Merefleksikan semangat pemuda pada momen peringatan hari sumpah pemuda ke-93 oleh : Dodi Partawijaya, M.Pd, Ketua PDPM Sumedang, DEEP Indonesia.
KULIAHALISLAM.COM – Sumpah pemuda merupakan titik awal kesadaran kolektif untuk bersatu sebagai bangsa dan negara. Menjaga satu tanah air dengan bahasa tunggal yakni bahasa Indonesia yang menyatukan. Nalar sehat keinginan untuk hidup bersama dan saling berbagi dalam satu Indonesia.
Para pemuda pada 1928 sejatinya mewariskan semangat dialogis yang kuat. Dialog dalam keberagaman, nalar sehat adalah instrumen utama dalam tatap muka tersebut, sehingga keberagaman dipahami sebagai pemersatu dan kekuatan bukan kelemahan, ditambah para pemuda saat itu memiliki musuh bersama bernama kolonialisme.
Saat ini penting kembali merefleksikan nilai dasar sumpah pemuda 1928 itu sebagai upaya merawat nalar yang menyatukan, penting membangun kesadaran kolektif untuk terus membangun tradisi dialogis di atas keberagaman. Tantangan generasi milenial saat ini adalah media sosial yang justru penuh dengan destruksi yang bukan menghasilkan tradisi dialogis, namun tradisi monologis.
Ditambah lagi dengan absennya akhlak dengan destruksi produksi fitnah-fitnah melalui hoax yang dilakukan akun-akun anonim tidak bertanggung jawab.
Saat ini dibutuhkan semangat menggembirakan kembali dialog, untuk menjaga keberagaman dan memaknai Indonesia yang satu juga perlu dilakukan untuk mengingatkan bahwa pemuda memiliki musuh yang akan merusak hak masa depan pemuda, yakni kejahatan korupsi dan narkoba.
Bila dulu kolonialisme merampas masa depan pemuda atas negara yang merdeka, kini hak masa depan Indonesia yang bermartabat, cerdas dan sejahtera dirampas dan diancam oleh perilaku korup para politisi rakus yang tega merampas hak-hak masa depan pembangunan dan pelayanan publik untuk kepentingan pribadi dan golongannya, demikian dengan narkoba.
Maka, sikap terang perlawanan terhadap korupsi yang dimulai dari pilihan gaya hidup antikorupsi dan antinarkoba di kalangan pemuda bisa menjadi jalan membangun kesadaran kolektif menyatukan Indonesia melalui tradisi dialog.
Kala itu para pemuda tidak mengabaikan eksistensi identitas etnis dan agama yang berbeda-beda. Itu karena semangat etnis dan agama justru menjadi jiwa yang mendorong lahirnya kemerdekaan.
Secara filosofis yang dilakukan para pemuda saat itu bukan upaya membentuk keseragaman dalam satu bangsa dan negara, namun justru memperkuat identitas keberagaman dengan mengakui keberagaman itu akan mampu menyatukan.
Para pemuda berbondong-bondong mengikuti Kongres Pemuda Kedua yang berakhir pada 28 Oktober 1928 akhirnya mengikrarkan sumpah bahwa sebagai pemuda Indonesia mereka memiliki kesamaan pandang dan cita-cita bertumpah darah satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu yakni Indonesia.
Ikrar tersebut kemudian disebut sebagai Sumpah Pemuda. Perayaan sumpah pemuda ramai dibahas saat jelang, saat, atau setelah 28 Oktober di setiap tahunnya.
Spirit Ber-Bhineka Tunggal Ika
Saya mencoba menemukan kembali nilai, isi, dan makna Sumpah Pemuda bagi keberlangsungan para pemuda masa kini yang mana para pemida hari ini sangatlah berpacu dengan waktu dan perkembangan zaman.
Pemaknaan Sumpah Pemuda haruslah menjadi kekuatan moral yang dijadikan komitmen seluruh anak bangsa yang tersebar di berbagai pelosok negeri dengan latar belakang suku ras dan golongannya tanpa melihat perbedaan antar satu dengan yang lainnya.
Sejarah Sumpah Pemuda harus menjadi obor dan oase di padang gersang serta menghidupkan seluruh elemen bangsa meraih segala cita-cita negara yang telah dimandatkan oleh pejuang terdahulu.
Makna Sumpah Pemuda terkadang di salah tafsirkan tanpa implementasi yang nyata, momentum Sumpah Pemuda terkesan hanya menjadi seremonial semata.
Hari di mana lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan di hadapan perwakilan utusan pemuda itu hanya dirayakan dengan meme, video singkat atau bahkan ruang diskusi semata. Tanpa aksi kolektif nyata yang kemudian menggerakkan seluruh elemen bangsa mengisi kemerdekaan bangsa Indonesia.
