KeislamanSejarah

Sejarah Perang Sabil Di Aceh

4 Mins read

Kuliahalislam Perang Sabil (Jihad fi Sabil Allah) merupakan perang antara masyarakat Aceh dan penjajah Belanda (1873-1912), yang bagi masyarakat Aceh merupakan perang atas dasar agama melawan penjajahan Belanda guna menyelamatkan hak hidup masyarakat dan agama serta menentang segala bentuk kezaliman yang dapat menghilangkan hak asasi manusia; juga diartikan sebagai perang muslim melawan kafir atau yang biasa disebut dengan Prang Sabi (Perang Sabil), Prang Beulanda (perang melawan Belanda), Prang Geumpeuni (Perang Melawan Kompeni) atau Perang Kaphe (Perang melawan orang kafir).

Aceh, yang telah menjadi Kesultanan merdeka sejak awal abad ke-13, menjadikan syariat Islam sebagai dasar untuk menata kehidupan masyarakatnya. Berbagai bangsa Eropa yang datang beberapa abad kemudian, terutama Belanda tidak dapat menguasai Aceh. Kedaulatan Aceh sangat dihormati.

Traktat London atau Tarktat Sumatra I (17 Maret 1824 M) antara Inggris dan Belanda menyebutkan bahwa kedua negara itu tidak akan melakukan permusuhan dengan Aceh. Tetapi karena Belanda memandang Aceh sebagai suatu kekuatan yang menghalangi invasinya ke berbagai daerah di Sumatra, maka beberapa kali terjadi konflik antara keduanya.

Pada tahun 1829, misalnya, Belanda menyerang Barus yang waktu itu termasuk wilayah kekuasaan Aceh. Kapal-kapal dagang Belanda tidak dapat mendapat sambutan yang semestinya walaupun sekuat tenaga Belanda telah berusaha mencari hubungan baik dengan sultan Aceh.

Pada tahun 1871, Belanda berhasil membawa Inggris ke meja perundingan yang melahirkan Traktat Sumatra II. Isi traktat itu antara lain Belanda bebas memperluas wilayah kekuasaannya di Sumatra. Ini berarti bahwa Belanda tidak lagi terikat pada traktat London yang amat menghormati kedaulatan Aceh.

Dengan berbagai siasat, Belanda berusaha menundukkan Aceh dan meminta Sultan supaya mengakui kedaulatan Aceh. Dengan berbagai siapa cara menundukkan Aceh dan meminta Sultan supaya mengakui kedaulatan Belanda.

Karena Sultan tidak mau mengabulkan permintaan itu, maka Belanda mengeluarkan pernyataan perang terhadap Aceh pada 26 Maret 1873. Pada tanggal 5 April 1873 Belanda telah siap di pelayaran Aceh dengan 6 kapal uap, 2 kapal Angkatan Laut, 5 kapal barkas, 8 kapal ronda, satu kapal komando, 5 kapal layar, dan 6 kapal pengangkut pasukan Belanda mendarat di Pantai Kuta Ceureumen dengan 168 orang perwira dan 3.198 pos suami lainnya di bawah komando J.H.R Kolher.

Peperangan antara kedua belah pihak tak terelakan. Pasukan Aceh mengumandangkan kalimat takbir dan tauhid dengan keyakinan bahwa peperangan yang mereka lakukan itu adalah jihad di jalan Allah untuk melawan pasukan kafir. Mereka merasa berjihad dalam membela agama dan negara.

Pada periode pertama (1873-1876), peperangan itu diawali dengan sistem bertahan. Walaupun pasukan Aceh bukanlah pasukan terlatih dan terkoordinasi dengan baik, terutama bila dibandingkan dengan pasukan Belanda namun dengan semangat jihad mereka mampu bertahan menghadapi serangan Belanda.

Pasukan Aceh berperang dalam bentuk perkempulan kecil yang terpisah-pisah tetapi ada pula yang bergabung dengan pasukan yang agak besar yang dipimpin oleh para Uluebalang ( penguasa di bawah Sultan) dan ulama. Pada tanggal 14 April 1873, Belanda merebut Masjid Raya di kutaraja, yang sejak 1962 sebelumnya pernah dikuasai oleh Belanda tetapi kemudian dapat dikuasai kembali oleh pasukan Aceh.

Namun dalam usaha merebut Masjid itu kembali, Kolher mati tertembak oleh pasukan Aceh, sehingga pasukan kaphe (kafir) harus mundur dengan menderita kerugian yang tidak kecil. Akhirnya Pantai Aceh harus mereka tinggalkan pada tanggal 29 April 1873.

Kegagalan kesayangan pertama tersebut diikuti oleh serangan kedua dan kekuatan pasukan dua kali lipat, terdiri dari Angkatan Laut dan Angkatan Darat yang didatangkan dari Jawa pada bulan November 1873 yang dipimpin oleh pimpinan Letnan Jenderal J. Van Swieten.

Serangan dimulai pada tanggal 9 Desember. Kesetiaan raja-raja daerah dan rakyat terhadap Sultan membuat Belanda sulit untuk menghadapi perlawanan rakyat Aceh, tetapi akhirnya kekeraton sultan Aceh berhasil dikuasai Belanda pada tanggal 24 Januari 1874. Kendati demikian, karena begitu beratnya pertempuran itu bagi Belanda, maka perang dihentikan dengan harapan dapat membuat perjanjian dengan sultan Aceh.

