Latar Belakang Historis Qira’at
Secara historis Qira’at sebenarnya sudah muncul sejak zaman Rasulullah SAW, tetapi belum menjadi sebuah disiplin ilmu yang sistematis dan juga tidak ada yang mengarang tentang Qira’at. Sejarah awal berdasarkan peristiwa ‘Umar bin Khattab dengan Hisyam bin Hakim dan hadits yang diriwayatkan oleh Ubai[1].Yaitu:
- Suatu ketika ‘Umar bin Khattab berbeda pendapat dengan Hisyam bin Hakim ketika membaca ayat Alqur’an. ‘Umar tidak puas terhadap bacaan Hisyam sewaktu membaca surat Al-Furqon. Menurut ‘Umar, bacaan yang dibaca Hisyam tidak benar dan bertentangan dengan apa yang diajarkan oleh Rasulullah kepadanya. Namun, Hisyam menegaskan bahwa bacaanya pun berasal dari Nabi. Setelah itu, Hisyam diajak ke Nabi serta melaporkan peristiwa yang terjadi antara keduanya. Nabi menyuruh Hisyam untuk mengulangi bacaannya sewaktu ia shalat tadi. Setelah Hisyam selesai melakukannya, Nabi bersabda:
هَكَذَا أُنْزِلَتْ إِنَّ هَذَا اْلقُرْءَانَ أُنْزِلَ عَلَى سَبَعْةِ أَحْرُفٍ فَاقْرَءُوْا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ.
Artinya:
“Memang begitulah Alqur’an diturunkan. Sesungguhnya Alqur’an ini diturunkan dalam tujuh huruf, maka bacalah oleh kalian apa yang kalian anggap mudah dari tujuh huruf itu.”[2]
- Di dalam riwayatnya, Ubai pernah bercerita:
“Saya masuk ke masjid untuk mengerjakan shalat, kemudian datanglah seseorang dan membaca surat An-Nahl, tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya. Setelah selesai, saya bertanya” Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?”, ia menjawab,” Rasulullah SAW”. kemudian, datanglah seseorang mengerjakan shalat dengan membaca permulaan surat An-Nahl[16], tetapi bacaannya berbeda dengan bacaan saya dan teman tadi. Setelah shalat, saya bertanya, “Siapakah yang membacakan ayat itu kepadamu?”.
Ia menjawab,”Rasulullah SAW”. kedua orang itu saya ajak menghadap Nabi. Setelah saya sampaikan masalah ini kepada Nabi, beliau meminta salah satu dari kedua orang itu membacakannya lagi surat tersebut. Setelah bacaannya selesai, Nabi bersabda, “Baik, kemudian Nabi meminta kepada yang lain agar melakukan hal yang sama. Dan Nabi pun menjawabnya baik”.[3]
- Sebagian sahabat menjadi guru bagi sebagian lainnya dalam hal qira’at Alqur’an. Orang-orang belajar kepada para sahabat. Mereka menghafalkan qira’at yang telah diriwayatkan kepada mereka. Tetapi di sisi lai, kebanyakan kaum muslimin itu masih buta huruf(al-Ummy), tidak bisa baca tulis, dan belum mengenal cara menjaga pelajaran.[4]
Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal abad II H. Ketika para qari’ sudah tersebar luas di berbagai daerah[5]. Seperti di Basrah ada qira’at Ibn ‘Amr dan Ya’qub; di Kufah ada Hamzah dan ‘Asim; di Syam ada Ibn Amir; di Mekah ada Ibn Katsir; dan di Madinah ada Nafi’. Mereka itulah disebut dengan Qira’at sab’ah. Tetapi pada permulaan abad ketiga Abu Bakar bin Mujahid (guru qira’at Irak, wafat 334 H) menetapkan nama al-Kisa’i dan membuang nama Ya’qub dari kelompok tujuh qari’ tersebut.[6]
As-Suyuti mengatakan bahwa orang pertama yang menyusun kitab tentang qira’at adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim bin Salam, kemudian Ahmad bin Jubair al-Kufi, Isma’il bin Ishaq al-Maliki murid Qalun, Abu JA’far bin Jarir at-Tabari, Abu Bakar Muhammad bin Ahmad bin Umar ad-Dajuni, Abu Bakar bin Mujahid, Ibn Mujahid, dan seterusnya. Imam-imam qira’at itu tidak terhitung jumlahnya, Hafizhul Islam Abu Abdullah az-Zahabi telah menyusun tabaqat (sejarah hidup) mereka, kemudian diikuti oleh Hafizhul Qurra’ Abul Khair bin Jaziri.[7]
Imam Ibn Jaziri(w 224 H) di dalam an-Nasyr mengemukakan bahwa Imam pertama yang dipandang telah menghimpun bermacam-macam qira’at dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaid al-Qasim ibn Salim yang mengumpulkan sebanyak 25 orang ulama ahli qira’at selain dari imam yang tujuh. Beliau pun berkata Abu Bakar Ahmad bin Musa bin ‘Abbas bin Mujahid(w 324 H) merupakan orang pertama yang membatasi hanya pada qira’at tujuh imam saja.[8]
Kebijakan Abu Bakar Shidiq yang tidak ingin memusnahkan mushaf-mushaf lain selain yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit, seperti mushaf yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa al-Asy’ari, Miqdad bin Amar, Ubay bin Ka’ab, dan Ali bin Abi Thalib, memiliki pengaruh besar terhadap kemunculan qira’at yang kian beragam. Mushaf yang ditulis oleh Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya, tidak ada perbedaan penulisan kecuali dalam dua hal, yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan tersendiri dari masing-masing mereka.
