(Sumber Gambar: Fitrah) |
KULIAHALISLAM.COM – Munculnya sejumlah peristiwa kekerasan dan teror atas nama agama Islam di sejumlah negara, terutama peristiwa pengeboman World Trade Center (WTC) New York pada n September 2001 yang dituduhkan kepada kelompok Islam Al-Qaedah, telah menimbulkan persepsi di kalangan sebagian orang non-Muslim bahwa Islam adalah agama kekerasan dan antikedamaian. Hal ini diperkuat dengan kenyataan bahwa pemerintahan di banyak negara mayoritas Muslim mempraktikkan otoritarianisme dan pengekangan kebebasan bagi warga negara. Anggapan ini bahkan dijadikan sebagai alat provokasi munculnya Islamofobia, terutama di kalangan kelompok-kelompok sayap kanan, dan sebagai komoditas politik yang terutama dilakukan oleh partai-partai kanan di sejumlah negara di negara-negara Barat.
Di sisi lain, masih adanya otoritarianisme dan kurangnya perlindungan hak asasi manusia (HAM) di sejumlah negara Muslim serta adanya standar ganda (double standard) negara-negara Barat dalam pelaksanaan HAM, mengundang munculnya gerakan “fundamentalisme Islam” di beberapa negara Muslim Gerakan ini bahkan sering bersifat eksklusif dan menolak semua peradaban Barat, termasuk sistem demokrasi dan HAM, sehingga hal ini mengesankan adanya konflik antara Islam dan Barat. Kondisi ini masih diperburuk dengan klaim sebagian besar masyarakat Barat bahwa peradaban merekalah yang paling unggul dan, oleh karena itu, hal ini harus disebarluaskan ke seluruh dunia, tanpa menyadari bahwa masyarakat lainnya sebenarnya juga memiliki nilai-nilai sosial dan peradabannya sendiri yang tak kalah unggulnya.
Persepsi negatif tersebut tidak sesuai dengan substansi agama Islam, yang sebenarnya membawa misi kedamaian, baik secara personal maupun dalam konteks hubungan antarmanusia, antarkelompok, dan antarbangsa. Dalam sejarah umat manusia pun negara-negara Muslim tidak pernah melakukan aksi-aksi yang berakibat pada terbunuhnya jutaan korban manusia yang pernah terjadi di planet ini. Aksi-aksi ini berbentuk penjajahan di sejumlah negara dan genosida terhadap penduduk asli (sekitar 56 juta orang), Perang Dunia I dan II (sekitar 62 juta orang), dan serangan terhadap negara-negara lain yang dianggap melawan. Kolonialisme dan perang dunia sebagian besar dilakukan oleh negara-negara yang kebetulan mayoritas penduduknya beragama Kristen.
Namun, kini, sejumlah pihak menganggap bahwa Islam adalah “agama kekerasan”, “agama perang”, atau “agama teror”, hanya karena adanya aksi-aksi terorisme yang dilakukan oleh segelintir orang Islam yang berpaham ekstrem dan adanya konflik di sejumlah negara Muslim yang dipengaruhi oleh faktor politik dan ekonomi. Oleh karena itu, diperlukan pembahasan yang komprehensif tentang perang dan damai dalam perspektif Islam, baik secara normatif maupun historis.
Prinsip Kedamaian
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, damai berarti tidak ada perang: tidak ada kerusuhan (aman), tenteram (tenang), dan keadaan tidak bermusuhan (rukun), sementara perdamaian berarti penghentian permusuhan (perselisihan dan sebagainya), dan perihal damai (berdamai).
Menurut Oxford English Dictionary, kata peace (damai) mengandung arti, antara lain, (1) bebas dari kerusuhan atau kekacauan sipil (ketertiban umum dan keamanan), (2) bebas dari pertengkaran atau pertikaian antarindividu, suatu kondisi keramahan, persahabatan, dan kerukunan, (3) bebas dari kecemasan dan gangguan emosional, mental, atau spiritual, (4) bebas dari gangguan eksternal, (5) perjanjian, ratifikasi, atau perjanjian perdamaian antara dua negara, komunitas, dan lain-lain, yang sebelumnya berperang.
Adapun menurut Mu’jam al-Lughah al-‘Arabiyyah al-Mu’âshirah, kata salám (damai) berarti antara lain: (1) salah satu nama dari nama-nama Allah karena keselamatan-Nya dari ketidaksempurnaan, kecacatan, dan kekuasaan-Nya yang luas, (2) ketika damai terjadi di antara orang-orang, hal itu berarti ketenangan, kedamaian, jaminan, dan tidak ada pengungsian karena perang, juga kondisi damai setelah perang yang mengerikan.
