Pembagian Jiwa ala Ibnu Miskawaih
KULIAHALISLAM.COM – Pembahasan tentang jiwa sudah di mulai sejak awal filsafat berkembang, namun seiring perkembangan zaman, para filosof Islam pun tidak luput dari pembahasan tentang jiwa. Berbagai definisi dan tingkatan yang telah di kemukakan oleh para filosof baik dari Barat maupun Timur.
Di dalam Islam sendiri terdapat beberapa filosof yang membahas tentang jiwa salah satunya adalah Ibnu Miskawaih. Mau tahu bagaimana Ibnu Miskawaih memandang manusia? Dan bagaimana dia membagi jiwa manusia? Yuk simak penjelasan berikut.
Biografi Singkat tentang Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih merupakan salah seorang tokoh cendekiawan dan filosof muslim, dia terkenal karena sangat mendalami tentang filsafat akhlak. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Muhammad bin Ya’kub bin Miskawaih. Dia dilahirkan di kota Rayy, saat ini dikenal dengan negara Iran.
Ibnu Miskawaih lahir pada tahun 330 H/932 M dan meninggal pada tahun 421 H/1030 M. Ibnu Miskawaih tidak hanya ahli pada bidang filsafat saja, melainkan dia juga ahli di dalam beberapa bidang pengetahuan lainnya, seperti sejarah, kimia, fisika dan bahasa. Karya-karya dari Ibnu Miskawaih sangatlah banyak, Suwito menulis 41 buku dan manuskrip yang ditulis oleh Ibnu Miskawaih.
Namun sangat disayangkan nasib Ibnu Miskawaih sama seperti kebanyakan ulama muslim pada abad pertengahan. Yakni sebagian besar karya Ibnu Miskawaih hilang, hal ini terkait dengan penyerangan Baghdad oleh pasukan Mongolia.
Pada masa itu, banyak buku-buku karya ulama muslim yang dibakar, dibuang, dan dihancurkan. Meski demikian, masih ada beberapa buku karya Ibnu Miskawaih yang masih bisa diselamatkan adalah;
Risalat al-lazzat wal Alam (tentang kesenangan dan kepedihan jiwa), Maqalat An-Nafs wa al-Aql (makalah tentang jiwa dan akal), dan beberapa karyanya yang lain, salah satu karya momental dari Ibnu Miskawaih yang berjudul Thazib al-Akhlak (pendidikan tentang akhlak) yang ditulis pada saat usianya sudah mencapai 80 tahun (Suwito, 2004: 68).
Pandangan Ibnu Miskawaih tentang Manusia
Ibnu Miskawaih memandang manusia sebagai perpaduan antara unsur lahiriah dan batiniah. Menurutnya, unsur pertama yang terdapat di dalam manusia adalah jasad. Jasad sebagai bentuk dari material yang berasal dari alam. sedangkan unsur yang kedua adalah jiwa, jiwa merupakan bentuk spiritual yang berasal dari pancaran Allah SWT.
Menurut Ibnu Miskawaih, baik jasad maupun jiwa keduanya hidup, hal itu ditandai dengan adanya pergerakan. Gerak jasad disebut dengan tabiat atau natur, dan gerak ini memiliki enam bentuk gerak: gerak untuk menjadi, bercerai, berkembang, berkurang, bertempat, dan berpindah.
Jasad merupakan unsur dari materi, oleh karena itu sifatnya tidak kekal atau suatu saat bisa hancur. Sedangkan jiwa hanya memiliki satu gerakan yaitu gerak melingkar (al-harakah al-dauriyyah). Oleh karena itu, jiwa tidak mengalami kehancuran, jiwa tidak akan berkurang atau bertambah, dan juga jiwa sifatnya kekal.
Pembagian Jiwa Menurut Ibnu Miskawaih
Di dalam kitab Tahzhib Al Akhlak, Ibnu Miskawaih membagi daya jiwa dalam tiga bagian. Pertama, Ibnu Miskawaih menyebut jiwa yang bermain di lapangan materi sebagai An Nafs Al Bahimiyah. Daya jiwa ini berfungsi supaya mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan makan, minum dan seks.
Menurut Ibnu Miskawaih, ini merupakan tingkatan yang paling rendah, dalam tingkatan ini juga manusia satu level dengan binatang. Karena manusia dan binatang tidak ada bedanya, sama-sama butuh makan, minum dan juga hubungan seksual. Dan menurut Ibnu Miskawaih, bagian jiwa ini terdapat di dalam bagian tubuh yang bernama al-kabid atau lever.
Yang kedua daya jiwa pertengahan, dia menyebutnya dengan An Nafs As Sabu’iyyah. Daya jiwa ini membawa manusia ke tingkat yang lebih tinggi dari pada binatang. Daya ini melahirkan dua kemampuan, kemampuan fisik (al-idrak al-jismiah) dan kemampuan rohani (al-idrak Ar-Ruhaniyah).
Kemampuan fisik tercermin dalam pancaindra (penglihatan, pendengaran, penciuman, perasa dan peraba). Sedangkan kemampuan rohani terdiri atas tiga macam, At Takhayyul (daya khayal), At Tafakkur (daya merenung) dan At Ta’aqqul (daya berpikir). Jiwa pertengahan ini terdapat pada bagian tubuh manusia yang bernama al-qalb atau jantung.
Yang terakhir merupakan puncak dari daya jiwa yang terdapat di dalam diri manusia. Ibnu Miskawaih menyebutnya dengan An Nafs An Nathiqah yaitu daya berpikir. Dalam daya berpikir ini Ibnu Miskawaih membagi menjadi dua bagian.
Yaitu, daya berpikir yang berhubungan dengan materi (nathiqah amali) dan daya berpikir yang berhubungan dengan non materi (nathiqah nazhari). Dan daya berpikir yang berhubungan dengan non-materi (nathiqah nazhari).
Daya berpikir yang berhubungan dengan materi itu mempunyai alat di dalam tubuh manusia yaitu otak atau al-dimagh, sedangkan daya berpikir yang berhubungan dengan non- materi tidak memiliki alat di dalam tubuh. Karena bagian jiwa ini berasal langsung dari pancaran Tuhan, dan tidak mempunyai keterkaitan dengan raga atau tubuh.
Refrensi : Saiful Falah, “Jalan Kebahagiaan; Para Filsuf Muslim dan Pemikiran Filsafatnya”. (Jakarta: PT Elex Media Komputindo).
Penulis: Muhammad Rizky Shorfana (Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya)
Editor: Adis Setiawan