Namun walaupun mushaf-mushaf tersebut sangat memiliki andil yang besar terhadap perkembangan qira’at, banyak mekahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni qira’at yang beragam. Dengan keberagaman inilah menyebabkan terjadi kesalahan dikarenakan setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bahasa selain Arab sehingga menimbulkan perbedaan qira’at yang syaz, kondisi ini yang telah dialami oleh Hudzaifah al-Yamamah yang melaporkannya kepada ‘Utsman.[9]
Abu Syamah dipandang sebagai orang yang pertama kali berpendapat bahwa bacaan yang sesuai dengan bahasa Arab walaupun hanya satu segi dan sesuai dengan mushaf ‘Ustmani, serta shahih sanadnya adalah bacaan yang benar, tidak boleh ditolak. Jika kurang dari salah satu syarat tidak terpenuhi maka qira’at itu dikatakan dengan qira’at syaz.[10]
Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid, yang terkenal dengan Ibn Mujahid melakukan inisiatif peringkasan dari 25 qira’at yang telah dikemukakan oleh al-Qasim menjadi tujuh qira’at sab’ah yang mengacu kepada tujuh imam berdasarkan hadits Nabi (Inna hadza Al-Qur’an unzila ‘ala sab’at ahruf). Namun beliau berjasa untuk memperkenalkan mana qira’at yang diterima dan yang ditolak. Banyak para ulama yang mengecam Ibn Mujahid ini, yaitu dengan beberapa alasan berikut:
- Inisiatif yang dilakukan oleh Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at tujuh memancing kekacauan dengan timbulnya tendensi(kecenderungan) umat untuk memahami kata”sab’ah ahruf” dalam hadits Nabi sebagai qira’at sab’ah. Dari sekian pendapat mengenai kata “ahrufin” tidak ditemukan bahwa yang dimaksud kata itu ialah qira’at sab’ah. Bila kemudian ada pendapat bahwa yang dimaksud adalah qira’at sab’ah, hal itu muncul setelah dilakukan inventarisasi qira’at oleh Ibn Mujahid.
- Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at sab’ah tak pelak membuat sebagian ulama meras keberatan. Mengapa hanya tujuh? Padahal, kajian tentang pertumbuhan qira’at sudah muncul sejak masa Nabi yang melalui jalur periwayatan yang tersebar ke berbagai daerah, akan membawa kesimpulan begitu banyak qira’at yang lahir.
- Istilah qira’at sab’ah belum masyhur sampai pada masa Ibn Mujahid. Padahal, qira’at sendiri sebenarnya sudah akrab sejak abad ke II H. Ada kecenderungan dari ulama pada saat itu untuk hanya mengambil satu jenis qira’at Sementara qira’at-qira’at lainnya kalau tidak dianggap salah atau ditinggalkan.[11]
Latar belakang cara penyampaian (kaifiyat al-Ada’)
Menurut analisis dari Sayyid Ahmad Khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari cara seorang guru membacakan qira’at itu kepada para muridnya. Kemudian ulama mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-Qur’an itu sebagai berikut:
- Nabi Muhammad Saw melantunkan berbagai versi qira’at di depan sahabat-sahabatnya. Misalnya, Nabi pernah membaca surat ar-Rahman(55) ayat 76:
مُتَّكِئِيْنَ عَلَى رَفْرَفٍ خُضْرٍ وَعَبْقَرِىٍّ حِسَانٍ
Lafal رفرف dan عبقريّ juga pernah dibaca رَفَارِفٍ dan عَبَاقِرِي [12]
- Perbedaan dalam i’rab atau harakat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimatnya. Misalnya pada firman Allah:
…اَلَّذِيْنَ يَبْخَلُوْنَ وَيَأْمُرُوْنَ النَّاسَ بِالْبُخْلِ…
Artunya: “…Yaitu orang-orang yang kikir dan menyuruh orang lain berbuat kikir…(Q.S An-Nisa [4]:37)
Kata al-bakhil yang berarti kikir di sini dapat dibaca fathah pada huruf ba’nya menjadi al-bakhil, dapat pula dibaca dhammah pada huruf ba’nya menjadi al-bukhli.
