Pendahuluan
QS. At-Takwir ayat 29 berbunyi:
وَمَا تَشَاۤءُوْنَ اِلَّآ اَنْ يَّشَاۤءَ اللّٰهُ رَبُّ الْعٰلَمِيْنَ ࣖ ٢٩
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan seluruh alam.”
Ayat ini merupakan salah satu ayat al-Qur’an yang kerap menjadi bahan kajian mendalam di berbagai aliran pemikiran Islam, termasuk Syiah dan Mu’tazilah. Persoalan utama yang diangkat dari ayat ini adalah hubungan antara kehendak Allah dan kehendak manusia. Apakah manusia memiliki kebebasan penuh untuk menentukan jalannya, ataukah seluruh kehendak manusia berada di bawah kendali mutlak Allah?
Pembahasan
Dalam perspektif Syiah, ayat ini sering dihubungkan dengan konsep Imamah, yang menegaskan bahwa Allah telah menetapkan para Imam dari Ahlul Bayt sebagai pemimpin umat. Dalam tafsir Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an yang ditulis oleh Allamah Muhammad Husain al-Thabathaba’i menafsirkan ayat ini sebagai berikut:
قوله تعالى : وما تشاؤن إلا أن يشاء الله رب العالمين تقدم الكلام في معناه في نظائر الآية والآية بحسب ما يفيده السياق في معنى دفع الدخل فإن من الممكن أن يتوهموا من قوله : لمن شاء منكم أن يستقيم أن لهم الاستقلال في مشيئة الاستقامة ان شاؤوا واستقاموا وإن لم يشاؤوا لم يستقيموا ، فلله إليهم حاجة في الاستقامة التي يريدها منهم .
“Kemudian, firman-Nya “Dan kalian tidak akan menghendaki kecuali jika Allah menghendaki Tuhan seluruh alam” menjelaskan bahwa kehendak manusia untuk tetap berada di jalan yang lurus itu sepenuhnya bergantung pada kehendak Allah. Dengan kata lain, meskipun seseorang mungkin menginginkan untuk tetap istiqamah, ia tidak akan dapat melakukannya tanpa izin dan kehendak Allah.”
Ayat ini bertujuan untuk menanggulangi kesalahpahaman yang mungkin timbul dari kalimat sebelumnya, di mana seseorang mungkin berpikir bahwa mereka memiliki kekuasaan penuh atas kehendaknya untuk tetap lurus. Padahal, kehendak mereka hanya terjadi jika Allah menghendakinya, dan segala tindakan yang dilakukan oleh manusia, meskipun sesuai dengan kehendak mereka, tetap merupakan bagian dari kehendak Allah. Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu menyadari bahwa segala sesuatu yang kita lakukan, termasuk menjaga istiqamah atau tetap di jalan yang benar, hanya bisa terjadi dengan kehendak dan bantuan Allah. Kita perlu selalu bergantung pada-Nya dan bersyukur atas izin-Nya dalam setiap langkah hidup kita.
Bisa disimpulkan dari penjelasan tersebut bahwa kehendak manusia bergantung pada kehendak Allah, tetapi kehendak tersebut tidak membatalkan kebebasan manusia. Ia menjelaskan bahwa Allah, melalui kebijaksanaan-Nya, telah menetapkan jalan kebenaran, termasuk menunjuk para Imam sebagai para pemimpin umat.
Di sisi lain, Mu’tazilah, yang dikenal dengan doktrin rasionalitas dan kebebasan manusia, menafsirkan ayat ini dalam kerangka konsep qadar (takdir) dan ikhtiyar (kehendak bebas). Dalam tafsir Tanzih al-Qur’an ‘an al-Matha’in yang ditulis oleh Al-Qadhi Abdul Jabbar menekankan bahwa Allah tidak memaksakan kehendak-Nya kepada manusia. Seperti halnya yang ia tulis di kitab tafsirnya,
وقوله تعالى ( لمن شاء منكم أن يستقيم وما تشاؤون إلا أن يشاء الله( المراد به الاستقامة فأما غير ذلك فموقوف على الدليل
“Adapun firman-Nya: “Bagi siapa di antara kalian yang menghendaki untuk tetap lurus, dan kalian tidak akan menghendaki kecuali jika Allah menghendaki…” (QS. At-Takwir: 29), yang dimaksud di sini adalah tetap lurus (beristiqamah). Sedangkan selain itu, hal tersebut tergantung pada bukti yang ada.”
