa Tafsir Al-Qurthubi

4 Mins read
Hukum dan keadilan adalah dua prinsip mendasar yang sangat dijunjung tinggi dalam Islam. Alqur’an sebagai sumber utama hukum Islam memberikan pedoman yang…
KeislamanNgaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad

Gus Ulil Ngaji Al-Iqtishad Fi Al-I’tiqad: Sesat Pikir Karena Asosiasi

3 Mins read
Kita ketahui bersama bahwa pandangan akidah Asy’ariyah mengenai soal af’alullah (tindakan Tuhan) adalah bahwa semua tindakan Tuhan sifatnya jaiz (boleh). Dalam hal…
Keislaman

Diskursus Penafsiran Ayat Pernikahan Beda Agama dalam Alqur'an

3 Mins read
Pernikahan beda agama selalu menjadi topik yang hangat di masyarakat. Ada yang menentangnya keras, ada yang membolehkan dengan syarat tertentu. Tapi bagaimana…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights