Kuliahalislam.Wajib (Fardhu) secara bahasa berarti yang mesti, harus, yang perlu atau fardhu. Secara istilah berarti pembuatan yang dituntut kitab syar’i (ruang lingkup syariat) untuk dikerjakan. Para ahli fiqih (fukaha) memberi batasan bahwa wajib adalah suatu perbuatan yang bila dikerjakan mendapatkan pahala dan bila ditinggalkan mendapatkan dosa serta siksa.
Dalam Islam, hukum syariat dibedakan menjadi dua macam yaitu; pertama, hukum taklifi yaitu kitab syar’i mengandung tuntutan untuk para mukallaf agar dikerjakan, ditinggalkan atau dipilih atau dikerjakan dan ditinggalkan.
Hukum Taklifi ini memiliki lima kategori operatif yaitu wajib, sunnah (nadb), haram, makruh dan mubah. Kedua, hukum Wad’i yaitu kirab syar’i yang mengandung pengertian bahwa terjadinya sesuatu itu adalah sebagai sebab, syarat atau penghalang sesuatu. Misalnya, wajib berwudhu untuk melaksanakan salat.
Mayoritas ahli fikih berpendapat bahwa wajib dan fardhu adalah satu arti. Wajib atau fardhu adalah salah satu dari Al Ahkam al-Khamsah ( hukum yang lima). Menurut mayoritas ulama fiqih, wajib yaitu titah yang mengandung perintah yang harus dikerjakan dan bila tidak dikerjakan akan mendapatkan dosa, mandub yaitu perintah yang mengandung suruhan tetapi tidak harus dikerjakan atau yang biasa disebut dengan sunnah, haram yaitu titah yang mengandung larangan yang harus ditinggalkan, makruh yaitu perkara yang tidak disukai dan mubah yaitu hal-hal yang boleh dikerjakan dan boleh ditinggalkan.
Tetapi ulama mazhab Hanafi membedakan kedua istilah ini. Mereka berpandangan bahwa, apabila tuntutan untuk mengerjakan sesuatu perbuatan itu didasarkan pada dalil-dalil Qat’i ( ketetapannya secara eksplisit jelas dan tegas), baik dalil Al-qur’an maupun hadis Mutawattir maka disebutlah dia dengan fardhu.
Bila ditunjuk oleh dalil-dalil Zanni ( ketetapannya tidak jelas dan tegas) yaitu hadis-hadis Ahad ( hadis-hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat Mutawattir) disebutlah wajib. Misalnya, membaca ayat Al-Qur’an dalam salat adalah fardhu karena ditunjuk oleh dalil Qat’i (Q.S 73;20), sedangkan mengkhususkan untuk membaca surat al-Fatihah dalam salat adalah wajib karena ditunjuk oleh dalil zanni yaitu hadis Ahad.
Oleh sebab itu, bagi ulama Mazhab Hanafi, untuk memenuhi fardhu salat cukup membaca ayat-ayat Al-Qur’an yang mana saja yang diinginkan dan tidak harus membaca al-Fatihah.
Hal ini karena bagi mereka membaca al-Fatihah hukumnya hanya wajib bukan fardhu. Meninggalkan fardu dalam salat akan membatalkan salat sedangkan meninggalkan yang wajib tidak membatalkan salat tetapi perlu sujud sahwi.
Suatu penetapan yang menuntut suatu perbuatan yang wajib dikerjakan dapat diketahui melalui beberapa petunjuk antara lain; pertama, apabila dalam penetapan itu dicantumkan kata-kata yang tegas menunjukkan keharusan untuk dikerjakan, misalnya kata “Kutiba” dalam surat al-Baqarah ayat 183 yang mewajibkan berpuasa.
Kedua, apabila penetapan itu menggunakan Fi’il Amar ( kata kerja perintah), misalnya kata “Atuhunna” dalam surat an-Nisa ayat 103. Ketiga, apabila dalam penetapan tersebut diterangkan siksa bagi orang yang tidak melaksanakan perintah Allah. Hal ini misalnya kewajiban membagikan harta warisan yang tercantum di dalam surat an-Nisa ayat 11, 12 dan 14 yang isinya mengancam orang-orang tidak mau melaksanakan pembagian harta warisan menurut ketentuan Allah dan hukumnya akan dimasukkan ke dalam api neraka.