Secara tidak diduga, Sultan Mahmud Syah, penguasa kesultanan Aceh saat itu meninggal akibat sakit pada tanggal 29 Januari 1874. Keadaan ini dimanfaatkan Belanda untuk memproklamasikan kemenangannya atas Aceh pada tanggal 31 Januari 1874 dan mengharapkan supaya daerah-daerah di luar Aceh Besar mengakui kedaulatan Belanda.

Maklumat Belanda itu memperdalam kebencian masyarakat terhadap Belanda dan membangkitkan gelora para ulama dan umat Islam untuk melawan Belanda dengan sekuat tenaga. Tetapi akibat tidak tahu koordinasinya kegiatan, rakyat Aceh mengalami kekalahan.

Dari tahun 1874 sampai 1876 jumlah Uluebalang menandatangani perjanjian dengan Belanda yang intinya mengakui kedaulatan Belanda atas Aceh. Tetapi tidak sedikit Uluebalang itu hanya bersikap pura-pura sambil tetap memberikan bantuan kepada barisan umat Islam.

Di sisi lain adanya perjanjian itu tidak dapat menghentikan serangan terhadap Belanda, rakyat kerajaan Aceh melakukan perlawanan secara terus-menerus. Pada masa itu perang gerilya muncul di mana-mana di bawah pimpinan para ulama dan pemuka adat. Sesudah gagal menaklukan Aceh dengan kekuatan senjata, pemerintah Hindia Belanda berusaha mendekati pejuang-pejuang Aceh dengan menawari hadiah.

Selain itu, Belanda berusaha mencuri hasil kekuatan Aceh terutama menyangkut kehidupan sosial budayanya. Untuk itu Belanda menugaskan Dr. Cristian Snouck Hurgronje yang paham tentang Islam dan pernah mempunyai pengalaman bergaul dengan orang-orang Aceh yang naik haji di Mekah. Meskipun pada permulaannya kedatangan Snouck ke Aceh mendapat rintangan dari gubernurnya namun akhirnya dengan dukungan dari pemerintah Hindia Belanda di Batavia ia dapat masuk ke Aceh.

Dengan nama samaran Abdull Gaffar, ia muncul di Aceh dari bulan Juli 1891 sampai Februari 1892, ia bertempat tinggal di tengah-tengah rakyat Aceh di Peukan Aceh. Dari hasil penelitian Snouck Hurgronje, pemerintah Hindia Belanda memperoleh petunjuk bahwa satu-satunya jalan yang akan membawa hasil adalah memecah persatuan kekuatan masyarakat Aceh. Kaum bangsawan Aceh dan anak-anak harus diberi kesempatan untuk masuk korps pangreh praja, supaya mereka terikat pada pemerintah Hindia Belanda dan terpisah dari golongan ulama. Kaum ulama yang memimpin perlawanan harus dihadapi dengan kekuatan senjata, untuk menguasai Aceh Belanda harus menggunakan kekuatan senjata dan tidak boleh melakukan kontak perundingan sebelum mereka benar-benar menyerah.

Peperangan berlangsung selama bertahun-tahun dengan kerugian besar pada kedua belah pihak. Pada tahun 1898, Belanda melakukan serangan besar-besaran terutama ke Pidie, guna mengejar Sultan Muhammad Daud Syah yang merupakan putra pengganti Sultan Mahmud Syah, Panglima Polem, Teuku Umar. Di Pidie, Aceh Tengah dan Tenggara, Aceh Barat, dan Aceh Utara terjadi perlawanan yang amat gigih.

Perang Sabil yang dimotivasi oleh keyakinan agama berakhir pada tahun 1912. Perang ini melahirkan sejumlah pahlawan seperti Teuku Umar, Teungku Tjik Di Tiro, Tjoet Njak Dien, Tjoet Njak Meutia, Nyak Hasan, Nyak Bintang, dan lain sebagainya.

116 posts

About author
Redaktur Kuliah Al Islam
Articles
Related posts
KeislamanTafsir

Takwil Menurut Para Ulama

4 Mins read
Kuliahalislam. Takwil berarti menerangkan, menafsirkan secara alegoris (kiasan), simbolik, maupun rasional. Secera terminologis, kata takwil diambil dari kata Awwala yang bisa berarti…
Keislaman

Cahaya Bintang, Cahaya Kenabian: Tafsir Ayat 1-2 Surat An-Najm

6 Mins read
Pembukaaan surah ini diawali dengan sumpah Allah yang sangat memukau. Surah An-Najm sebagaimana surah Aqsam Makiyyah pada umumnya, menekankan sumpah-sumpah Allah SWT…
EsaiKeislaman

Pengaruh Ilmu Kalam Terhadap Radikalisme dan Sekularisme

2 Mins read
Bagaimana Ilmu Kalam Menghadapi Radikalisme dan Sekulerisme ? Radikalisme dan sekularisme adalah dua kutub ekstrem yang membahayakan keseimbangan sosial dan spiritual masyarakat….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights