Kuliahalislam-Qias adalah salah satu metode untuk mengistinbatkan hukum dari Al-Qur’an dan hadis. Secara bahasa, Qias diartikan sebagai ukuran, bandingan atau memperbandingkan sesuatu dengan yang lainnya. Secara istilah, ahli Usul Fiqih mendefinisikannya dengan berbagai macam redaksi yang kandungan isinya berdekatan.
Ibrahim bin Ali bin Yusuf bin Abdullah Abu Ishaq asy-Syirazi (Fauruzabad, dekat Syiraz, 393 H/1003 M-476 H/1083 M), seorang ahli fikih mazhab Syafi’i, ahli Ushul Fiqih, sejarawan dan sastrawan, umpanya, mendefinsikan Qias sebagai “penyamaan hukum suatu peristiwa yang belum ditentukan hukumnya oleh nas syar’i (teks al-Qur’an dan hadis) dengan suatu kejadian yang hukumnya telah ditentukan oleh Nas karena ada kesamaan ‘Illat (motivasi hukum) dalam kedua peristiwa tersebut.
Maksudnya, apabila ada suatu peristiwa yang ketentuan hukumnya tidak ada dalam Nas al-Qur’an dan hadis, maka dilakukan perbandingan (analogi) peristiwa tersebut dengan peristiwa yang telah ada hukumnya dalam Nas.
Dalam perbandingan tersebut, apabila antara dua peristiwa tersebut ada kesamaan ‘illat maka peristiwa yang tidak ada nasnya itu disamakan hukumnya dengan peristiwa yang ada telah ada nas-nya tersebut. Sebagai contoh, Allah mengharamkan meminum Khamar (Q.S 5:90). Para ulama setelah melakukan penelitian secara cermat mendapatkan ‘illat diharamkannya khamar itu dengan sesuatu yang memabukan (iskar).
Kemudian diteliti pula minuman keras lainnya, umpamanya wiski, ternyata unsur iskar tersebut pun terdapat pada wiski. Baik Al-Qur’an maupun hadis tidak pernah menyebut istilah wiski, sekalipun telah disepakati hukumnya.
Oleh karena itu antara khamar dan wiski, mempunyai ‘illat yang sama yaitu sama-sama haram meminumnya. Cara penyamaan hukum wiski dan hukum khamar ini disebut kias.
Para ulama usul menyebutkan empat macam unsur (rukun) kias yaitu asl (nas Al-Qur’an atau hadis), furu’ ( peristiwa yang akan ditentukan hukumnya), ‘illat dan hukum al-asl ( peristiwa hukum yang ditentukan Nas). Dalam contoh di atas, surat al-Ma’idah ayat 90 yang mengharamkan khamar adalah asl.
Furu’ adalah peristiwa meminum wiski yang hendak dicari hukumnya, yang ada di dalam Al-Qur’an dan hadis tidak ditentukan. ‘Illat adalah suatu sifat yang dijadikan motivasi bagi ditetapkannya suatu hukum. Dalam menentukan suatu ‘Illat, para ahli ijtihad (mujtahid) berusaha mengintervarisasi kemungkinan ‘illat yang ada pada suatu Nas atau dengan istinbat sendiri jika Nas tidak secara jelas menentukan ‘illat suatu hukum.
Dari sekian banyak kemungkinan yang dapat dijadikan ‘illat, seorang mujtahid kemudian menentukan salah satu ‘illat satu yang menurut pandangannya lebih dominan ; ‘illat inilah yang dia tetapkan sebagai motivasi atau menjadi landasan suatu hukum yang ditentukan naskah tersebut sedangkan yang dimaksud dengan hukum al-asl adalah hukum yang telah ditentukan oleh Nas atau ijma’ terhadap suatu peristiwa hukum.
Di samping keempat rukun yang ditentukan oleh para ahli ulama Ushul fiqih, mereka juga menentukan syarat-syarat tertentu bagi setiap rukun tersebut.
Umpamanya, asl haruslah berbentuk ayat al-Qur’an, hadis Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam atau ijmak. Demikian menurut mayoritas ulama.
Akan tetapi, ada ulama lain berpendapat bahwa Ijmak tidak dapat dijadikan asl dalam kias, karena menetapkan ‘illat terhadap hukum yang dirasakan pada ijmak tidaklah mungkin, di samping ijmak itu sendiri harus disandarkan pada Al-qur’an dan hadis.
