KULIAHALISLAM.COM – Sikap Persyarikatan Muhammadiyah terhadap Pancasila dan negara Pancasila sudah jelas. Sebagaimana yang dipaparkan dalam Muktamar Muhammadiyah di Makassar. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah (Negara Perjanjian dan Pembuktian).
Negara Pancasila sebagai darul ahdi wa syahadah Pimpinan Pusat Muhammadiyah |
Pandangan Persyarikatan Muhammadiyah Terhadap Negara Pancasila
“Bahwa Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al-‘ahdi) dan tempat pembuktian atau kesaksian (dar al-syahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar al-salam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT.”
“Pandangan kebangsaan tersebut sejalan dengan cita-cita Islam tentang negara idaman “Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur”, yaitu suatu negeri yang baik dan berada dalam ampunan Allah. Negara ideal itu diberkahi Allah karena penduduknya beriman dan bertaqwa (QS Al-A’raf: 96), beribadah dan memakmurkannya (QS Adz-Dzariyat: 56 dan Hud: 61).
Menjalankan fungsi kekhalifahan dan tidak membuat kerusakan di dalamnya (QS Al-Baqarah: 11,30), memiliki relasi hubungan dengan Allah (habluminallah) dan dengan sesama (habluminannas) yang harmonis (QS Al-Imran: 112), mengembangkan pergaulan antar komponen bangsa dan kemanusiaan yang setara dan berkualitas takwa (QS Al-Hujarat: 13), serta menjadi bangsa unggulan bermartabat khaira ummah(QS Ali Imran: 110).”
“Negara Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim tersebut dalam konteks Keislaman dan Keindonesiaan harus terus dibangun menjadi negara Pancasila yang Islami dan berkemajuan menuju peradaban utama bagi seluruh rakyat.” [Lihat hal. 12-13 dalam dokumen Muhammadiyah berjudul Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah yang disampaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar].
Pengakuan, penerimaan, dan loyalitas sepenuhnya kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang berdasarkan kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan Bhinneka Tunggal Ika.
Darul Ahdi (Negara Perjanjian)
Darul Ahdi (Negara Perjanjian), yakni negara yang berdasarkan kepada kesepakatan, perjanjian, dan konsensus bersama antara umat Islam dengan umat-umat penganut agama-agama lainnya, di dalamnya juga include segala macam etnis dari pelbagai masyarakat adat di seluruh Indonesia.
‘Ahdi (perjanjian, kesepakatan, dan konsensus) yang diperoleh itu adalah Pancasila yang terdiri dari lima sila:
- Ketuhanan yang Maha Esa.
- Kemanusiaan ysng adil dan beradab.
- Persatuan Indonesia.
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Inilah poin-poin Ahdi (kesepakatan) yang telah ditetapkan oleh umat Islam bersama dengan umat-umat penganut agama-agama lainnya, include juga di dalamnya dengan segala macam etnis dari pelbagai masyarakat adat di Indonesia, serta segala kebhinekaan kita.
“Pancasila dengan lima silanya yang luhur itu harus ditransformasikan ke dalam seluruh sistem kehidupan nasional sehingga terwujud Indonesia sebagai bangsa dan negara yang benar-benar Berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusiaan yang adil dan beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
“Pancasila harus diberi pemaknaan nilai dan aktualisasi secara terbuka dan dinamis sehingga dapat menjadi rujukan dan panduan yang mencerdaskan, memajukan, dan mencerahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.” [Lihat hal. 14 dalam dokumen Muhammadiyah berjudul Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah yang disampaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar].
Nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila hasil kesepakatan nasional (‘Ahdi) tersebut, kemudian selaras dengan Islam dan syari’ah Islam.
Sehingga dengan Pancasila menjadi dasar negara yang disepakati secara nasional, tidaklah menjadikan Islam menjadi tertahan atau terhalang untuk menerapkan syari’ah-syari’ahnya dalam kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga, kehidupan bermasyarakat, kehidupan berbangsa, dan kehidupan berkemanusiaan.
Bahkan penerapan syari’ah Islampun dalam mengisi peraturan perundang-undangan Republik Indonesia itu diperbolehkan. Dan dimungkinkan oleh negara Pancasila selama memenuhi prosedur pembuatan undang-undang yang legal dan konstitusional:
“Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.” [Lihat UUD 1945, Pasal 19, Ayat 1].
“Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang.”
“Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama.” [Lihat UUD 1945, Pasal 20, Ayat 1 dan Ayat 2].
“Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.” [Lihat UUD 1945, Pasal 16, Ayat 6].
Bahwa dalam ranah negara Pancasila, seorang muslim atau segolongan muslimin yang menjabat dalam jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif semisal Presiden, DPR, Gubernur, DPRD tingkat 1, Bupati/Wali Kota, dan DPRD tingkat 2, mereka dapat secara legal dan konstitusional mentransformasikan syari’ah Islam ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, baik wujudnya dalam Undang-Undang (UU) ataupun Peraturan Daerah (Perda).
Maka dikemudian hari, kita mengenal UU bersyari’ah di tingkat nasional seperti UU perkawinan, dan ada juga Perda Syari’ah yang telah banyak diterapkan di tingkat Provinsi/Kabupaten/Kota.
Begitu juga umat-umat dari berbagai agama lain semisal Kristen, mereka bisa secara legal dan konstitusional mentransformasikan ajaran Kristen ke dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, seperti penerapan Perda-Perda Injil di berbagai daerah mayoritas Kristen semisal Papua.
