(Sumber Gambar: Fitrah) |
KULIAHALISLAM.COM – Manusia memiliki keterbatasan dan kelemahan tersebut, Allah menunjukkan kasih sayangnya kepada manusia dengan memberikan petunjuk dalam bentuk agama yang diturunkan kepada para nabi dan rasul-Nya. Sebagai nabi terakhir, Nabi Muhammad membawa risalah Islam dengan kitab suci Al-Quran sebagai pedoman bagi umat manusia (hudâ li al-nas) dan bisa membedakan antara yang benar (haq) dan yang salah (bathil), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 185: “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil)”.
Sejalan dengan ayat tersebut, Al-Quran juga diturunkan untuk memberikan pencerahan bagi manusia dari kegelapan menuju jalan yang terang, sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Ibrahim ayat 1: “Alif laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”.
Agama Kasih Sayang (Rahmah li al ‘Alamîn)
Oleh karena itu, misi agama Islam adalah sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmah li al-‘alamin), sebagaimana disebutkan dalam Q.S. Al-Anbiya’ ayat 107: “Dan tidaklah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Islam diturunkan sebagai rahmat tidak hanya untuk umat Islam, tetapi juga untuk umat manusia semesta alam dan bahkan semua makhluk di alam ini. Kasih sayang di sini mengandung dua pengertian, yakni kasih sayang Allah kepada umat manusia dan kasih sayang manusia terhadap sesamanya. Kasih sayang Allah itu terdapat dalam bacaan basmalah, yang mengandung dua bentuk kasih sayang.
Pertama adalah sifat rahmân, yang berarti kasih sayang Allah secara luas untuk semua makhluk Allah di dunia, baik yang beriman maupun yang ingkar kepada Allah. Karena sifat rahmán Allah inilah, manusia yang berusaha sungguh-sungguh bisa sukses tanpa perbedaan antara orang mukmin dan orang kafir, misalnya usaha usaha untuk mencapai keberhasilan di bidang ilmu pengetahuan, kekayaan, kekuasaan, dan lainnya. Hanya saja, bagi orang mukmin. usaha-usaha ini tetap disertai doa kepada Allah agar ia tetap mendapat petunjuk atau bimbingan dari Allah.
Kedua adalah sifat rahim, yang berarti kasih sayang Allah secara terbatas di akhirat kelak yang hanya diberikan kepada orang-orang mukmin di dalam surga. Adapun kasih sayang terhadap sesama manusia ini dinyatakan dalam sejumlah ayat Al-Quran, antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 177 “Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan), dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan, dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa”.
Ajaran tentang kasih sayang itu juga disebutkan dalam Hadits: “Seseorang belum disebut beriman sampai dia menyayangi sesamanya seperti menyayangi dirinya sendiri”. (H.R. Bukhari dan Muslim) Kasih sayang tersebut diwujudkan dalam bentuk menghormati dan membantu serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Menghormati orang lain diekspresikan dalam bentuk penghormatan dan toleran terhadap perbedaan-perbedaan di antara sesama manusia, seperti perbedaan ras, suku, agama, aliran, partai, dan kewarganegaraan, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat: 13: “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
Perbuatan membantu orang lain diekspresikan dalam bentuk pemberian bantuan, baik bersifat materiil (fisik) maupun nonmateriil (nonfisik), sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Maidah ayat 2: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (melakukan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”.
Bantuan nonmateriil itu misalnya pemberian ilmu, pengetahuan, atau informasi kepada orang lain, ajakan kepada orang lain untuk berbuat kebaikan serta menghindari perbuatan yang tercela, dan sebagainya. Adapun bantuan secara materiil yang disebutkan sebagai filantropi (kedermawanan) Islam, yang diwujudkan dalam bentuk zakat yang hukumnya wajib, serta sedekah, wakaf, dan kurban hukumnya sunah.