Untuk hukum al-asl disyaratkan bahwa hukum yang terdapat dalam Nas tersebut harus sebagai berikut. Pertama, tidak bersifat khusus untuk suatu peristiwa atau orang tertentu. Sebagai contoh, dalam hadis menyatakan bahwa apabila Khuzaimah ( seorang sahabat nabi) tampil sebagai saksi dalam suatu kasus perdata, maka tidak diperlukan lagi saksi keduanya. Hadis ini menunjukkan bahwa kesaksian Khuzaimah sebanding dengan dua orang saksi biasa.
Dalam kasus seperti ini nalar tidak dapat difungsikan. Artinya hukum kesaksian Khuzaimah itu bersifat khusus untuk dia saja tidak dapat dikembangkan untuk umum.
Kedua, bersifat ma’qul ma’na’ ( maknanya dapat dinalar dan dikembangkan). Ketiga, harus menyangkut ‘amaliah (politik) karena hukum-hukum bidang ‘amaliah ini yang menjadi lapangan ijtihad. Ada ulama lain yang menambahkan syarat bahwa keberadaan hukum al-asl harus lebih dahulu daripada furu’ dan hukum al-asl itu tidak keluar dari kaidah-kaidah kias secara umum.
Selanjutnya, untuk ‘illat ada juga syarat-syarat yang harus dipenuhi seperti; pertama, harus merupakan suatu sifat nyata dan dapat diukur, ada kesaksian antara hukum dan sifat yang dijadikan ‘illat, seperti iskar (unsur memabukkan) merupakan sifat yang serasi dalam menentukan penyebab haramnya khamar dan wiski. Kedua,harus dapat dikembangkan dalam menentukan hukum peristiwa lain yang belum ada hukumnya. Ketiga, sifatnya tidak terbatas pada suatu peristiwa hukum saja. Dan keempat, tidak berlawanan dengan Nas ataupun ijmak.
Untuk furu’ diisyaratkan ; pertama, tidak ada Nas khusus yang telah menentukan hukumnya, karena kias tidak dapat dilakukan kalau ada Nas-nya. Kedua, ‘illat yang ada pada ‘furu tersebut harus benar-benar sama dengan ‘illat yang terdapat pada hukum al-asl.
Dalam pada itu, para ulama Ushul Fiqih mengelompokkan Kias ke dalam beberapa bentuk. Dilihat dari segi kekuatan dan kelemahan ‘illat-nya, kias dibagi menjadi qiyas al-jali dan qiyas al-khafi. Qias al-jali yaitu kias yang ‘illatnya ditentukan oleh Nas, atau tidak ditentukan oleh Nas, tetapi secara pasti dapat diyakini bahwa tidak ada pengaruh yang berbeda antara asl dan ‘furu.
Umpamanya hukum memukul disamakan dengan hukum mengatakan “cis/ah” kepada ibu dan bapak seperti yang terdapat dalam surat al-Isra ayat 23 ( yang artinya; janganlah kamu mengatakan “cis/ah” kepada Ibu ataupun bapakmu).
Antara ucapan “cis/ah” kepada orang tua dan memukul mereka terdapat kesamaan ‘illat yaitu sama-sama menyakiti mereka. Sekalipun tabiat ucapan “cis/ah” berbeda dengan memukul namun esensinya sama yaitu menyakiti.
‘Illat memukul tidak terdapat di dalam Nas, akan tetapi secara meyakinkan dapat dikatakan bahwa memukul tersebut sama sakitnya, bahkan lebih sakit daripada ucapan “cis/ah”.
Kedua, Qiyas al-Khafi yaitu kias yang istinbatnya diperoleh melalui istinbat (bukan melalui nas) dan untuk menetapkan ‘illat tersebut tidak dengan jalan yang pasti. Namun, sekalipun ‘illat ini kelihatan lemah, syariat tidak meniadakannya. Sebagai contoh, mengkiaskan pembunuhan dengan benda keras kepada pembunuhan dengan benda tajam, karena ‘illat-nya sama yaitu sama-sama ada unsur kesengajaan dan rasa permusuhan, sehingga hukumnya sama-sama diqisas ( diberikan hukuman yang setimpal). Nas yang ada menunjukkan bahwa yang dikenakan qisas adalah pembunuhan yang dilakukan dengan benda tajam.