Wajib menurut ketentuan hukum fiqih dapat dibedakan dalam beberapa macam, tergantung pada sisi mana yang meninjaunya, seperti yang dijelaskan sebagai berikut. Dari ada dan tidaknya pilihan terhadap tuntutan yang diminta, wajib dibagi menjadi dua.
Pertama, Wajib atau Fardhu Mua’ayyan yaitu kewajiban yang telah ditentukan secara pasti wujud perbuatannya tanpa ada pilihan lain. Misalnya, kewajiban menjalankan salat, puasa zakat dan haji. Artinya, mukallaf tidak dapat dibebaskan dari kewajiban, tetapi dia harus tetap melaksanakan perbuatan atau perintah sebagaimana yang telah ditentukan. Jadi dia tidak boleh menggantinya dengan perbuatan lain.
Kedua, Wajib atau Fardu Mukhayyar, yaitu boleh memilih diantara kewajiban yang ditentukan. Misalnya, kewajiban membayar kafarat (tebusan) bagi pelanggar sumpah. Tebusan itu ada tiga macam pilihan yaitu memberi makan sepuluh orang
fakir-miskin, memberi pakaian mereka atau memerdekakan seorang hamba sahaya (Q.S 5:89). Dengan melakukan salah satu dari tiga macam kafarat ( tebusan) maka gugurlah kewajiban mukallaf.
Ditinjau dari segi jumlah yang ditentukan atau jumlah yang belum ditentukan dari satu kewajiban, maka wajib dibagi atas menjadi dua macam.
Pertama, Wajib atau Fardhu Muhaddad, yakni suatu kewajiban yang telah ditetapkan jumlahnya oleh hukum Islam. Artinya, mukallaf tidak bebas dari tanggung jawab jika belum melaksanakan seluruh jumlah dari suatu kewajiban yang telah ditetapkan.
Misalnya, jika mukallaf melaksanakan salat fardhu yang lima, tidaklah terbebas dari beban kewajiban sekiranya jumlah rakaat, syarat-syarat dan rukun dari setiap salat itu tidak dipenuhi.
Kedua, Wajib atau Fardu Gairu Muhaddad yaitu suatu kewajiban yang tidak ditetapkan jumlahnya oleh syariat. Misalnya, kewajiban memberikan infak (derma) fisabilillah ( di jalan Allah) sebagaimana tertera dalam surat Muhammad ayat 38 dan kewajiban memberi pertolongan dalam kebajikan (Q.S 5:2). Baik jumlah maupun ukuran yang diberikan tidak ditentukan batasnya.
Ditinjau dari segi pemberian beban pada mukallaf, maka wajib dibagi menjadi dua. Pertama Wajib atau Fardu Ain yaitu suatu kewajiban yang dibebankan kepada setiap mukallaf.
Kewajiban mukallaf tidak akan bebas selama dia sendiri tidak mengerjakannya. Misalnya, kewajiban menjalankan salat, menunaikan zakat, memenuhi janji yang pernah diucapkan.
Kedua, Wajib atau Fardu Kifa’i ( wajib atau fardhu kifayah) yakni kewajiban yang dibebankan kepada sekelompok orang atau mukallaf.
Artinya, bila ada salah seorang dari mereka telah mengerjakan kewajiban yang dituntut, maka mukallaf lainnya yang tidak mengerjakan tidak dibebani dosa. Tetapi bila tidak ada seorangpun yang mengerjakannya maka seluruhnya memikul dosa. Misalnya, memandikan, mengkafani, membayangkan dan menguburkan jenazah.
Dalam hukum Islam wajib kifayah dapat berubah menjadi wajib ain. Hal ini terjadi apabila orang yang sanggup menjalankan beban itu hanya satu orang sedangkan yang lainnya tidak sanggup. Misalnya, jika dalam satu daerah hanya ada seorang dokter, baginya tugas itu menjadi wajib ain, meski semula kewajiban menjadi dokter adalah wajib kifayah.
Ditinjau dari segi waktu dalam menunaikan kewajiban, maka wajib dibagi menjadi dua. Pertama, wajib mutlak yaitu suatu kewajiban yang tidak ditentukan waktu mengerjakannya.