Islam merupakan mashdar (kata benda asal) yang melahirkan kata kerja aslama, yang berarti ‘tunduk atau berserah diri, karena orang yang masuk Islam berarti telah berserah diri kepada Allah sehingga ia pun mendapatkan kedamaian lahir dan batin. Dari akar kata yang sama pula terdapat kata kerja salima, yang berarti ‘selamat, aman, dan damai, karena agama ini membawa konsep keselamatan di dunia dan akhirat serta kedamaian dalam konteks hubungan sosial dan antarkelompok. Kedamaian (al-silm, al-salam) ini menjadi salah satu prinsip dalam kehidupan masyarakat dan bernegara.
Karena Islam dan al-salâm (kedamaian) berasal dari kata dasar yang sama, Sa’id Isma’il Shini dalam bukunya, Al-‘Alaqah bain al Muslimin wa Ghair al-Muslimin (Hubungan antara Muslim dan Non Muslim), membuat suatu ungkapan: al-Islâm din yad’û ilá al-salâm (Islam adalah agama yang menyeru kepada perdamaian). Begitu besarnya perhatian Islam terhadap kedamaian ini sehingga ucapan penghormatan (tahiyyah, greeting) Islam pun berbunyi Al-Salâm ‘alaikum, yang berarti ‘Kedamaian untuk Anda semua.
Prinsip kedamaian ini tecermin dalam misi Islam sebagai rahmah li al alamin (kasih sayang bagi semesta alam) dan dalam bentuk hubungan saling mengakui dan saling mengenal antarsesama manusia. Misi Islam ini disebutkan dalam QS. Al-Anbiya’ ayat 107 “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”.
Ayat ini sejalan juga dengan QS. Al-Hujurat ayat 13: “Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Dalam ayat di atas. Allah menggunakan kata ta’arafů (saling mengenal) dalam hubungan antarmanusia. Allah tidak menggunakan kata, misalnya, tuqâtilu atau tuhâribû, yang berarti ‘saling memerangi atau ‘saling memusuhi. Ta’aruf dalam ayat di atas berarti ‘saling mengenal’, dan hal ini akan terwujud jika disertai dengan itiraf (pengakuan) dan penghormatan terhadap keberadaan orang dan kelompok lain yang berbeda, baik dari segi kebangsaan, ras, suku, agama, politik, maupun lainnya. Hal ini berarti bahwa Islam mengakui kemajemukan (pluralitas), dan kemajemukan ini bahkan merupakan sunnatullah (ketentuan Allah) yang tidak akan berubah. Dengan pengakuan ini, Islam mendorong manusia untuk berlaku toleran terhadap perbedaan-perbedaan ini..
Di samping ayat tersebut, terdapat sejumlah Hadits yang menunjukkan ajaran tentang hakikat seorang mukmin dan seorang Muslim yang harus selalu mewujudkan keamanan dan kedamaian dalam hubungan kemanusiaan, antara lain Hadits yang disampaikan Nabi Muhammad di tengah-tengah pelaksanaan haji wada’, yakni: “Maukah aku beri tahukan kepada kamu sekalian bahwa mukmin yang sebenarnya adalah orang yang manusia merasa aman dengannya, baik harta maupun jiwa mereka. Muslim yang sebenarnya adalah orang yang manusia merasa aman dengan lisan dan tangannya. Mujahid yang sebenarnya adalah orang yang bersungguh-sungguh menyerahkan dirinya untuk ketaatan kepada Allah. Adapun muhajir (orang yang berhijrah) adalah orang yang meninggalkan kesalahan-kesalahan dan dosa-dosa”. (H.R. Ahmad).
Dalam konteks kehidupan masyarakat dan negara, misi dan ajaran tersebut diwujudkan dalam bentuk panduan akhlak (etika moral) dan norma-norma hukum (syariah). Di dalam Al-Quran terdapat prinsip-prinsip akhlak yang harus dipraktikkan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, yakni kejujuran tanggung jawab (al-amanah), keadilan (al-‘adálah), persaudaraan (al ukhuwwah), permusyawaratan (al-syûrâ), persamaan (al-musawah), menghargai kemajemukan (al-ta’adduddiyyah), kedamaian (al-silm), dan kontrol (amr bi al-ma’rûf wa nahy ‘an al-munkar). Di samping prinsip-prinsip ini, Islam juga memberikan petunjuk dalam bentuk norma-norma hukum syariah, yang meliputi hukum-hukum tentang ibadah dan muamalah (hukum-hukum tentang hubungan antarindividu dan antara individu dan negara).
Prinsip kedamaian tersebut dalam implementasinya diwujudkan dalam bentuk penghormatan terhadap HAM, yang sudah diperkenalkan oleh Islam jauh sebelum lahirnya Universal Declaration of Human Rights pada 1948. Dalam perumusan ulama klasik substansi HAM ini dirumuskan dengan mengungkapkan tujuan umum dari legislasi hukum Islam (maqashid al-syari’ah), yakni untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia dengan cara melindungi dan mewujudkan hal-hal yang menjadi keniscayaan (dharuriyyât) mereka, serta memenuhi hal-hal yang bersifat kebutuhan (hājiyyät) dan hiasan (tahsîniyyât) mereka.
Dharûriyyât ini meliputi perlindungan agama (hifzh al-din). perlindungan jiwa (hifzh al-nafs), perlindungan akal (hifzh al-‘aql), perlindungan harta (hafizh al-mål), perlindungan nasab (hifzh al nasab), dan perlindungan kehormatan (hifzh al-‘irdh). Menurut Islam, perlindungan ini tidak hanya sebagai hak, tetapi justru sebagai keniscayaan atau kewajiban asasi yang harus diwujudkan oleh setiap individu. Sebaliknya, setiap tindakan yang merusak atau membahayakan terhadap enam hal (al-dharuriyyat al-sitt) ini dianggap sebagai tindak pidana (jarimah).
Meski mengajarkan hak-hak asasi manusia, Islam tetap menjadikan kewajiban sebagai unsur aktif, sedangkan hak sebagai unsur pasif bagi suatu tindakan. Kewajiban memang menjadi perhatian utama suatu agama, karena jika kewajiban ini dilakukan oleh seseorang dengan baik, hal itu akan berakibat pada munculnya hak bagi orang lain. Bahkan dalam tiga dekade terakhir ini pembahasan tentang kewajiban atau tanggung jawab manusia (human responsibilities) ini sangat intensif dilakukan oleh badan badan dunia untuk mengimbangi tuntutan perlindungan terhadap HAM. Hal ini diperkuat dengan adanya Universal Declaration of Human Responsibilities pada 1 September 1997 yang didukung oleh sejumlah tokoh penting di dunia, seperti Helmut Schmidt, Malcom Fraser, Jimmy Carter, Lee Kuan Yew, Kiichi Miyazawa, Kenneth Kaunda, dan Hassan Hanafi.
Perlindungan terhadap jiwa merupakan aspek utama bagi terwujudnya kedamaian dan, oleh karena itu, Islam mengajarkan pentingnya perlindungan ini, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Maidah ayat 32: “Oleh karena itu, kami tetapkan bagi Bani Israil bahwa barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena ia membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”.
Menurut fikih, seseorang yang membunuh dengan sengaja orang lain dianggap sebagai tindak pidana (jarimah), yang ancaman hukumannya adalah hukuman mati atau qishash, di samping hukuman di akhirat kelak, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al Baqarah ayat 178: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan] mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”.
Memang dalam beberapa hal terdapat perbedaan antara “HAM universal” dan “HAM Islam”, terutama tentang batas-batas kebebasan dan tentang kedudukan wanita dalam Islam yang dalam hal-hal tertentu tidak sepenuhnya sama dengan pria. Letak perbedaan yang mendasar adalah filosofi antara negara-negara Barat yang notabene sekuler sebagai acuan utama dalam pelaksanaan HAM dengan negara-negara Muslim yang tidak bisa melepaskan aspek syariah. Untuk menunjukkan bahwa Islam sangat menghargai HAM yang sekaligus sejalan dengan syariah, pada 1990 negara-negara Muslim yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam mengeluarkan Cairo Declaration of Human Rights in Islam. Deklarasi ini baru dapat disetujui oleh semua anggotanya setelah 13 tahun terjadi perdebatan di antara mereka.
Penghormatan dan perlindungan HAM menuntut seseorang untuk mengakui keberagaman dan perbedaan-perbedaan dalam masyarakat, baik karena latar belakang agama, suku, ras, politik, dan sebagainya. Islam mengajarkan toleransi terhadap perbedaan perbedaan ini sebagaimana disebut dalam Q.S. Al-Hujurat: 13 di atas. Hal ini berarti bahwa Islam mengakui pluralisme sebagai sunnah Allah (hukum alam). Pluralisme yang dimaksud adalah paham yang mengakui dan menerima keberagaman dan perbedaan kelompok sosial dalam sebuah masyarakat, seperti perbedaan ras, suku, agama, budaya, dan politik.
Hanya saja, perbedaan-perbedaan ini menjadi faktor potensial yang dapat menyebabkan konflik di antara mereka, seperti yang ditunjukkan dalam sejarah manusia sejak awal hingga sekarang. Oleh karena itu, meski Islam pada prinsipnya mendukung kedamaian, Islam juga membenarkan perang sebagai langkah defensif untuk mempertahankan diri demi terwujudnya kedamaian.