KULIAHALISLAM.COM-Dalam Sejarah umat manusia, rasionalitas digunakan sebagai proses pencarian kebenaran dalam melawan status quo dan kejumudan. Tan Malaka mengemukakan bahwa rasio dan logika dapat digunakan bersama-sama untuk mengembangkan perubahan dan menyelesaikan masalah-masalah social. Tak ayal, rasionalisme pernah menjadi salah satu ilmu pemikiran yang diminati sampai saat ini. Imanuel Kant, seorang ideolog rasionalisme pernah menyampaikan tentang garis kebenaran adalah yang didasarkan akal (logika dan rasio) dan yang tidak sesuai dengan akal adalah salah. Pemahaman inilah yang didukung oleh para cendekiawan mazhab rasionalisme. Padahal pandangan tersebut digarisbawahi oleh sang ideolog, bahwa ada batasan-batasan tertentu dalam menggunakan pendekatan tersebut. Friedrich Nietzche, sejawatnya malah mengingatkan bahwa pandangan rasionalisme garis keras ini mengabaikan aspek-aspek kreatif dan intuitif dari pengalaman manusia.
Pemahaman Rasionalisme saat ini juga mengalami dilema post-truth, yang menjangkiti berbagai kalangan termasuk Gen-Z. Keberadaan single source seperti google ditambah dengan teknologi AI yang merebak, menjadikan rasionalisme manusia didasarkan pada sumber informasi tersebut. Akhirnya manusia berhenti dalam proses pencarian kebenaran dari sumber informasi lain. Padahal seperti yang dijelaskan sebelumnya, rasionalisme manusia memiliki batas-batas tertentu. Misal pendapat seorang Ahli kimia, belum tentu sama dengan ahli gizi dan kesehatan. Pandangan seorang ahli kimia tentang bahan makanan bergizi, harus jugalah diselaraskan dengan ahli gizi dan kesehatan yang menjelaskan pola-pola asupan makan bergizi.
Konsep proses pencarian kebenaran ala rasionalis, K.H Hasan Mansur Nasution pernah menyampaikan bahwa ada 2 cara untuk menemukan hal tersebut. Pertama yaitu melalui pendedahan/penelitian yang menggerakan waktu, pikiran, biaya dan tenaga guna menelaah memaknai setiap sumber lmiah. Cara ini lazim dilakukan berbagai ilmuwan guna mencari kebenaran yang dapat dipertanggungjawabkan dengan kaidah sains. Sementara cara kedua, adalah menyelenggarakan diskusi dengan berbagai pakar guna mendapatkan pemahaman dari berbagai sudut pandang untuk mencapai kebenaran rasio
Proses mencari kebenaran, juga tentu akan mempertentangkan akal dan nurani. Ulama terkemuka Indonesia, Buya HAMKA menyebutkan kondisi ini sebagai pertempuran akal lahir dan akal batin, membawa manusia pada konsekuensi atas kebenaran yang diyakini. Kegagalan dalam mengendalikan keduanya akan menuntun manusia kepada panduan jalan hidup yang sehat atau sakit dimasa mendatang.
Islam memandu ummatnya untuk memahami konsep rasionalitas secara utuh dalam proses pencarian kebenaran. Ada sebuah kisah, Khalifah Ar-Rasyid pernah meminta air minum kepada seorang faqih. Namun orang tersebut menolak memberikan gratis dan bertanya biaya yang akan dibayar apabila diberikan air. Amirul mukminin pun menyampaikan akan memberikan setengah dari harta yang ia punya kepada faqih tersebut. Kemudian orang faqih tersebut kembali bertanya biaya yang dikeluarkan, apabila setelahnya sang khalifah tidak mampu mengeluarkan air dari tubuhnya. Khalifah Harun Arrasyid menyampaikan bahwa ia akan membayar dengan seluruh hartanya. Setelahnya, sang faqih itupun menyampaikan bahwa harta yang dikeluarkan oleh sang khalifah tidak senilai dengan seteguk air dan keluarnya air yang keluar dari tubuhnya.
Kisah tersebut menjelaskan bahwa konsep rasionalitas tidaklah serta merta menjadi acuan. Bagaimana mungkin seteguk air dibayar separuh harta, sementara dizaman sekarang air mineral disekitar kita hanyalah seharga 3000-an rupiah per kemasan. Lalu bagaimana pula seluruh harta dikeluarkan oleh sang khalifah padahal bayar toilet hanya 2000-3000 Rupiah per masuk, apabila dipadankan dengan fenomena waktu saat ini.
Disinilah islam mengajarkan konsep rasionalitas didasari pada wahyu, yang nantinya akan dikenal sebagai hikmah. “Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, maka janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) termasuk orang-orang yang ragu” yang merupakan terjemahan Surah Al-Baqarah ayat 147 misalnya menjelaskan asal muasal kebenaran sejati dalam alam semesta. Rasionalitas Islam, mengajarkan bahwa setiap manusia wajib senantiasa berpikir atas segala sesuatu fenomena terjadi, baik bersifat parsial maupun universal yang dibahasakan oleh Syaikh Ibnu Qayyim Aljauziyah rahimukumullah sebagai aktivitas tadzakkur dan tafakkur. Tadzakkur adalah kegiatan mengingat pelajaran dari setiap peristiwa yang terjadi yang disandarkan kepada kalamullah ,sementara Tafakkur adalah aktivitas merenungi segala perbuatan sembari komitmen dalam perbaikan.
Kedua aktivitas tersebut, menurut Syaikh Ibnu Athailah rahimukumullah dapat memunculkan berbagai keyakinan akan kebenaran sejati , merupakan hakikat iman dari pribadi seorang muslim yang kelak disebut hikmah. Konsep ilmu hikmah ini menjadikan manusia lebih tenang dan lega menerima kebenaran dalam kehidupan. Rasionalitas yang disandarkan pada wahyu Allah SWT, memperkuat keyakinan seorang manusia dalam menerima apapun ketentuan yang terjadi, termasuk nilai esensi kebenaran yang terus berkembang. Inilah yang dikatakan oleh cendekiawan Husein Isik, menjadi jawaban atas keterbatasan rasionalitas manusia dalam menginderakan berbagai kejadian sebagai makhluk.
Wallahu alam bishawab.
Achmad Puariesthaufani Nugroho
Redaktur Kuliahalislam.com
Referensi
1) Semua ada Saatnya, Syaikh Mahmud Al Mishri (Ditahqiq oleh ustadz Abdul Shomad)
2) Al-Hikam, Syaikh Ibnu Athailah
3) Madarijus Salihin, Syaikh Ibnu Qayyim Aljauziyah
4) Kesepaduan Iman dan Amal Shaleh, Buya HAMKA
5) Motivasi Beramal, K.H Hasan Mansur Nasution
6) Iman dan Islam, Husein Hilmi Isik