KULIAHALISLAM.COM – Apakah material selalu bisa mengganggu yang ideal? Semisal material dalam ekspresi simbol perbedaan itu bisa selalu dianggap mengganggu ideal keberagaman dan persatuan? Sepertinya tidak. Malah justru sebaliknya, bisa saja material itu memperkuat yang ideal.
Contohnya saja hijab sebagai sebuah ekspresi keberagaman. Dalam kerangka Material Dialectics seperti yang diuraikan oleh Karl Marx, hijab sebagai simbol material bisa berperan dalam memperkuat kesadaran kolektif dan solidaritas dalam komunitas Muslim. Ia bukan hanya sekadar kain yang menutupi kepala, tetapi sebuah simbol yang menggerakkan diskusi dan pemahaman lebih dalam tentang identitas, nilai-nilai agama, dan perlawanan terhadap homogenisasi budaya. Melalui dialektika ini, hijab berfungsi sebagai medan di mana ideal keberagaman dan persatuan ditantang, diuji, dan pada akhirnya diperkuat.
Dari sudut pandang Pragmatism seperti yang diajarkan oleh William James, hijab menjadi lebih dari sekadar simbol religius—ia menjadi tindakan nyata yang merealisasikan nilai-nilai keberagaman dalam praktik sosial sehari-hari. Penggunaan hijab menguji dan memperkuat keyakinan dalam nilai-nilai seperti inklusivitas dan penghormatan terhadap perbedaan, bukan hanya dalam teori tetapi dalam realitas yang konkret.
Phenomenology ala Maurice Merleau-Ponty memandang hijab sebagai bagian dari tubuh dan pengalaman material yang melibatkan makna dan identitas seseorang. Hijab tidak hanya sebuah objek material, tetapi merupakan bagian integral dari cara seorang individu mengalami dan mewujudkan keberagaman dan persatuan dalam dunia yang konkret. Dalam konteks ini, materialitas hijab justru memperkaya ideal keberagaman melalui realisasi nyata dalam kehidupan sehari-hari.
Melalui lensa Postmodernism yang dikemukakan oleh Jean Baudrillard, hijab bisa dilihat sebagai simulakrum—sebuah simbol yang bukan hanya mencerminkan kenyataan tetapi menciptakan realitas baru. Hijab sebagai ekspresi material dari identitas religius tidak hanya sekadar mengikuti tradisi, tetapi juga menciptakan ruang baru di mana keberagaman dan persatuan dipertanyakan, dirundingkan, dan pada akhirnya diperkuat melalui interpretasi simbolis yang beragam.
Terakhir, dalam Critical Theory ala Theodor Adorno dan Max Horkheimer, hijab sebagai simbol material juga bisa dilihat sebagai bentuk perlawanan terhadap homogenisasi budaya yang dipaksakan oleh dominasi ideologis. Dengan mengenakan hijab, individu memperkuat narasi alternatif yang menekankan pentingnya keberagaman dan persatuan, bahkan dalam menghadapi tekanan untuk konformitas. Materialitas hijab, dalam hal ini, tidak hanya mendukung ideal keberagaman tetapi juga memperjuangkannya di ruang publik.
Dengan demikian, hijab sebagai ekspresi material tidak hanya menguatkan identitas individu tetapi juga memperkuat idealisme keberagaman dan persatuan dalam masyarakat yang plural. Jadi, harus bisa dibuktikan manakala hijab sebagai sebuah material apakah bisa mengganggu persatuan dalam keberagaman? Saya kira tidak semudah itu.