Penulis sebelumnya memohon izin berusaha menggunakan bahasa awam untuk menjelaskan opini penulis.
1.
Strategi
nanyak2 pakai singkatan itu sudah pernah terjadi di debat2 capres sebelum2nya. . sejak awal kemunculannya
memang menjengkelkan pemerhati bahasa.
2.
secara
politis, implikasi dari strategi ini
mungkin akan berakibat sebagian orang akan bilang: wah bodoh ya cak Imin,
istilah SGIE saja gaK tau. hmm… ini memang strategi linguistik yang ‘nakal’.
3.
Memang sangat
kreatif sebagai usaha menjatuhkan lawan. terbukti ini menjadi bullyan terhadap
cak Imin di sosmed.
4.
tapi tahukah
Anda, ini sebenarnya tidak sesederhana itu. bagi linguis, apakah dengan
akronim2 ini, kita termasuk orang-orang semakin kreatif ataukah kita ini
orang-orang yang suka menggampangkan persoalan?
5.
mari kita
bahas secara analisis linguistik sederhana, lalu nanti kita bahasa filosofi
bahasanya.
6.
SGIE sebagai
sebuah singkatan kan memang bisa menjadi singkatan apa saja, apalagi tidak
dijelaskan secara jelas konteks akronim tersebut. sejak awal kita tau SGIE
sebagai akronim memang multi tafsir. Tidak mudah memang menebak makna SGIE
dengan ribuan konteksnya. Lagi pula kata SGIE sebagai sebuah akronim berbahasa Inggris harus disebut dengan phonem bahasa inggris (es, ji, ai, i), bukan dengan phonem bahasa Indonesia ( es, ge, i, e)
7.
mari kita
masuk ke pembahasan yang lebih filosofis. sejak awalnya ada, bukankah bahasa
adalah alat manusia mencari kebenaran? dengan bahasa kita mencari kebenaran
dengan sesama manusia lain. Dengan bahasa kita mencari makna, mengenal.
8.
Termasuk
dalam debat, bukankah tujuan kita adalah menunjukkan yang benar dan mana yang salah. Disinilah letak
penjelasan moral berbahasa itu.
9.
dari sini,
kami ingin jelaskan bahwa hanya orang-orang yang punya niat buruk yang hobi
memain-mainkan bahasa.
10. ini seperti mereka-mereka yang sengaja menciptakan
bahasa hukum yang multitafsir itu. ketidakjelasan bahasa hukum memang sengaja
dibuat; dengan pasal-pasal karet mereka mencapai kepentingan mereka.
11. mempermainkan bahasa seperti ini bukanlah moral
yang diajarkan dalam literasi manapun di dunia, termasuk dalam islam.
12. Bukankah sejak awalnya, awal konsep keselamatan
(islam) yang diusung di gua hiro itu mengajak kita semua berliterasi. literasi
bermoral. mencari kebenaran. penciptaan, tauhid. “bacalah dengan menyebut
nama tuhanmu yang menciptakan.
13. bukankan kita tau bahwa alquran pun
menginginkan bahwa hukum2nya harus berdasarkan ayat yang jelas. bukan yang
mutasyabihat.
14. Bukankah takdir alquran dalam bentuk tulisan yang
ada saaat ini juga merupakan bagian dari kebijaksanaanNya agar manusia
mendapatkan agama yang jelas?
15. Demikianlah, Alquran juga sering mengatakan bahwa,
kelakuan-kelakuan memain-mainkan bahasa, literasi seperti ini sebenarnya hanya dimaklumkan oleh orang-orang yang di
dalam hatinya ada penyakit.
16. terakhir, kita diperlihatkan bahwa cak Imin,
spontan saja mempertanyakan kembali apa sebenarnya singkatan itu.
17. disinilah kami melihat letak kejujuran seorang yang berliterasi.. sebab
memang literasi bukanlah hanya sekedar
kumpulan kata dengan segala strategi gimmick-gimmicknya.
18. kata juga memiliki jiwa. kami yakin, bahwa setiap
kata yang pernah muncul dalam benak manusia pasti akan berterimakasih atas
kejujuran Imin itu.
19. beyond that, tentunya
di momen itu cak Imin ingin memastikan agar tidak salah paham. ada niatan tulus di dalamnya untuk saling
memperbaiki, inilah moral berbahasa.
20. agar jangan lagi bahasa kita pakai ini, hanya dimanfaatkan untuk hal yang tidak
senonoh. bersopan-sopanlah berbahasa, jgan sesekali berniat membuat orang
bingung.
21. Apalagi kelakuan kita dilihat orang sebagai calon
pemimpin dengan negeri ratusan bahasa.
Oleh: Julhelmi Erlanda (Mahasiswa S3 Ilmu Qur’an-Tafsir Pendidikan Kader Ulama Masjid Istiqlal & Universitas PTIQ Jakarta)