Ketika kita menulis tentu salah satu elemen terpenting adalah objek formal atau dapat dikatakan juga dengan teori untuk menjawab problem akademik yang akan diangkat. Salah satu yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah sosiologi pengetahuan dari Karl Mannheim seorang sosiolog masa awal asal Hungaria (Arisandi, 2015: 82). Adapun teori ini mengklaim bahwa sebuah pemikiran tidak dapat dipahami secara mendalam, tanpa adanya penelusuran aspek sosialnya (Hamka, 2020: 78).
Sosiologi pengetahuan ini mengupayakan gambaran umum terhadap pembacaan ulang atas perbedaan pemikiran dan menunjukkan pengaruh ideologi dalam sebuah produk pemikiran untuk berkontribusi atas resolusinya (Simonds, 1978: 50). Oleh karena itu, sosiologi pengetahuan Karl Mannheim akan mengupas pengaruh konteks sosio-politik dari seorang mufasir terhadap penafsirannya.
Hal ini karena sosiologi pengetahuan berporos kepada konteks situasi sosial atau eksistensi pengetahuan yang mengalami perkembangan saat itu serta variabel-variabel seperti kondisi ekonomi, politik, dan budaya (Fanani, 2010: 20).
Adapun pengertian sosiologi pengetahuan adalah kajian lebih mendalam secara sistematis terhadap pengetahuan, gagasan, dan fenomena intelektual umum serta suatu pemikiran tidak terlepas dari situasi dan kondisi realitasnya (Arisandi, 2015: 83–84). Sosiologi pengetahuan ini merupakan kritik terhadap objektivisme, karena tidak ada pengetahuan yang bersifat objektif (Dermawan, 2013: 333).
Mannheim memunculkan konsep relasionisme untuk membuktikan bahwa pengetahuan memiliki posisi pada struktur sosio-historis suatu lingkungannya (Berger & Luckman, 2013: 14). Kemudian Prinsip dasar sosiologi pengetahuan melihat bahwa segala bentuk pemikiran atau tindakan selalu dipengaruhi struktur sosiologis dan struktur masyarakat (Scheler, 2013: 23).
Hal pertama yang perlu dilakukan dalam penyelidikan adalah melakukan karakterisasi dari pemikiran yang bertentangan dengan konsep pemikiran secara universal. Langkah konkret untuk menunjukkan perbedaan kerangka berpikir dapat ditempuh dengan menunjukkan perbedaan jenis pemikiran dengan gaya pemikiran lain (Mannheim, 1986: 36).
Teori ini menjelaskan bahwa Tindakan manusia dipengaruhi oleh dua dimensi yaitu dimensi tindakan (behavior) dan makna (meaning), berarti mewajibkan peneliti untuk melihat unsur perilaku eksternal dan makna perilaku. Berikut penjelasannya (Ernantika, 2021: 59):
Pertama, Perilaku eksternal, faktor ini mempengaruhi perilaku, tingkah laku, dan kerangka berpikir seseorang yang berasal dari lingkungan, kelompok, dan budaya.
Kedua, Makna perilaku memiliki tujuan untuk menguraikan teks subjektif dari pengarang dan dimensi psikologi sebagai proses memproduksi pengetahuan.
Mannheim membedakan makna tindakan yang dipengaruhi konteks sosial, yaitu pertama, makna objektif adalah makna yang tidak lepas dari konteks sosio-politik ketika tindakan/pemikiran tersebut berkembang. Kedua, makna ekspresif yaitu makna yang ditampilkan oleh pelaku tindakan/penafsiran. Ketiga, makna dokumenter adalah menentukan maksud yang tersirat pada aktor yang menggambarkan kebudayaan secara keseluruhan. Makna yang terakhir ini paling luas dan muncul bersamaan dengan gambaran suatu zaman (Ramli, 2018: 100).
Makna objektif melihat konteks yang mengitari latar lingkungan sosial pada sebuah tindakan penafsiran/perilaku. Peristiwa apa saja yang terjadi pada pelaku harus diungkapkan agar dapat merumuskan permasalahan mulai dari sosial,ekonomi, politik, maupun budaya. Pada penjelasan sebelumnya telah diungkapkan bahwa memahami pemikiran seorang tokoh tidak akan mendapatkan hasil yang objektif tanpa keterangan atau episode-episode peristiwa yang terjadi.
Praktik terkait kasus ini semisal dalam melihat sebuah penafsiran, maka makna ini mengungkapkan fenomena sosial, ekonomi, politik, dan budaya yang berkembang bersamaan dengan penafsiran tersebut. Hal ini karena penafsiran terhadap suatu objek dipengaruhi oleh karakter tokoh tersebut (Ramli, 2018: 101). Makna ini menelusuri makna-makna yang muncul di sekitar Muhammad Ali.