Misalnya,kafarat wajib bagi pelanggar sumpah, tetapi kapan membayar tebusannya tidak ditentukan waktunya. Oleh sebab itu, dia dapat segera membayar tebusannya saat setelah sumpah dilanggarnya atau pada waktu yang lain.
Kedua, wajib atau fardu muqayyat yaitu kewajiban yang telah ditentukan batas waktunya. Misalnya, kewajiban menjalankan salat lima waktu, puasa di bulan Ramadan. Semua ini telah ditentukan waktunya sehingga tidak boleh kerjakan sebelum atau sesudah batas waktunya.
Wajib Muqayyad dibedakan menjadi tiga macam. Wajib atau fardu muwassa’, yaitu apabila waktu yang telah ditentukan sangat longgar. Misalnya, salat zuhur memiliki batas waktu yang lama sehingga dapat dimanfaatkan pula untuk melakukan kewajiban sejenis seperti salat sunnah.
Kedua, wajib atau fardu mudayyaq yaitu waktu yang ditentukan sangat sempit misalnya, puasa Ramadan yang waktunya sangat sempit sehingga tidak memungkinkan untuk mengerjakan kewajiban serupa seperti puasa sunnah.
Ketiga, wajib atau fardu zu syibhain yakni waktu yang ditentukan dalam satu segi sempit dan dalam segi lain longgar. Misalnya, waktu mengerjakan Ibadah Haji pada bulan-bulan tertentu yang longgar, yang itu di samping untuk menunaikan ibadah haji juga untuk mengerjakan ibadah-ibadah lain.
Tetapi jika ditinjau dari segi bahasa seorang mukallaf tidak boleh menunaikan Haji pada tahun yang sama untuk dua kali maka waktunya menjadi sempit.
Sehubungan dengan masalah wajib Muqayyad, para ulama Ushul Fiqih membahas tentang fungsi niat, nama dan ketentuan perbuatan yang dalam atau di luar waktu yang telah ditentukan. Hal ini dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, fungsi niat. Dalam waktu yang longgar (muwassa’) suatu perbuatan tidak akan dapat memenuhi kewajiban, kecuali dengan niat yang tegas dalam waktu yang longgar itu dimungkinkan pula untuk melakukan perbuatan lain.
Misalnya, seseorang harus berniat untuk melaksanakan salat zuhur. Apabila ia tidak berniat, maka ia belum dianggap menunaikan salat itu. Demikian untuk yang lainnya, misalnya untuk salat sunnah, dia berniat untuk salat sunnah untuk salat sunnah yang dilakukannya.
Untuk kewajiban yang waktunya sempit (mudayyaq) tidak ada tuntutan perbuatan niatnya di waktu melaksanakan pembuatan wajib itu karena pada saat itu semuanya hanya untuk apabila kewajiban yang dituntut saja.
Apabila seseorang berniat secara mutlak untuk berpuasa kemudian bulan Ramadan dan tidak menyatakan niatnya secara tegas untuk puasa wajib (mafrud), puasa itu tetap menjadi puasa wajib.
Apabila dia berniat puasa sunnah, maka puasa itu bukan puasa sunnah lagi, akan tetapi menjadi puasa wajib. Hal serupa juga berlaku untuk kewajiban yang waktunya zu syibhan. Namun berbeda apabila dia berniat sunnah, maka perbuatan yang diniati itu sunnah itu menjadi sunnah pula. Dalam hal ini wajib zu syibhan sebagai wajib muwassa’.
Kedua, nama perbuatan dan ketentuannya. Apabila seseorang mengerjakan wajib muqayyad dengan sah, sempurna dan tepat waktu, maka disebut dengan Ada’ ( tunai).
Apabila dikerjakan dengan sah tetapi tidak sempurna, kemudian dia mengulang kembali secara sempurna di waktu yang ditentukan itu, maka perbuatan itu disebut I’adah ( mengulang).
Misalnya, mengulangi salat zuhur yang telah ditentukan. Pengulangan itu disebabkan salat yang kedua kalinya dilakukan secara berjamaah dan salat sebelumnya dilakukan secara sendirian atau tidak berjamaah.
Pengulangan ini masih dalam batas waktu salat zuhur. Apabila kewajiban itu dilakukan setelah habis waktunya maka perbuatan itu disebut Kada (pengganti).
Ensiklopedia Islam