Definisi flexing
Secara bahasa, kata flexing berasal dari bahasa Inggris informal yang artinya menunjukkan atau memamerkan sesuatu dengan bangga. Kata flexing awalnya digunakan sebagai bahasa gaul oleh pemuda Amerika, frasa ini sering dikaitkan dengan budaya populer, khususnya hip-hop dan budaya jalanan. Menurut Merriam Webster, flexing berasal dari kata flex yang memiliki arti menunjukkan, mempertontonkan atau mendemostrasikan kepemilikan terhadap sesuatu secara mencolok.
Sedangkan secara istilah, kata flexing digunakan untuk mendefinisikan orang-orang yang gemar memamerkan harta, ibadah, pencapaian dan lain-lain. Dalam konteks Islam flexing sama dengan riya’, hanya saja bahasa yang digunakan berbeda. Fenomena flexing muncul karena adanya rasa ingin tenar sehingga menggunakan cara pamer agar dikenal oleh khalayak.
Konsep Nikmat dalam Alqur’an
Dalam Islam, nikmat merupakan segala sesuatu yang diberikan Allah SWT kepada manusia, seperti harta, kesehatan, ilmu, keluarga, atau jabatan. Alqur’an sering mengingatkan kita untuk menyadari bahwa semua nikmat itu berasal dari Allah SWT, sehingga kita harus bersyukur dan menggunakannya dengan bijak (QS. An-Nahl: 18). Namun, jika seseorang menunjukkan nikmatnya tanpa tujuan yang jelas atau hanya untuk pamer, itu bisa dianggap sebagai perilaku yang tidak baik dalam Islam.
Mensyukuri nikmat Allah tidak hanya dilakukan dengan ucapan atau hati, tetapi juga dapat ditunjukkan secara nyata dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu bentuk syukur adalah menampakkan nikmat Allah melalui cara hidup kita. Jangan sampai seseorang bersikap pelit atau berpura-pura miskin (kere), padahal Allah telah memberinya kelapangan rezeki. Jika Allah memberi kecukupan, wajar saja jika nikmat itu terlihat, misalnya dalam makanan, pakaian, atau gaya hidup yang sesuai.
Allah berfirman dalam QS. Adh-Dhuha ayat 11: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu ceritakan (siarkan).”
Pandangan ulama tentang surah adh-Dhuha ayat 11
Beberapa ulama menjelaskan bahwa ayat ini mendorong seorang Muslim untuk menampakkan nikmat yang diterima sebagai bentuk rasa syukur. Sebagaimana disebutkan dari Abu Nadhroh:
“Kaum Muslimin pada masa lalu memahami bahwa salah satu cara bersyukur adalah dengan menampakkan nikmat tersebut.” (Ath-Thobari, Tafsir Jaami’ Al-Bayan, 24:491).
Dengan menampakkan nikmat, bukan berarti berlebihan atau sombong, melainkan menunjukkan bahwa kita menghargai pemberian Allah dan menggunakan nikmat itu untuk hal-hal yang baik.
Memamerkan nikmat: antara syukur dan riya’
Memamerkan nikmat dalam Islam bisa dilihat dari dua sisi, tergantung pada niat di baliknya:
Sebagai bentuk syukur:
Menampakkan nikmat diperbolehkan jika bertujuan untuk menunjukkan rasa syukur kepada Allah dan mendorong orang lain untuk bersyukur.
Hal ini sejalan dengan QS. Adh-Dhuha: 11: “Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu menyebut-nyebutnya (dengan bersyukur).”
Contohnya adalah berbagi pengalaman tentang rezeki yang diterima untuk menginspirasi orang lain, asalkan tanpa kesombongan.
Sebagai bentuk riya’ atau flexing:
Jika niatnya untuk mendapatkan pujian, pengakuan, atau memamerkan kelebihan di hadapan orang lain, maka ini masuk dalam kategori riya’.
Riya’ adalah tindakan yang dilarang dalam Islam, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Ma’un: 4-7, yang mengecam mereka yang berbuat baik hanya untuk dilihat orang lain.
Perilaku ini bisa merusak hubungan sosial, menimbulkan rasa iri hati, dan menjauhkan seseorang dari sifat tawadhu’ (rendah hati).
Bahaya memamerkan nikmat
Mengundang Hasad: Memamerkan nikmat tanpa alasan yang jelas bisa memicu iri hati (hasad) di kalangan orang lain, yang pada gilirannya dapat merusak ukhuwah (persaudaraan).
Melupakan Allah: Ketika terlalu sibuk memamerkan nikmat, seseorang bisa terjebak dalam tipu daya dunia (ghurur) dan lupa bahwa nikmat tersebut adalah ujian dari Allah (QS. Al-Ankabut: 64).
Mengabaikan Amanah: Nikmat adalah titipan Allah yang harus digunakan untuk kebaikan, bukan untuk menunjukkan keunggulan pribadi.
Memamerkan nikmat dalam Islam memiliki dua sisi yang bergantung pada niat seseorang. Menunjukkan nikmat sebagai bentuk syukur adalah hal yang diperbolehkan, tetapi jika dilakukan dengan niat riya’ atau kesombongan, itu akan membawa dampak buruk baik secara spiritual maupun sosial. Seorang Muslim hendaknya selalu ingat bahwa nikmat adalah ujian dari Allah, yang harus dijaga, disyukuri, dan digunakan untuk tujuan yang diridhai-Nya. Semoga amal kebaikan kita diterima dan dijauhkan dari sifat yang tidak disukai Allah SWT. Wallahu A’lam Bishawab.