Menentukan ‘illat di sini yaitu adanya unsur kesengajaan dan rasa permusuhan, diduga tidak bertentangan dengan syariat. Dengan demikian ada yang berpendapat bahwa kedua kasus pembunuhan itu disamakan hukumnya yaitu sama-sama qisas. Namun ada pula yang membawa pendapat bahwa pembunuhan dengan benda keras tidak dapat dikiaskan kepada pembunuhan dengan benda tajam sehingga pembunuhan dengan benda keras tidak dapat dikenakan hukum qisas.
Ditinjau dari segi disebut atau tidaknya ‘illat pada asl, kias dibagi menjadi beberapa bagian. Pertama, Qias ‘illat yaitu kias yang ‘illatnya secara jelas disebutkan pada asl, sehingga furu’ dapat disamakan kepada asl, disebabkan kesamaan ‘illatnya. Ini dapat dicontohkan dengan mengkiaskan wiski dengan khamar.
Kedua, Qiyas dalalah yaitu kias yang ‘illatnya tidak disebutkan secara jelas pada asl, tetapi ‘illat itu dijelaskan atau ditunjukkan oleh lafal yang lazim bagi ‘illat tersebut, umpamanya, menyamakan hukum wiski dengan khamar didasarkan atas kesamaan bau dari kedua minuman tersebut. Ketiga, Qiyas ma’ana adalah kias dimana sifat yang menjadi motifasi hukum antara asl dan furu’ tidak dijelaskan. Contohnya, jika seseorang menyatakan bahwa dia memerdekakan budaknya, cara makna dapat dipahami bahwa dia tidak membedakan antara budak laki-laki dan budak perempuan untuk mendapatkan hak merdeka.
Pembagian lain terhadap kias tersebut didasarkan pada perbedaan tingkat kekuatan hukum berdasarkan ‘illat yang ada pada asl dan furu’. Umpamanya, ‘illat yang ada pada furu’ lebih utama dari ‘illat yang ada pada asl atau ‘illat yang ada pada furu’ sama kekuatannya dengan ‘illat yang ada pada asl atau ‘illat yang ada pada ‘furu lebih lemah dari ‘illat yang ada pada asl.
Pembagian seperti ini bisa juga dilihat dari segi jelas atau tidaknya ‘illat pada suatu Nas. Kategori ini dibagi para ahli Ushul fiqih menjadi Qias al-aula yaitu qiyas dimana ‘illat hukum yang ada pada ‘furu lebih kuat daripada yang ada pada asl. Kedua, Qias al-musawi yaitu kias di mana hukum ‘furu mempunyai ‘illat hukum yang sama kekuatannya dengan ‘illat hukum asl. Misalnya, menyamakan hukum haram memakan harta anak yatim dengan membakarnya, keduanya sama-sama bermaksud menghabiskan harta tersebut. Ketiga, Qiyas al-adna adalah kias di mana hukum furu’ lebih lemah keterkaitannya dengan hukum asl. Misalnya, mengkiaskan hukum apel kepada gandum dalam hal riba fadl ( riba yang didasarkan pada adanya kelebihan yang terjadi dalam tukar menukar antara dua bahan kebutuhan pokok atau makanan). ‘Illat hukum di sini adalah apel dan gandum sama-sama jenis makanan. Namun ada sisi lain dari ‘illat gandum ini yang tidak terdapat pada apel. Oleh karenanya ‘illat hukum yang ada pada apel lebih lemah dibandingkan ‘illat yang ada pada gandum.
Mengenai eksistensi kias sebagai salah satu metode dalam menetapkan hukum tidak ada kata sepakat di antara para ulama. Mayoritas ulama menyatakan bahwa kias dapat dijadikan sebagai salah satu metode dalam menggali dan menetapkan hukum Islam. Mereka menganjurkan argumentasi dari ayat Al-qur’an, hadis-hadis, ijma’ dan praktiknya yang ada pada zaman sahabat.
Akan tetapi, ulama lain misalnya dari kalangan Syiah, mazhab az-Zahiri serta beberapa tokoh Muktazilah menganggap kias tidak dapat dijadikan sebagai salah satu cara menetapkan hukum Islam.