Nama lengkap beliau adalah Fakhitah binti Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hasyim, biasa dikenal dengan Ummu Hani. Beliau merupakan sepupu Rasulullah dan saudari perempuan dari Ali bin Abi Thalib dan Ja’far bin Abi Thalib.
Wanita yang Dihormati Rasul
Suatu ketika, pada peristiwa penaklukan Makkah (fathu Mekkah), Ummu Hani didatangi dua orang yang meminta perlindungannya. Namun adiknya, Ali bin Abi Thalib, melihat dua orang itu dan bersumpah akan membunuhnya. Ummu Hani pun mengunci rumahnya dan beranjak menemui Rasulullah SAW.
Saat itu, Rasulullah sedang mandi dan putri Beliau SAW, Fatimah, menutupinya dengan kain. Ummu Hani menunggu Rasulullah hingga selesai. Kemudian Ummu Hani berkata, “Wahai Rasulullah, Ali memusuhi seseorang yang telah kujamin keamanannya.” Maka Rasulullah bersabda, “Kami juga turut menjamin orang yang kau jamin, wahai Ummu Hani.” (HR. al-Bukhari, 5/2280).
Di Rumahnya, Peristiwa Isra Mi’raj Terjadi
Peristiwa isra mi’raj nabi bermula di rumah Ummu Hani. Kediamannya yang penuh berkah menjadi saksi peristiwa Isra Mi’raj. Nabi Muhammad ﷺ datang ke rumah Umm Hani’, melakukan shalat malam lalu tidur di sana. Malam itu, rumah Ummu Hani’ dikunjungi malaikat paling mulia, Jibril ‘alaihissalam untuk menjemput Nabi Muhammad ﷺ.
Dari sanalah peristiwa Isra Mi’raj bermula. Perjalanan satu malam menuju Jerusalem dan Sidratul Muntaha dimulai. Saat fajar tiba, Nabi pun kembali ke tempat yang sama. Kemudian Nabi ﷺ mengabarkan Ummu Hani’ tentang perjalanannya. Ia pun mengimani sabdanya.
Menolak Pinangan Rasul
Sebanyak dua kali, Ummu Hani menolak pinangannya. Pinangan pertama ditolak Abu Thalib.
Diriwayatkan, sebelum masa kerasulan, Rasulullah ﷺ pernah melamar Fakhitah. Namun Abu Thalib menolak tawaran itu. Dan menerima pinangan Hubayra bin Abi Wahb. Karena bani Makhzum, klan Hubayra, pernah menikahkan putri mereka dengan salah seorang dari kabilah Abu Thalib. Sehingga untuk menjaga hubungan baik, kabilah Abu Thalib membalas perlakuan itu. Nilai inilah yang berlaku dalam tradisi Arab kala itu.
Pinangan kedua terjadi ketika peristiwa fathu Mekkah dan suami Ummu Hani meninggalkannya beserta keempat anaknya karena enggan memeluk Islam. Merekapun berpisah dan Ummu Hani menjadi janda.
Untuk yang kedua kalinya, Rasulullah saw melamarnya kembali untuk menghibur hatinya dan Ummu Hani menjawab sambil berlinang air mata,
“Wahai Rasul, engkau lebih kucintai dari pandangan dan pendengaranku. Demi Allah aku mencintaimu di masa jahiliyah terlebih lagi pada saat ini. Tapi kini aku telah renta sedang hak seorang suami sangatlah besar. Aku tak ingin merepotkanmu wahai Rasul. Aku khawatir jika aku membaktikan diri pada suami, aku akan lalai terhadap kewajibanku pada anak. Dan jika ku baktikan hidupku pada anak-anakku, aku akan lalai terhadap kewajibanku pada suami.”
Mendengar komentar tersebut, nabi memaklumi dalam sabdanya:
ان خير ركبن الأبل نساء قريش: أحناه على ولد في صغره وأرعاه على بعل في ذات يده
“Sesungguhnya sebaik-sebaik perempuan penunggang unta adalah perempuan suku Quraish. Mereka memiliki sifat lemah lembut pada anaknya dan mereka pandai menjaga harta suaminya.” (HR. Bukhari Muslim)
Demikian mengenai Ummu Hani, wanita yang pernah menolak pinangan Rasul hingga Rasul memujinya sebagai wanita yang amat penyayang pada anak-anaknya, meski demikian hubungan baik keduanya tetap terjalin.
Rasul sering mengunjungi Ummu Hani di rumahnya dan beristirahat di sana. Rasulullah juga sering menerima pendapat dan pertimbangan dari Ummu Hani. Tak heran bila beliau diantara wanita yang dihormati Rasul.
Tak hanya itu, Ummu Hani pun turut andil meriwayatkan hadits. Salah satu riwayat dari beliau yang paling masyhur ialah mengenai shalat dhuha.
Dari Abdurrahmaan bin Abi Laila. Ia berkata, “Tidak ada seorang pun yang menceritakan kepadaku bahwa ia melihat Nabi ﷺ melakukan shalat Dhuha kecuali Ummu Hani’. Sungguh ia pernah mengatakan, “Sesungguhnya Nabi ﷺ pernah masuk ke rumahnya pada hari Fathu Mekah, lalu beliau mandi dan melakukan shalat delapan rakaat. Aku tidak pernah melihat shalat yang lebih ringan dari pada itu, namun beliau tetap menyempurnakan ruku’ dan sujudnya.” (HR. al-Bukhari no. 1176).
Wallahu a’lam.