Padahal jika kita maknai secara jujur para ratusan pemuda kala itu berkumpul dimotivasi oleh kesamaan nasib, kesatuan cita bangsa yang merdeka dari penjajahan selama ratusan tahun.
Bahkan tidak berlebihan jika disebutkan bahwa Sumpah pemuda 28 Oktober 1928 menjadi fondasi dasar kesadaran kebangsaan yang menjadi bahan bakar pergerakan nasional hingga 17 tahun kemudian Negara Kesatuan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945.
Sumpah Pemuda adalah Manifestasi Autentik dari Persenyawaan Bhinneka Tunggal Ika
Nilai positif tentang semangat patriotisme, gotong royong, musyawarah mufakat, kecintaan terhadap Tanah Air, kekeluargaan dan persatuan nasional sepertinya sudah banyak dipahami dan diperdebatkan oleh seluruh anak bangsa Indonesia.
Pertanyaanya kemudian apakah berbagai perangkat nilai itu dijadikan komitmen oleh seluruh elemen pemuda saat ini? Kalimat tanya inilah yang kemudian perlu kita renungkan bersama. Akhir-akhir ini justru saya melihat tak sedikit satu dua kelompok tertentu yang tanpa sadar menghilangkan nilai-nilai kenegarawanan yang diajarkan para tokoh sumpah pemuda.
Satu per satu digerogoti dengan berupaya menawarkan satu ideologi selain Pancasila bahkan kesan menghapus dan menghilangkan sejarah pergerakan nasional secara nyata. Satu catatan penting lainnya yang juga perlu dicermati, organ kepemudaan yang memiliki basis ideologi dan sejarah kuat justru kurang gigih dalam mengamalkan ajaran para negarawan terdahulu.
Tentu hal ini menjadi otokritik bagi gerakan organ kepemudaan dari berbagai latar belakang. Tantangan Bangsa Indonesia sudah menjadi pemahaman seluruh anak bangsa saat ini, bahwa Indonesia saat ini menghadapi problematika kebangsaan yang belum terselesaikan.
Masalah kemiskinan, penyebaran narkoba, perilaku koruptif elite pemimpin di berbagai level, memudarnya nasionalisme masih menjadi pemandangan kita sehari-hari. Masifnya disinformasi dan hoaks di tengah perkembangan cepat teknologi juga menjadi momok yang semakin menjadi benang kusut persoalan bangsa yang perlu segera dicarikan jalan keluar dengan cara bersama.
Tantangan bonus demografi, kerusakan lingkungan, menguatnya politik identitas, revolusi industri 5.0, masalah ketahanan pangan dan tak kalah penting adalah pergeseran paradigma pembangunan ekonomi juga menjadi pekerjaan rumah berat bagi seluruh rakyat Indonesia. Terkhusus para pemuda yang menjadi penentu masa depan kemajuan bangsa. Rumitnya masalah itu semakin berat saat Indonesia dihadapkan dengan pandemi coronavirus disease (covid-19).
Bencana non-alam yang datang ke Indonesia telah memporak-porandakan segala tatanan pembangunan dan struktur sosial. Wabah Covid-19 telah mengakibatkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang berdampak pada pertambahan jutaan pengangguran baru.
Kelompok usaha kecil yang mengelola usahanya dari pendapat harian langsung gulung tikar. Kondisi diperparah dengan kabar ada kelompok kecil yang menjadi penumpang gelap bansos, dan pengadaan alat kesehatan. Bahkan para pembantu Presiden Jokowi yang justru fokus bekerja untuk menyiapkan diri berkontestasi pada pemilihan presiden 2024 mendatang seperti menjadi fakta yang benar.
Ibarat jatuh tertimpa tangga, problematika kebangsaan yang rumit yang bersamaan dengan pandemi Covid-19 tak segera menyadarkan seluruh elemen bangsa ini segera bangkit bersama dari penjajahan baru ini.
Nilai-nilai, ajaran dan warisan perjuangan para pejuang terdahulu sepertinya menjadi bahan informasi tanpa diimani secara total sebagai paradigma menjalankan perannya sebagai manusia Indonesia.
Dalam situasi pandemi yang telah memakan ribuan nyawa rakyat. Cukuplah jadi perenungan kita semua bahwa menjadi bangsa bersatu, memiliki kecintaan pada Tanah Air dan kesadaran persatuan nasional adalah anugerah tuhan yang harus disyukuri dengan penuh hikmah bahwa Indonesia adalah negara yang akan menjadi teladan bagi negara-negara lainnya di dunia.
Wallahu’alam bisshowab.