Ada dua hikmah yang terkandung dalam kedermawanan tersebut, yakni secara internal, kedermawanan ini dimaksudkan untuk membersihkan harta dan diri orang yang berzakat atau berderma. Sementara secara eksternal, hal ini menunjukkan adanya solidaritas sosial, yang bisa meringankan beban orang yang membutuhkan serta sangat bermanfaat bagi pembentukan perekatan (kohesi), integrasi, dan harmoni sosial, serta bisa menghindari kecemburuan dan konflik sosial, sebagaimana disebutkan dalam Hadits: “Barang siapa yang membebaskan kesusahan (kesulitan) di dunia dari seorang mukmin (dengan memberikan pertolongan), maka Allah akan membebaskan kesusahannya di akhirat. Barang siapa yang memberikan kemudahan kepada seseorang yang berada dalam kesulitan, maka Allah akan memberikan kemudahan kepadanya di dunia dan hari kiamat. Dan barang siapa menutupi cela seorang Muslim di dunia ini, maka Allah akan menutupi celanya di akhirat nanti. Allah akan selalu membantu hambanya selama ia membantu saudaranya”. (H.R. Muslim).
Sisi lain dalam kemanusiaan Islam adalah pengakuan dan penghormatan terhadap keberadaan kelompok lain, termasuk kelompok yang berbeda agama dan kelompok minoritas, sebagaimana disebutkan dalam QS. Al-Hujurat: 13 di atas. Pengakuan dan penghormatan ini merupakan bagian dari penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia, yang notabene harus dilaksanakan oleh setiap orang.
Para ulama, seperti K.H.Ahmad Siddiq, kemudiann mengembangkan pengakuan dan penghormatan ini menjadi persaudaraan, yang meliputi persaudaraan umat Islam (ukhuwwah islamiyah), persaudaraan antarwarga negara (ukhuwwah wathaniyyah), dan persaudaraan kemanusiaan (ukhuwwah insaniyah).
Pada 2019 persaudaraan kemanusiaan ini mendapatkan penguatan dari tokoh-tokoh agama di dunia, terutama Syekh Al-Azhar, Syekh Ahmad al-Tayyeb dan Paus Fransiskus, melalui The Document on Human Fraternity for World Peace and Living Together, yang dideklarasikan di Abu Dhabi.
Uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah kemanusiaan (al-Islâm din al-insâniyyah atau Islam is a religion of humanity). Meski agama ini berasal dari Allah, Islam merupakan agama yang sesuai dengan sifat dasar manusia (fitrah) sehingga ajaran-ajaran Islam itu berdimensi teosentris (rabbâniyyah) dan sekaligus antroposentris (insâniyyah). Dimensi kemanusiaan ini juga tecermin dari misi agama ini sebagai rahmah li al’alamin (kasih sayang bagi semesta alam), baik kasih sayang Allah umat manusia maupun kasih sayang antarsesama manusia. Kasih sayang Allah diberikan kepada seluruh umat manusia, baik mukmin maupun kafir, dan kasih sayang Allah secara terbatas di akhirat kelak yang hanya diberikan untuk orang-orang mukmin.
Kasih sayang sesama manusia diwujudkan dalam bentuk menghormati dan membantu serta tidak menyakiti dan merugikan orang lain. Menghormati orang lain diekspresikan dalam bentuk penghormatan dan toleransi terhadap perbedaan-perbedaan di antara sesama manusia, seperti perbedaan ras, suku, agama, aliran, partai, dan kewarganegaraan.
Agar manusia bisa selalu menghormati nilai-nilai kemanusiaan tersebut, Islam mengajarkan kepada umatnya untuk memiliki akhlak (etika-moral) yang baik atau terpuji (akhlág mahmudah) serta menjauhkan akhlak yang buruk atau tercela (akhlâq madzmumah) Penguatan akhlak mulia ini bahkan merupakan tujuan risalah Islam sejalan dengan misinya sebagai rahmat bagi seluruh alam, sebagaimana Hadits: “Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia”. (H.R. Al-Baihaqi).