Sebelum lahirnya Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam,
Saiyydah Aminah bermimpi melihat sebuah taman yang indah yang tiada bandingnya
dan terdengar suara lembut menyapa berkata penuh kasih sayang : “Bersiap-siaplah
wahai Aminah ! saatnya telah tiba”. Setelah Saiyydah Aminah terbangun dari
tidurnya, ia seakan-akan masih melihat taman itu di hadapannya.
Pada waktu berikutnya pada saat Saiyydah Aminah telah
melahirkan, ia berdiri di tempat tidurnya. Pandangannya menyapu tempat tidur
yang memancarkan cahaya terang, melihat perempuan-perempuan yang mengitarinya
dengan kecantikan yang memukau dan mereka berkata kepada Sayyidah Aminah : “
Kabar gembira untukmu wahai Aminah, engkau telah melahirkan seorang bayi
laki-laki yang tampan, tidak ada seorang bayi pun yang bisa menandinginya tidak
sebelumnya dan tidak pula setelahnya, engkau telah melahirkan pemimpin manusia, lihatlah dan renungkanlah”
Saidah Aminah melihat seorang anak kecil memancarkan
cahaya terang. Ketampanannya belum pernah terlihat oleh mata manusia. Bayi itu
menaruh kedua Tangannya di atas tanah dengan kepala terangkat ke arah langit.
Sayidah Aminah berseru penuh kebahagiaan : “ Cahaya!Cahaya )! Ia adalah cahaya
itu”.
Suara lembut menyapa dan berkata kepada Sayyidah
Aminah : “ Kabar baik untukmu wahai Aminah ! Engkau telah melahirkan pemimpin
manusia. Engkau menjadi ibu dari pemimpin para makhluk. Selamat untukmu atas
seorang putra yang bahagia. Selamat juga untuk alam semesta atas cahaya terang
yang mengusir kegelapan. Sinarnya menerangi dunia. Berilah ia nama Ahmad wahai
Aminah ! Ia akan dipuji oleh penduduk bumi dan juga penduduk langit di dunia
maupun di akhirat. Ia telah beralih dari satu tulang rusuk ke tulang rusuk suci
yang lain hingga tiba saatnya ia tampil untuk mensucikan dunia dan
menyelamatkannya dari derita yang menyiksa. Jagalah Ia baik-baik wahai Aminah,
ia akan dimusuhi oleh kaumnya sebagai cobaan bagi orang yang menghembuskan
angin pembaharuan mengusir kejelekan dan melawan orang-orang yang zalim”.
Saidah Aminah memandang perempuan-perempuan yang
mengelilinginya dan menanyakan Siapa sesungguhnya mereka sebenarnya Tapi
tiba-tiba cahaya semakin terang sehingga Aminah tidak lagi melihat
perempuan-perempuan itu mesti nyanyian-nyanyian mereka masih terdengar merdu. Perlahan-lahan
suara itu semakin lirih. Saat fajar menyingsing, suara-suara itupun hilang
bersama perempuan-perempuan yang menyanyikannya.
Kemudian Sayidah Aminah mengulurkan kedua tangannya
sekali lagi meraih meraih si kecil. Perlahan-lahan ia mengangkatnya ke atas dan
mendekatnya di dada berulang kali dan Aminah menghadiahkan kecupan tangan untuk
sang bayi. Dengan meneteskan air mata ia berkata : “ Seandainya Abdullah
bersama kita saat ini wahai Ahmad, melihatmu dan meninggalkan kedua matanya
dengan ketampananmu. Andai saja ya bersama kita mendengar dan melihat kemudian
menuju Ka’bah, duduk di samping rumah Tuhan yang suci itu dan dengan bahagia
menerima ucapan selamat. Ia pasti akan memberikan hadiah-hadiah, mengadakan
perayaan-pelayan dengan membanggakan putranya yang tampan diantara para pemuka
dan Pembesar Quraisy. Engkau menerangi seluruh dunia wahai Ahmad. Engkau adalah
harapan dan dambaan. Di dunia ini aku tidak memiliki siapa-siapa kecuali
dirimu. Lekaslah besar wahai Ahmad dan gantikan peranan ayahmu”.
Barakah menari gembira menyanyikan senandung lagu
merdu dengan dialek Habasyah, berjalan di dalam rumah ke sana kemari seakan
dunia tidak dapat lagi menampung gerakannya. Ia berniat memberikan ucapan
selamat kepada tuan putrinya.
Abdul Muthalib masih belum beranjak dari tempat duduknya
di samping Ka’bah sementara orang-orang Quraisy yang lain telah kembali ke
rumah masing-masing. Ia terlihat duduk gelisah sambil mengamati jalan didepannya dan memasang pendengarannya dengan seksama. Fajar pun menyingsing, seperti biasa, setiap pagi orang-orang melakukan tawaf
di Baitullah. Mereka melihat Abdul Muthalib sedang kebingungan. Mereka bertanya
: “ Masihkah engkau disini wahai Abdul Muthalib ?, berhentilah bersedih,
wahai orang tua, singkirkanlah sedihmu dan nikmati sisa hidupmu”.
Barakah datang menghadap dan memanggil Abdul Muthalib
mengajaknya ke rumah Saiyydah Aminah dan memberitahukan bahwa Saiyydah Aminah
telah melahirkan. Abdul Muthalib berkata dengan suara gematar “ kebaikan
wahai Barakah. Kebaikan, bangunkan istri-istriku dan putri-putriku untuk pergi
menuju rumah Aminah dengan cepat dan panggillah dukun bersalin”.