Makna ekspresif merupakan langkah yang dapat menguraikan makna yang disampaikan pelaku dalam hal ini pelaku penafsiran yang diterima dan mengalami perkembangan. Pelaku penafsir mengolah penafsirannya melalui berbagai proses mulai dari hasil bacaannya terkait suatu objek, bahkan proses interaksi/diskusinya dengan orang lain.
Secara sederhana makna ekspresif ini adalah makna yang dimunculkan tokoh/pelaku, sebagai contoh ketika membaca al-Qur’a>n dengan sangat menghayati dan menyelami maknanya, pembaca merasakan ketenangan jiwa, bahkan dapat menjadi syifa’ terhadap apa yang sedang dialami (Latif, 2014: 86).
Makna dokumenter merupakan makna tersirat yang tanpa disadari mengandung suatu kebudayaan secara keseluruhan. Makna tersirat ini akan mengalami implikasi terhadap kontinuitas suatu tindakan dalam hal ini penafsiran dalam kebudayaan masyarakat.
Untuk memudahkan dalam memahami langkah ini, contoh sederhana adalah ketika kita bermain bola bahkan hanya menonton saja, di sana memunculkan kenyamanan dalam melakukan tindakan tersebut (Ernantika, 2021: 71). Apabila dikaitkan pada sebuah penafsiran, maka makna ini adalah mengupas penafsiran yang dapat dikatakan sebagai respon terhadap peristiwa ataupun fatwa yang dibutuhkan sebagai reaksi.
Pada dasarnya teori Karl Mannheim yang telah dijelaskan di atas merupakan pengkajian secara mendalam mengenai aspek internal pelaku dan aspek luar yang mempengaruhi pelaku dalam bertindak. Oleh karena itu, teori ini ketika digunakan dalam sebuah penelitian akan mengungkapkan berbagai makna yaitu makna objektif, ekspresif, dan dokumenter.
Hasil ini didapatkan dari penelusuran kondisi konteks sosial, ekonomi, politik, dan budaya dari seorang mufassir yang dijadikan objek material ketika dia melakukan penafsirannya tentang tema-tema tertentu dalam Alqur’an.
Hal ini tentunya menunjukkan bahwa pola pemikiran mufasir ketika melakukan penafsirannya terhadap ayat-ayat Alqur’an tidak muncul secara tiba-tiba tanpa alasan. Justru ada suatu latar belakang yang mendorong mufasir untuk mengungkapkan makna Alqur’an berdasarkan kondisi atau konteks sosial-politiknya. Apabila dipahami secara mendalam lagi konsep ini berawal dari hermeneutika Friedrich D.E. Schleiermacher yang berporos pada tiga tautan yakni teks, pembaca, dan pengarang.
Daftar Pustaka
Arisandi, H. (2015). Buku Pintar Pemikiran Tokoh-Tokoh Sosiologi Dari Klasik Sampai Modern (I). IRCiSoD.
Berger, P. L., & Luckman, T. (2013). Tafsir Sosial Atas Kenyataan (H. Basari (trans.); X). LP3ES.
Dermawan, A. (2013). Frankfurt Dan Sosiologi Pengetahuan. SosiologIi Reflektif, 8(1), 325–339.
Ernantika, D. (2021). Doktrin Komunitas Masyarakat Tanpa Riba (Tinjauan Sosiologi Pengetahuan Karl Mannheim) [Institute Agama Islam Negeri Ponorogo]. http://etheses.iainponorogo.ac.id/id/eprint/13151
Fanani, M. (2010). Metode Studi Islam: Aplikasi Sosiologi Pengetahuan Sebagai Cara Pandang. Pustaka Pelajar.
Hamka. (2020). Sosiologi Pengetahuan: Telaah Atas Pemikiran Karl Mannheim. Socale: Journal of Pedagogy, 3(1), 76–84.
Latif, U. (2014). Al-Qur’a>n Sebagai Sumber Rahmat dan Obat Penawar (Syifa’) bagi Manusia. Jurnal Al-Bayan, 21(30), 77–88. https://doi.org/http://dx.doi.org/10.22373/albayan.v20i30.125
Mannheim, K. (1986). Conservatism: A Contribution to the Sociology of Knowledge (D. Kettler, V. Meja, & N. Stehr (eds.); D. Kettler & V. Meja (trans.)). Routledge.
Ramli. (2018). Mannheim Membaca Tafsir Quraish Shihab Dan Bahtiar Nasir Tentang Auliya’ Surah Al-Maidah Ayat 51. Refleksi, 18(1), 91–114.
Scheler, M. (2013). Problems of a Sociology of Knowledge (M. S. Frings (trans.)). Routledge.
Simonds, A. P. (1978). Karl Mannheim’s Sociology of Knowledge. In Clarendon Press. Oxford University Press. https://doi.org/10.5840/philstudies19802758