- Perbedaan pada pada perubahan huruf antara perubahan i’rab dan bentuk tulisannya, sementara maknanya berubah. Misalnya firman Allah:
وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ تُنْشِزُهَا
Artinya “Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali.” (Q.S Al-Baqarah[2]: 259)
Kata nunsyizuha (kami menyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf ز diganti dengan huruf ر sehingga menjadi berbunyi nunsyiruha yang berarti “Kami menghidupkan kembali”.
- Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tulisannya, tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya :
وَتَكُوْنُ الْجِبَالُ كَالْعِهْنِ الْمَنْفُوْشِ
Artinya “Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan.” (Q.S Al-Qari’ah [101] :5)
Beberapa qira’at mengganti kata “al-‘ihn” dengan kata “ash-shufi” sehingga yang mulanya bermakna “bulu” menjadi “bulu domba”. Perubahan seperti ini, berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf ‘Utsmani.
- Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah:
وَجَآءَتْ سَكْرَةُ الْمَوْتِ بِالْحَقِّ
Artinya “Dan datanglah maut dengan sebenar-benarnya”. (Q.S Qaf [50]:19)
Menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi Wa ja’at al-haqq bi al-maut (dan datanglah maut dengan sebenar-benarnya). Abu Bakar mendahulukan kata al-maut bermakna “dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”. Qira’at semacam ini tidak diperbolehkan karena menyalahi ketentuan yang berlaku.[13]
- Sebab-sebab Perbedaan Qira’at
- Perbedaan qira’at Nabi dalam mengajarkan al-Qur’an kepada para sahabatnya, Nabi memakai beberapa versi qira’at . misalnya, Nabi pernah membaca surat as-Sajdah (32) ayat 17 sebagai berikut:
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا اُخْفِيْ لَهُمْ مِنْ قُرَّاتِ اَعْيُنٍ (السَّجدة:١٧)
Qira’at versi mushaf ‘Utsmani adalah :
فَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَّا اُخْفِيَ لَهُمْ مِنْ قُرَّةِ اَعْيُنٍ.
- Pengakuan dari Nabi terhadap berbagai qira’at yang berlaku di kalangan kaum muslimin waktu itu. Hal ini menyangkut dialek di antara mereka dalam mengucapkan kata-kata dalam Al-Qur’an. Contohnya:
- Ketika seorang Hudzail membaca di hadapan Rasul عَتَّى حِينٍ , padahal ia menghendaki حَتَّى حِيْنٍ , tetapi Rasul membolehkannya sebab memang begitulah orang Hudzail mengucapkannya dan menggunakannya.
- Ketika orang Asadi membaca dihadapan Rasul تِسْوَدُّ وُجُوْهٌ [14]huruf “ta” pada kata “tiswaddu” dikasrohkan dan اَلَمْ اِعْهَدْ اِلَيْكُمْ [15] huruf “hamzah” pada kata “i’had” dikasrohkan, Rasul pun mmembolehkannya, sebab memang seperti itulah orang Asadi menggunakannya dan mengucapkannya.
- Ketika seroang Tamim mengucapkan hamzah pada suatu kata yang tidak diucapkan orang Quraisy, Rasul pun membolehkannya sebab seperti itu orang Tamim mengucapkannya.
- Ketika seorang qari’ membaca وَاِذَا قِيْلَ لَهُم [16] dan غِيْضَ الْمَاءُ [17] dengan menggabungkan dhammah kepada kasroh, Rasul pun membolehkannya sebab seperti itu ia mengucapkannya.
- Adanya riwayat dari para sahabat Nabi menyangkut berbagai versi qira’at yang ada.
- Adanya lahjah atau dialek kebahasaan di kalangan bangsa Arab pada masa turunnya Al-Qur’an.[18]
[1] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 142.
[2] Hadis shahih yang dirwayatkan oleh Bukhari dan Muslim.
[3] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 143.
[4] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an (Bandung: Tafakur, cetakan ke IV 2011) hlm, 205.
[5] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 143.
[6] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Litera Antar Nusa, cetakan ke 12 2009) hlm, 250.
[7] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Litera Antar Nusa, cetakan ke 12 2009) hlm, 250.
[8] Manna Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an (Bogor: Litera Antar Nusa, cetakan ke 12 2009) hlm, 250.
[9] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 143.
[10] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 144.
[11] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 144-145.
[12] Ahmad Izzan, Ulumul Qur’an (Bandung: Tafakur, cetakan ke IV 2011) hlm, 117.
[13] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 14-147.
[14] Q.S Ali ‘Imran [3] :106.
[15] Q.S Yasin [36] : 60.
[16] Q.S Al-Baqarah [2] :11.
[17] Q.S Hud [11] :44.
[18] Rosihon Anwar, Ulum Al-Qur’an ( Bandung : CV Pustaka Setia, cetakan ke V 2013 ) hlm, 148-149.