Penulis: Ocviani Dwi Purnama*
Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan sosial di era milenial kita menyaksikan dengan keprihatinan fenomena yang semakin merajalela, ternormalisasinya zina (pacaran).
Normalisasi pacaran di kalangan generasi milenial ini disebabkan akibat pergeseran nilai dan standar moral agama pada masyarakat.
Pada era digital saat ini, mudahnya akses terhadap konten-konten di media sosial yang mempertontonkan hubungan haram, serta budaya yang mempromosikan kebebasan telah memberikan salah satu kontribusi besar dalam memperkuat normalisasi zina (pacaran).
Zina, sebagai perbuatan dosa yang ditegaskan dalam agama Islam merupakan salah satu dosa besar yang harus dihindari. Dalam QS. Al-Isra ayat 32 sendiri Allah SWT berfirman tentang larangan mendekati zina:
وَلَا تَقْرَبُوا۟ ٱلزِّنَىٰٓ ۖ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةً وَسَآءَ سَبِيلً
Artinya:
“Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.”
Sayangnya, saat ini banyak orang telah mengabaikan ayat tersebut. Berduaan, bercanda tawa, berjalan bahkan chattingan tanpa adanya kepentingan dengan lawan jenis seakan sudah menjadi hal yang biasa.
Tidak sedikit orang juga menganggap bahwasanya zina itu bersentuhannya antara laki-laki dan perempuan, padahal zina itu tidak harus selalu bersentuhan antara lawan jenis, sesuai yang disebutkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam hadis riwayat Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu.
Pada hadis ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Telah ditetapkan atas anak Adam bagiannya dari zina. Ia pasti mendapatkan hal itu, tak terhindarkan. Zina kedua mata adalah melihat, zina kedua telinga adalah mendengarkan, zina lisan adalah mengucapkan, zina tangan adalah menyentuh, zina kaki adalah melangkah, dan zina hati adalah nafsu dan berharap. Sedangkan kemaluan, itulah yang membenarkan atau mendustakannya.”
Dari hadis di atas, dapat disimpulkan bahwa pacaran termasuk gerbang zina karena memandang yang bukan mahram meskipun tidak dengan syahwat , mendengarkan dan menikmati suara dari yang bukan mahram, berkata-kata hal yang manis, menyentuh yang bukan mahram, melangkah ke tempat-tempat yang tidak Allah ridai, timbul perasaan dan memikirkan atau mengkhayalkan dengan perasaan senang/bahagia. Pernyataan ini menekankan bahwa zina melibatkan tidak hanya tindakan fisik, tetapi juga dari niat, pikiran, dan perilaku.
Banyak individu yang memilih menjalin hubungan pacaran dengan tujuan untuk menemukan kesesuaian dan keselarasan dengan calon pasangan sebelum memasuki kehidupan pernikahan.
Ada juga yang pacaran karena takut tidak mendapatkan jodoh, apakah mereka tidak tahu bahwa syarat kematian tidak harus sakit? Padahal dalam konteks agama Islam sendiri jodoh dapat dijemput tanpa harus melewati proses pacaran yakni ta’aruf.
Dalam QS. Az-Zuriyat ayat 49 Allah berfirman:
وَمِنْ كُلِّ شَيْءٍ خَلَقْنَا زَوْجَيْنِ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Artinya:
“Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan agar kamu mengingat (kebesaran Allah).”
Sebenarnya pacaran itu seakan tidak mempercayai takdir Allah, setidak yakin begitukah kita dengan apa yang sudah Allah tetapkan sehingga mengingkari larangan-Nya? Karena jodoh sudah ditakdirkan.
Tak sedikit pula yang berpacaran bertahun-tahun setelahnya kandas sedangkan yang tidak pernah berpacaran sekalinya bertemu langsung menikah.
Selain merusak iman dan menambah saldo dosa , herannya masih saja yang berkali-kali terjerumus terus-menerus ke hal yang sama dengan siklus yang berulang yaitu, pacaran-putus-sakit hati-galau-move on.
Sangat disayangkan Indonesia negara yang bermayoritaskan muslim, akan tetapi hal tersebut telah dianggap sebagai suatu hal yang lumrah, ditambah ada yang sudah tahu bahwa hal tersebut merupakan suatu larangan tetapi masih tetap dilakukan.
Dilatarbelakangi dengan berbagai alasan klasik duniawi “dipertahankan karena masih cinta”, “dia segalanya bagiku” lantas kalau begitu Allah kita anggap apa? Kita Anggap orang tua kita apa?
Sungguh kita sudah berada di penghujung akhir zaman dimana yang berusaha taat di cap kuno, tidak modern, tidak laku bahkan dianggap tidak normal. Sebaliknya yang mempertontonkan dan bangga akan maksiat dianggap keren.
Tidak jarang pula orang tua yang menyuruh anaknya berpacaran, mirisnya menyuplai finansial dalam aktivitas pacaran. Seasing inikah Islam saat ini?
Sebagaimana sesuai dengan sabda Rasuulullah Shallallahu Alaihi Wasalam dalam Hadis riwayat Muslim No. 145 :
“Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali pula dalam keadaan asing. Sungguh beruntunglah orang yang asing.”
Bahkan ada banyak yang membenarkan pacaran dengan sebutan ‘pacaran syar’i/Islami ’ ber-ideologikan saling mengingatkan kebaikan, ke majlis bersama, saling mengingatkan ibadah. Apapun itu bentuknya pacaran tetap tidak diperbolehkan.
Karena dalam Islam ‘pacaran syar’i/Islami’ itu tidak ada baik dalam Alqur’an, hadis, maupun perkataan ulama. Istilah pacaran syar’i hanyalah tipu daya setan memutarbalikkan yang batil menjadi sesuatu yang haq supaya mereka terjerumus ke dalam dunia yang dipenuhi dengan dosa & kemaksiatan.
Pacaran hanya membuat mental, iman, hati rusak secara bersamaan, untuk para generasi muda yang taat di era gempuran maksiat dengan tetap menjaga fitrah diri & keimanannya.
Sesuai yang pernah Ustaz Hanan Attaki katakan dalam salah satu kajian ceramahnya yaitu, “tidak perlu risau tentang urusan jodoh, jangan karena tidak pacaran/punya teman lawan jenis ga bakal menikah, karena rumus jodoh tidak pakai logika, rumus jodoh itu pakai ketaatan.”
Jadi kesimpulannya yang perlu kita harus lakukan saat ini adalah terus memperbaiki diri, tingkatkan diri dengan belajar hal-hal baru termasuk ilmu agama dan senantiasa berdoa memohon kepada Allah agar disandingkan dengan jodoh yang baik agama, serta akhlaknya yang dapat menuntun kita ke jannah-Nya.
Juga bagi orang-orang yang sudah terlanjur dengan kesalahan dan ke khilafan di masa lalu dengan pacaran, jangan berputus asa terhadap rahmat ampunan Allah.
Yakinlah akan Allah ampuni dengan kita bersungguh-sungguh bertaubat , memohon ampun kepada Allah Ta’ala. Ditegaskan dalam QS. Al-Baqarah ayat 222:
اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ التَّوَّابِيْنَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِيْنَ
Artinya:
“Sesungguhnya, Allah menyukai orang yang taubat dan menyukai orang yang menyucikan diri.”
*) Mahasiswi IPB Invada Cirebon Prodi Sastra Inggris.
Editor: Adis Setiawan