Sudah mafhum, bahwa sepeninggal Hafsah, Mushaf yang dimilikinya jatuh ke tangan saudaranya, yaitu Abdullah bin Umar. Sepulang dari pemakaman jenazah Hafsah, mushaf tersebut dicabik-cabik dan dibakar oleh Abdullah bin Umar karena takut berbeda dengan mushaf yang ditulis Khalifah Usman. Sedangkan Khalifah Ustman sendiri baru menyelesaikan penulisan Mushaf al-Imam. Beberapa salinannya disebarkan ke berbagai provinsi, hanya satu yang disisakan di Madinah.
Dalam hal ini, Umar bin Khattab pernah berkata: “Hanya para pemuda Quraisy yang dapat membaca mushafku dengan baik. Usman bin Affan menitahkan kepada Zaid bin Tsabit, Said bin Ash. Abdurrahman bin Haris bin Hisyam, dan Abdullah bin Zubair supaya menggandakan mushaf menjadi beberapa salinan. Kemudian Usman berbicara kepada orang-orang Quraisy: “Apa yang kalian pertentangkan dengan Zaid bin Tsabit? Tulislah al-Qur’an dengan bahasa Quraisy karena ia diturunkan dengan bahasa mereka.”
Kita tahu, Zaid bin Tsabit dididik dalam lingkungan yang terjaga dengan wahyu. Saat berusia 11 tahun, ia pernah menemui rasul di Madinah. Para sahabat berkomentar: “Wahai rasul, pemuda ini berasal dari Bani Najar, la telah mampu menghafal 17 surat al-Qur’an yang diturunkan kepadamu.” Kemudian Zaid membacakan hafalannya dan beliau kagum kepadanya. Adz-Dzahabi meriwayatkan, sesungguhnya Ibnu Umar, saat kematian Zaid bin Tsabit pernah berkata: “Zaid adalah orang yang paling alim dan banyak ilmunya di masa Khalifah Umar.”
Menurut riwayat Ibnu Saad, Sulaiman bin Yassar berkata: “Umar dan Usman lebih menyukai Zaid bin Tsabit karena kepandaiannya dalam bidang Qadha’, waris, ilmu qira’ah, dann fatwa-fatwanya.” Asy-Sya’bi meriwayatkan, Zaid bin Tsabit lebih unggul kepandaiannya di bidang al-Qur’an dan ilmu waris.
Lebih dari itu, ia mampu menghafal al-Qur’an secara terbalik, mulai urutan ayat yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah Saw. Pada tahun menjelang wafatnya, ia menjadi panutan (pimpinan) di Madinah dalam keempat bidang di atas pada masa Khalifah Umar, Usman, dan Ali, sampai 5 tahun berikutnya, setelah Muawiyah memimpin selama 4 tahun. Ia meninggal tahun 45 H.
Akan tetapi, semua sifat mulia yang disandarkan kepada Zaid bin Tsabit, yang membuat posisinya terangkat dan tidak tertandingi oleh sahabat-sahabat lainnya, seperti Said, Abdurrahman, dan Abdullah bin Zubair, namun tetap tidak menjadikannya sebagai seorang hakim, meskipun pendapatnya selalu dijadikan penengah saat terjadi konflik.
Alasannya, karena dia bukan seorang keturunan Quraisy, sedangkan tiga yang lainnya adalah keturunan suku Quraisy. Artinya, adalah bahwa standar yang digunakan Khalifah Utsman Dzunnurrain dalam masalah ini bukan standar ilmiah, tetapi politik.
Demikian juga Abdullah bin Mas’ud, salah satu tokoh terkemuka di kalangan para sahabat, pergi ke Kufah sepeninggal Nabi. Di sana ia mengajarkan ilmu, yang telah ia terima dari rasul, kepada kaum muslimin dan mendirikan madrasah (madzhab atau aliran) sebagaimana dikenal dalam sejarah aliran ilmu-ilmu keislaman secara umum.