Dalam ayat ini adalah bahwa manusia hanya bisa memilih untuk tetap di jalan yang lurus (istiqamah) jika Allah menghendakinya. Artinya, meskipun kita memiliki kehendak dan niat untuk melakukan sesuatu yang baik, seperti berpegang teguh pada kebenaran, kita tetap membutuhkan izin dan bantuan dari Allah agar niat tersebut bisa terwujud. Ia juga menegaskan bahwa ayat ini menunjukkan bahwa manusia memiliki kebebasan untuk memilih jalannya, namun kebebasan tersebut berada dalam kerangka kehendak Allah yang mengatur alam semesta. Dengan kata lain, Allah memberikan manusia pilihan dan kemampuan untuk bertindak, tetapi tidak membiarkan mereka keluar dari rencana ilahi yang lebih besar.
• Istiqamah berarti tetap teguh di jalan yang benar, tidak menyimpang dari ajaran Islam. Dalam ayat ini, Allah mengatakan bahwa hanya orang yang Allah kehendaki yang bisa tetap istiqamah.
• Kehendak manusia untuk tetap lurus di jalan yang benar sangat tergantung pada kehendak Allah. Artinya, meskipun kita berusaha keras untuk berbuat baik dan mengikuti jalan yang benar, kita tetap membutuhkan pertolongan dan izin dari Allah agar bisa tetap istiqamah.
Jadi, ayat ini mengingatkan kita bahwa segala hal baik yang kita lakukan, termasuk beristiqamah, itu adalah dengan izin dan pertolongan Allah. Kita tidak bisa melakukan itu semua hanya dengan usaha kita sendiri. Ini mengajarkan kita untuk selalu bergantung pada Allah dalam setiap langkah hidup kita.
Kedua pendekatan ini mencerminkan upaya untuk menyeimbangkan antara kekuasaan Allah yang mutlak dan kebebasan manusia. Syiah menekankan peran Allah dalam menetapkan jalan kebenaran melalui kepemimpinan Imam, sementara Mu’tazilah lebih mengutamakan aspek tanggung jawab individu terlebih dahulu kemudian diserahkan ke keadilan Allah.
Dengan demikian, kedua pandangan ini memiliki logika yang kuat, tetapi perbedaannya terletak pada fokus mereka. Syiah lebih menekankan keterlibatan Allah dalam memberikan panduan langsung melalui Imamah, sehingga manusia tidak kehilangan arah dalam memahami kehendak Allah. Mu’tazilah, di sisi lain, memberikan prioritas pada kebebasan manusia untuk bertindak tanpa kendali langsung, karena hal itu dianggap lebih adil dalam konteks tanggung jawab moral.
Pada akhirnya, perbedaan ini menunjukkan cara berpikir yang khas dari masing-masing aliran, di mana Syiah lebih condong kepada pendekatan spiritual dan hierarkis, sementara Mu’tazilah lebih rasional dan egaliter. Dua perspektif ini tidak hanya melengkapi, tetapi juga memperkaya pemahaman kita terhadap ayat yang menggambarkan hubungan kompleks antara kehendak ilahi dan kebebasan manusia.
Daftar Pustaka
Allamah Muhammad Husain al-Thaba>thaba>’i. Al-Miza>n Fi> TafsiIr al-Qur’a>n. Juz 20. Beirut-Lebanon: Muassasah al-A’lami li al-Mathbu’at, 1997.
Al-Qadhi Abdul Jabbar. Tanzi>r Al-Qur’a>n ’an al-Matha>’in. Mesir: Al-Maṭba‘ah al-Jamāliyah, 1911.