Demikian juga, umat Hindu, dapat secara legal dan konstitusional, mentransformasikan ajaran Hindu dalam peraturan perundang-undangan, seperti penerapan Perda Nyepi di daerah mayoritas Hindu semisal Bali.
Inilah negara Pancasila yang memberikan peluang yang sama dari berbagai macam penganut agama untuk mengisi peraturan perundang-undangan Indonesia selama memenuhi syarat-syarat pembentukan suatu undang-undang.
Keberadaan ‘Ahdi (konsensus) inilah yang dapat mempersatukan kita, yakni Indonesia dengan negeri yang terdiri dari berbagai macam agama, juga terdiri dari berbagai macam etnis yang beragam, berserta segala kebhinekaan lainnya.
Kita bertemu pada Pancasila sebagai ‘Ahdi yang akan selalu kita jaga untuk keutuhan bangsa dan negara ini.
Dar al-Syahadah (Negara Pembuktian)
Dar al-Syahadah (Negara Pembuktian), yakni negara yang padanya kita hidup disana dengan berkewajiban untuk terus melakukan perbaikan-perbaikan untuk negara ini, dengan senantiasa mendakwahkan kebaikan, memerintahkan kepada yang ma’ruf, dan melarang kepada yang munkar, itu semua sebagai wujud syahadah (persaksian/pembuktian) umat Islam atas umat manusia yang lain.
“Segenap umat Islam termasuk di dalamnya Muhammadiyah harus berkomitmen menjadikan Negara Pancasila sebagai Dar al-Syahadah atau negara tempat bersaksi dan membuktikan diri dalam mengisi dan membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna menuju kemajuan di segala bidang kehidupan.”
“Dalam Negara Pancasila sebagai Darus Syahadah, umat Islam harus siap bersaing (fastabiqul khairat) untuk mengisi dan memajukan kehidupan bangsa dengan segenap kreasi dan inovasi yang terbaik.”
“Dalam hal ini Muhammadiyah sebagai komponen strategis umat dan bangsa mempunyai peluang besar untuk mengamalkan etos fastabiqul khairat itu dan tampil menjadi a leading force atau kekuatan yang berada di garis depan untuk mengisi dan memimpin Negara Pancasila.”
“Menuju kehidupan kebangsaan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat sejajar dengan negara-negara lain yang telah maju dan berperadaban tinggi.” [Lihat hlm. 13-14 dalam dokumen Muhammadiyah berjudul Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah yang disampaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah Ke-47 Di Makassar].
Menjadi jelas dan terang, bahwa yang dimaksud dengan syahadah (persaksian dan pembuktian) adalah dakwah kepada Islam yang didalamnya sudah include beramar ma’ruf nahi munkar, dan bertajdid:
“Kewajiban mengemban misi Islam itu tidak pernah selesai dan harus terus dilakukan sebagai perwujudan kesaksian (syuhada ‘ala al-nas) sepanjang hayat dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan ranah kemanusiaan universal.” [Lihat hlm. 1 dalam dokumen Muhammadiyah berjudul Negara Pancasila Sebagai Darul Ahdi Wa Syahadah yang disampaikan oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 Di Makassar].
Syari’ah Islam sebagai konsep yang sempurna dan paripurna dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala harus menjadi pedoman bagi manusia dalam semua level kehidupan, baik kehidupan pribadi, kehidupan berkeluarga, kehidupan bermasyarakat, kehidupan berbangsa/bernegara, dan kehidupan berkemanusiaan universal.
Karena syari’ah Islam itulah hukum Allah sebagaimana yang ditegaskan oleh Ki Bagus Hadikusumo yang kemudian menjadi panduan wajib bagi seluruh warga Persyarikatan Muhammadiyah
“Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan denganbersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas daripengaruh syaitan dan hawa nafsu.”
“Agama Allah yang dibawa dan diajarkan oleh sekalian Nabi yang bijaksana dan berjiwa suci, adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat yang utama dan sebaik-baiknya.”
“Menjunjung tinggi hukum Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yangmengaku ber-Tuhan kepada Allah.” [Lihat hlm. 6 dalam dokumen Muhammadiyah berjudul Anggaran Dasar Dan Anggaran Rumah Tangga Muhammadiyah, yakni tepatnya dalam Muqaddimah Anggaran Dasar].
Bahwa Persyarikatan Muhammadiyah menjunjung tinggi syari’ah Islam sebagai hukum Allah yang harus menjadi pedoman bagi kita dalam segala perkara berkehidupan.
Pengakuan Muhammadiyah terhadap negara Pancasila menunjukkan bahwa dalam konsep dasar negara yang telah berpuluh-puluh tahun diperselisihkan ini, Muhammadiyah telah menyepakati negara Pancasila, dan tidak lagi mengganggu gugat kesepakatan itu dengan konsep negara Islam.
Namun bukan berarti Muhammadiyah tidaklah bertekad untuk penerapan syari’ah Islam dalam negara ini.
Akan tetapi Muhammadiyah percaya bahwa penerapan syari’ah Islam pada negeri ini hanya akan dapat tercapai melalui melaksanakan misi-misi Islam seperti dakwah dan perbaikan sebagai wujud Syahadah Muhammadiyah terhadap negeri ini.
Melalui Syahadah tersebut, yakni dakwah terus menerus, perbaikan terus dilakukan baik dalam teologis maupun sosiologis, maka syariah Islam itu akan menjadi pedoman kita secara kaffah dalam kehidupan pribadi, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa, dan berkemanusiaan.
Oleh: Ustaz Raihan Ramadhan