Barakah berkata : “ Ia telah melahirkan tuanku”. Abdul
Muthalib bertanya “Siapa yang membantunya wahai Barakah ?” Barakah menjawab : “ Allah dan Malaikat-Malaikat-Nya,
Tuanku. Cahaya, Tuaku ! Cahaya ! sangat tampan, tuanku, sangat tampan”.
Abdul Muthalib tiba di rumah Abdullah. Dirinya
terdorong untuk langsung masuk ke kamar Saidah Aminah di ambang pintu kedua
matanya silau oleh cahaya amat terang yang terpancar dari bulan berkilauan dipangkuan langit. Seketika itu Abdul Muthalib menangis dan kagum ia berkata “ Maha
suci dan berkah Allah. Maha Pencipta dan Maha Agung! Maha suci dan berkah Tuhan
pemilik Kehormatan dan kemuliaan ini. bukanlah manusia ini adalah Malaikat yang
mulia”.
Saidah Aminah berkata kepada Abdul Muthalib : “ Wahai
ayahku. aku diperintahkan untuk memberi namanya Ahmad”. Abdul Muthalib
berkata : “ Ya wahai Aminah. Ahmad adalah Muhammad, ia akan terpuji di
sisi Allah dan di sisi manusia”. Abdul Muthalib menyelimuti si kecil dengan
perhatiannya. Kemudian ia pergi bersama si kecil ke Ka’bah dan melakukan tawaf
bersamanya.
Ia mendoakan kebaikan untuk si kecil dan berharap
hari-harinya bisa membahagiakan penduduk Mekah, seluruh bangsa Arab dan alam
semesta. Berita kelahiran Putra Abdullah telah sampai di setiap rumah penduduk
Mekah. Mereka pun bergegas mendatangi pemimpin Quraisy yang tengah berbahagia
itu dan mempersembahkan kepadanya ucapan selamat. Wajah mereka yang
berseri-seri menuturkan isi hati, mengagumi kisah kelahiran putra Abdullah.
Cahaya terang memancar dari wajahnya, bentuk Kilau cahaya terang berkeliling di
sekitarnya. Saat mengandung dan melahirkan, sang Ibu tidak merasakan sakit
atau Derita. Sang bayi lahir tanpa dibantu oleh siapapun.
Para utusan mengalir datang dari jauh dan dekat
mengantarkan ucapan selamat kepada Abdul Muthalib, mendoakan masa depan yang
bahagia dan kehormatan yang agung bagi putra Abdullah. Dalam kegembiraannya,
Abdul Muthalib berbicara kepada dirinya sendiri, bersyukur kepada Allah atas karunia
yang dicurahkan kepadanya dan berharap masa depan akan membahagiakannya.
Ibu Abdullah bergegas mendatangi cucunya dengan amad
rindu. Ia sampai di rumah Aminah sebelum yang lain tiba. Dengan membungkuk
kepada si kecil, ia mencurahkan kecupan hangat sembari berdoa semoga Allah
melindungi sang bayi dari semua kejelekan dan tipu muslihat manusia. Saudara-saudara
perempuan Abdullah kemudian menyusul tiba di rumah dengan cepat, membawakan
hadiah-hadiah kecil. Budak-budak wanita datang beriringan, membawakan
hadiah-hadiah lain yang lebih berat. bernyanyi yang dengan dialek khas dan
lagu-lagu daerah yang telah mereka hafal dan nyanyikan sewaktu kecil, mengetuk
gendang telinga dengan nyanyian lembut beraneka Irama dan lirik.
Abdul Muthalib masih duduk di samping Ka’bah menerima
ucapan selamat,Ia sangat senang dan merayakan kegembiraan kepada manusia. Ia berkata
: “ Adakan perayaan-perayaan yang dulu kalian larang lantaran kesedihanku
atas kematian Abdullah. Angkat setinggi-tingginya bendera hiasan, tanggalkan
pakaian kesedihan. Buka lebar-lebar jamuan makanan dan minuman, potonglah
hewan-hewan sembelihan yang gemuk halalkan daging-dagingnya untuk orang-orang
yang mau makan. Selenggarakan jamuan yang terbuka Bagi siapapun yang hendak
makan kenyang.
Abdul Muthalib juga memohon kepada Allah agar
dianugerahi usia yang panjang untuk dapat melihat Muhammad tumbuh dewasa
menjadi pemimpin yang agung. Abdul Muthalib berkata : “ Aku adalah kakekmu
wahai Muhammad sekaligus orang tuamu. Apakah waktu masih mengizinkanku untuk
menyaksikan kejayaanmu yang tersebar luas ? Engkau adalah Muhammad bin
Abdullah. Dan engkau akan menjadi nabi yang diutus dari bangsa Arab, Seorang
nabi yang telah disematkan namanya, Muhammad. Engkau bukanlah orang lain yang
juga diberi nama Muhammad oleh keluarganya karena mengharap Agungnya niat
Anugerah kenabian. Aku tidak melihat pada mereka apa yang kulihat pada dirimu.
Wahai Muhammad, Engkau adalah nabi yang dinanti-nantikan oleh orang-orang yang
sholeh dan bertaqwa. Oh, seandainya aku masih hidup saat itu dan berada di
sana. Seandainya, wahai Muhammad, Seandainya, wahai putra Abdullah”.