(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
KULIAHALISLAM.COM – Debat calon presiden dan calon wakil presiden di Indonesia sudah diadakan oleh Komisi Pemilihan Umum sejak pemilu secara langsung pertama kali dilangsungkan pada 2004. Pada acara debat 2004, 2009, 2014, dan 2019 lebih banyak hal umum yang menjadi topik pembahasan. Peserta memberikan penjelasan secara normatif. Moderator tidak diperbolehkan mengelaborasi/mengomentari pernyataan calon. Maka, ada kalanya, topik dan penjelasan tak searah. Menurut sejumlah studi, debat capres-cawapres umumnya tak banyak berpengaruh pada keputusan para pemilih, terutama pemilih yang sudah mempunyai patron.
Debat memang tidak sama dengan bermusuhan atau saling mencela (walaupun saat ini, dengan dominasi media sosial, debat kusir penuh penghinaan dan makian makin mudah dijumpai dan berujung permusuhan). Pada dasarnya, di dalam debat justru terbuka ruang untuk saling melengkapi wawasan dalam menyikapi hal yang diperdebatkan.
Budaya debat sesungguhnya sudah selalu hidup dalam tradisi kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Memori kolektif bangsa Indonesia mencatat perdebatan antara dua pendiri bangsa Indonesia, yakni Mohammad Hatta dan Soepomo, tentang landasan ideologis bangsa Indonesia.
Hatta mengusulkan liberalisme sebagai fundamen ideologis bangsa Indonesia dan berhasil memasukkan ide kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat ke dalam konstitusi NKRI. Hatta sadar, tanpa kebebasan berpendapat, sebuah pemerintahan akan menjadi tiran dan otoritarian. Sebaliknya, Soepomo mengusulkan konsep negara integralistik. Alasannya, konsep ini sesuai dengan nilai-nilai budaya bangsa Indonesia, seperti gotong royong dan kekeluargaan. Konsep kekeluargaan tradisional merupakan cikal bakal lahirnya paham keadilan sosial dan solidaritas dalam masyarakat modern kontemporer.
Dengan segala kekurangannya, debat antar kandidat presiden atau wakil presiden adalah penanda penting dari fase penting dalam sejarah politik kita setelah reformasi. Debat capres-cawapres adalah pembeda penting antara pemilu di era demokrasi dan era otoriter di zaman Orba. Sebagian kalangan mungkin menganggap tradisi debat dalam pemilu sebagai sesuatu yang sudah biasa; sesuatu yang taken for granted.
Debat ini memang tidak memiliki pengaruh yang signifikan bagi pemilih tertentu, terutama pemilih yang sudah menjatuhkan pilihan karena satu dan lain alasan. Namun, jelas debat ini memiliki dua fungsi penting. Pertama, ia merupakan sarana penting untuk edukasi publik. Melalui debat terbuka, kita bisa sedikit lebih tahu profil seorang kandidat. Jelas bahwa kemampuan berdebat memang tidak bisa mewakili seluruh profil seorang kandidat.
Kedua, debat memiliki manfaat penting bagi pemilih yang belum menentukan pilihan yang jelas (undecided voters); pemilih yang masih ragu-ragu. Meski jumlahnya tidak besar, mereka jelas merupakan segmen pemilih yang penting. Mereka ini mungkin bisa disebut sebagai, meminjam istilah Prof Mayling Oey-Gardiner di harian ini (Kompas, 6/1/2024), ”generasi matang”; pemilih yang hanya menjatuhkan pilihan manakala telah memiliki informasi yang cukup.