Di Kufah ada 60 sahabat terkemuka yang sekawan dengan Abdullah bin Mas’ud. Dari Bani Tsaur. Yang tinggal di Kufah. Terdapat 30 orang. Yang paling terkenal adalah Rabi bin Khaitsam disebabkan karena ibadah dan kewaraannya serta mempunyai kedudukan dalam periwayatan hadits. Di sana juga ada sahabat semisal Kamil bin Zaid an-Nakha’i, Amir bin Syarakhil, asy-Sya’bi. Said bin Jubair al-Asadi, Ibrahim an-Nakhai. Abu Ishaq as-Subai’i. Dan Abdul Malin bin Umar.
Itu sebabnya, ketika Umar mendengar Abdullah bin Mas’ud membaca surat Ash-Shaffat ayat 174, tepatnya:
فَتَوَلَّ عَنْهُمْ حَتّٰى حِيْنٍ
Artinya: “Maka berpalinglah engkau (Muhammad) dari mereka sampai waktu tertentu.” (QS. As-Saffat [37]: 174).
Ia menolak bacaan Ibnu Mas’ud. Kemudian Umar menulis surat kepadanya: “Al-Qur’an tidak diturunkan dalam bahasa Hudzail (suku asal Ibnu Mas’ud). Bacalah dengan bahasa Quraisy. Jangan dengan bahasa Hudzail!.” Peristiwa ini terjadi sebelum Khalifah Utsman menyamakan al-Qur’an dalam satu bacaan. Demikian itu berarti Umar mengusulkan bahwa hendaknya kaum muslimin membaca al-Qur’an dalam bahasa Quraisy, walaupun sabda Rasul: “Sesungguhnya al-Qur’an diturunkan dalam tujuh huruf, bacalah di antara tujuh huruf itu, yang mudah.”
Dr. Shabur Syahin menambahkan bahwa hadits tersebut telah diriwayatkan oleh 24 sahabat, di antaranya Ubay bin Ka’ab, Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, Umar bin Khattab, dan Abdullah bin Umar. Umar menolak bacaan Ibnu Mas’ud dan telah mengingkari keluwesan (rukhshah) yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkannya sendiri. Ia mengharuskan menggunakan bahasa Quraisy dalam membaca al-Qur’an. Segala bahasa di luar Quraisy juga harus ditolak sehingga tidak ditemukan lagi perbedaan. Ini sebenarnya adalah pertarungan politik.
Pertanyaannya adalah apa maksud ajakan Khalifah Umar dan Utsman agar mushaf ditulis dalam bahasa Quraisy? Bukankah al-Qur’an sekarang menjadi undang-undang (dustur) agama Islam? Kitab terbesar dan penopangnya berwujud susunan kata? Atau sebagai batu sandaran dan penegak berdirinya pemerintahan (kekuasaan) Quraisy di Yatsrib?
Rupanya, para pengajar Ulumul Qur’an memiliki pendapat yang berbeda- beda mengenai al-Qur’an yang diturunkan dalam bahasa Quraisy. Abu Bakar al-Wasithi. Misalnya, dalam kitabnya al-Irsyad fi al-Qira at al-Asyri, berpendapat: dalam al-Qur’an terdapat 50 macam bahasa. Di antaranya, yang selain bahasa Arab, adalah bahasa Persi, Romawi, Nabath, Habsyi, Barbar, Suryani, Ibrani, dan Qibti. Bahkan Imam Suyuti juga, dalam kitabnya al-Itqan fi Ulum Al-Qur’an, menyebutkan adanya bahasa selain Arab dalam Al-Qur’an, tepatnya dalam pembahasaan yang ke-38.
Kedua ulama ini, al-Wasithi dan as-Suyuti, menguatkan bahwa dalam al-Qur’an terdapat bahasa yang bermacam-macam atau dialek-dialek (bahasa orang-orang semenanjung Jazirah Arab). Dengan demikian faktor yang mendorong Khalifah Utsman dalam memberikan ujjah penggunaan bahasa Quraisy dalam penulisan mushaf adalah politik. Wallahu a’lam bisshawaab.
*) Alumni PP Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo dan PP Nurul Jadid Paiton Probolinggo.