Prof.
Buya Ahmad Syafii Maarif, Ph.D merupakan Intelektual Muslim kelahiran
Sumpurkudus, Sumatera Barat pada 31 Mei tahun 1935. Dari ibu Fathiyah dan Ayah
Ma’rifah. Pendidikan Sekolah Rakyat, Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah,
Sumpurkudus, Madrasah Muallimin Muhammadiyah Lintau dan Yokyakarta, Universitas
Cokroaminoto, Surakarta, IKIP Yokyakarta.
Namun
baru satu tahun kuliah di IKIP, kuliahnya sempat berhenti karena hubungan Pulau
Jawa dan Sumetera terputus akibat pemberontakan PRRI/Permesta. Akhirnya ia
memutuskan berhenti kuliah dan menjadi guru di desa Baturento, Wonogiri, Jawa
Tengah.
Putus sambung kuliah pernah dirasakannya namun karena motivasi belajar
yang tinggi, akhirnya ia berhasil menyelesaikan kuliah walaupun harus ditempuh
sambil bekerja.
Gelar
Sarjana (Drs) diperolehnya di Yokyakarta di FKIS IKIP Yokyakarta pada tahun
1968 dengan Skripsi berjudul “ Gerakan Komunis di Vietnam (1930-1954) di bawah
bimbingan Dharmono Hardjowidjono, Dosen Sejarah Asia Tenggara. Dalam usia 30
tahun, ia berangkat ke Amerika untuk belajar sejarah di Nothern Illinois
University (1973) dan Ohio State University hingga dapat gelar “MA”. Saat itu
Buya Syafii Maarif masih mengadopsi pemikiran Islam dari Mududi, Maryam
Jameelah, tokoh Ikhwanul Muslimin dan Masyumi dan gagasan tentang negara Islam.
Muhammad
Iqbal sang pemikir besar Islam dari anak benua India pun masih hinggap dalam
pemikiran Buya Syafii Maarif. Tetapi ruh ijtihadnya belum singgah secara mantap.
Buya saat itu masih merindukan “Negara Islam”. Pada tahun 1978, ia meninggalkan
Ohio dengan tesisi berjudul “ Islamic Politics Under Democracy in Indonesia” di
bawah bimbingan Prof. Wiliam H. Frederick.
Selanjutnya,
Buya Syafii Maarif dibantu sahabatnya yaitu Prof. Amien Rais untuk menadaptakan
Beasiswa ke Amerika. Akhirnya dengan bantuan banyak pihak, Buya Syafii Maarif
berhasil mendaptkan gelar Doktor bidang pemikiran Islam di University of
Chicago dengan Tesis beliau berjudul “ Islam as the Basis of State : A Study of
the Islamic Political Ideas as Reflected in the Constituent Assembly Debates in
Indonesia”.
Pancasila Tanpa Agama
Mati
Judul
di atas diambil Buya Syafii Maarif dari tulisan Prof. Dr. Baharuddin Lopa, S.H,
mantan Jaksa Tinggi Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan yang terkenal itu.
Prof. Baharuddin Lopa memberikan komentar tentang Pancasila : “ Seorang aparat
harus berlaku adil dan jujur serta berperangah tangguh pada ajaran agama,
karena kalau seorang telah melaksanakan agama sendirinya orang yang
bersangkutan sudah Pancasilais. Pancasila sendiri terkandung dalam setiap
ajaran agama, setiap sila demi sila tertulis dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Tanpa
agama Pancasila akan mati dan karenanya setiap pejabat harus berpegang teguh
kepada agama dan selalu berdoa untuk mendapatkan rahmat dari Allah”.
Apa
yang dikemukakan Dr. Baharuddin Lopa, dirasa Buya adalah suara nurani setiap
orang yang beragama. Tidak perduli apakah Muslim atu bukan, karena memang
disanalah terletak ini persoalaan Asasi Filosofis bila kita berbicara tentang
hubungan Pancasila dan Agama.
Dr. Baharuddin Lopa telah berulang kali
mengemukakan agar Pancasila tidak malu-malu lagi untuk mengundang intervensi
wahyu untuk menyinari dirinya. Di bawah sinar wahyu, Pancasila akan punya dasar
yang kokoh, moral transedental, bukan hanya moral politik yang terllau mendunia
dan cenderung korup.
Dalam
situasi dunia yang serba matrelistik-atheistik, di mana umat manusia sedang
menatap masa depan pandangan yang serba tidak pasti, maka rasanya waktu sudah
amat mendesak bagi bangsa kita untuk “ Memancing Keterlibatan” Tuhan dalam
peroses pembangunan yang kini telah berlangsung.
Pendekatan yang serba
ekonomis-matematis tanpa orientasi moral terhadap pembangunan akan menghasilkan
masyarakat yang serba materealistik, suatu masyarakat yang anti Pancasila,
sekalipun mungkin Pancasila masih tetap secara formal sebagai dasar negara.
“Keterlibatan”
Tuhan dalam urusan manusia hanyalah mungkin bila manusia itu punya kepekaan
nurani yang intens terhadap sikap adil, jujur dan penuh tanggung jawab,
sebagaimana Barauddin Lopa kemukakan.
Namun “ Mungkinkah kita menumbuhkan sikap
adil dan jujur dalam arti yang sebenarnya bila kita hanya beragama secara
lahiriah ?” Oleh sebab itu Buya menggaris bawahi pendapat Baharuddin Lopa bahwa
“ Tanpa Agama Pancasila akan Mati”.
Beragama
bukan hanya sekedar ritual rutin yang tidak terkesan di hati. Beragama adalah
berdialog yang terus menerus dengan sumber kehidupan.
Sumber itu tidak dapat
diukur dengan kategori-kategori ruang dan waktu. Al-Qur’an menyebut sumber itu
dengan berbagai nama sesuai dengan fungsinya.
Ada ungkapan al-Khaliq
(Pencipta), karena memang Dia lah yang menciptakan segalanya dari tiada kepada
ada, sebuah ciptaan yang sungguh misterius bagi umat mnausia karena tanpa bahan baku yang tersedia. Dia
menciptakan dari suatu kehampaan total.
Nama
lain Dia ialah Rabb (Pemelihara), karena memang Dia lah yang memelihara segala
ciptaan ini, baik yang bernyawa maupun bukan.
Al-Qur’an menyebut tidak kurang
dari 99 nama Asma’ al-Husna untuk sumber kehidupan itu. Maka orang beragama
dalam arti yang sebenarnya memang sikap jujur dan adil sebagai buah yang tidak
boleh terlepas dari dialog yang intens dengan Maha Pencipta itu. Atau sebutlah
itu sebuah keniscayaan.
Pancasila
haruslah mampu berdialog dengan sumber kehidupan itu dengan cara yang diajarkan
oleh agama. Temponya sudah sangat mendesak bagi bangsa ini untuk membenahi
dirinya dalam soal moral dan dalam soal etik.
Kerterlambatan dalam pembenahan
ini hanyalah akan memberi peluang kepada sekularisme dengan segala akibatnya
yang fatal untuk mencoraki perjalanan jauh bangsa ini. Untuk sumber moral
Pancasila, Buya tidak melihat sumber lain kecuali Pancasila.