KULIAHALISLAM.COM – Wacana tentang posisi perempuan Jawa acapkali diwarnai dengan ungkapan dan tradisi yang memunculkan persepsi inferioritas. Hal ini memicu perdebatan dan pergeseran paradigma tentang bagaimana seharusnya perempuan Jawa ditempatkan dan diberdayakan. Ungkapan keseharian seperti “wani ditata” dan “kanca wingking” merepresentasikan posisi perempuan sebagai objek yang diatur dan dibatasi pada ranah domestik.
Peran perempuan Jawa dikonstruksikan dalam tiga ruang utama: dapur, kasur, dan sumur. Tugas pokoknya pun terkonsentrasi pada memasak, berhias diri, dan melahirkan anak. Pandangan ini diperkuat dengan ungkapan “suwarga nunut, neraka katut” yang menggambarkan ketergantungan perempuan pada suami dalam mencapai kebahagiaan di akhirat.
Di tengah konstruksi tradisional tersebut, tuntutan emansipasi perempuan semakin menggema. Emansipasi diidealkan sebagai upaya membebaskan perempuan dari belenggu patriarki dan menempatkannya di posisi terhormat.
Namun, implementasi emansipasi di era modern acapkali terjebak dalam paradoks. Niat mulia untuk memberdayakan perempuan justru berujung pada degradasi dan eksploitasi dalam bentuk baru. Perempuan Jawa juga dihadapkan pada tuntutan untuk menjunjung tinggi falsafah hidup Jawa, yang tak jarang berbenturan dengan nilai-nilai emansipasi modern.
Kedatangan Islam di Jawa membawa pengaruh signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam memandang peran perempuan. Dalam kacamata islam antara laki-laki dan perempuan memiliki kedudukan yang setara. Hal ini tecantum dalam surat Al-Hujarat ayat 13 :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اِنَّا خَلَقْنٰكُمْ مِّنْ ذَكَرٍ وَّاُنْثٰى وَجَعَلْنٰكُمْ شُعُوْبًا وَّقَبَاۤىِٕلَ لِتَعَارَفُوْاۚ اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْۗ اِنَّ اللّٰهَ عَلِيْمٌ خَبِيْرٌ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Ayat ini menegaskan bahwa kemuliaan seseorang tidak ditentukan oleh gender, suku, maupun keturunan, melainkan oleh ketakwaannya kepada Allah SWT. Hal ini sejalan dengan peran para istri Nabi Muhammad SAW (Ummahat al-Mukminun) yang turut berjuang menegakkan panji Islam, menunjukkan bahwa perempuan memiliki peran yang setara dengan laki-laki dalam kehidupan.
Kesetaraan gender dalam Islam semakin diperkuat melalui khutbah haji Wada’ Nabi Muhammad SAW (632 M) yang menyebut perempuan sebagai “imad al-bilad (tiang negara)”. Kaum perempuan adalah penolong dari laki-laki…. Sesuai yang digariskan Allah…. Dan orang mukmin, laki-laki maupun perempuan, satu dengan lainnya saling menjadi penolong “(QS al-Taubah:71).
Islam bukan sekadar memberikan hak bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan, bekerja, dan berkontribusi pada masyarakat. Islam melangkah lebih jauh dengan mendorong mereka menjadi individu mandiri yang senantiasa mengasah potensinya. Hal ini selaras dengan nilai-nilai luhur yang dipegang teguh oleh perempuan Jawa.
Pada dasarnya perempuan Jawa menyimpan potensi luar biasa untuk digali dan dioptimalkan dalam bingkai syariat Islam. Di tangan mereka, terukir peran mulia sebagai ibu shalihah dan pendidik handal bagi generasi penerus, sebagaimana digambarkan dalam Serat Candrarini karya R Ng. Ranggawarsita. Perempuan berbudi luhur sejati, menurut Serat Candrarini, adalah mereka yang beriman teguh dan tak henti memanjatkan doa memohon petunjuk dan rahmat dari Allah SWT.
Selain itu juga dalam pupuh kinanthi bait ke-7 dan ke-8 Serat Wulang Reh Putri (SWRP) karya Paku Buwana IX. Menitikberatkan peran perempuan jawa sebagai istri yaitu pentingnya menghormati suami dan menjaga kehormatan orang tua. Menurut SWRP, seorang istri yang tidak menghormati suaminya akan membawa aib bagi orang tuanya. Hal ini dikarenakan orang tua dianggap bertanggung jawab atas pendidikan dan moralitas anak perempuannya.
Maka dari itu, perempuan Jawa didorong untuk menjadi istri yang patuh dan hormat sebagai bentuk penghormatan kepada orang tua. Namun, penting untuk dicatat bahwa kepatuhan ini bukan berarti perempuan Jawa diperbudak oleh kaum laki-laki. Perempuan Jawa memiliki potensi besar untuk berkontribusi dalam masyarakat melalui berbagai profesi dan keahliannya. Banyak contoh perempuan Jawa yang telah berhasil mengoptimalkan potensinya dalam bingkai syariat Islam.
Contohnya adalah sosok R.A. Kartini, Tidak perlu diragukan lagi, beliau adalah bintang yang bersinar terang dalam sejarah perjuangan emansipasi perempuan Indonesia. Di era yang serba terbatas, Kartini berani mendobrak tradisi dan memperjuangkan hak pendidikan serta kesetaraan bagi kaumnya.
Ide-idenya yang terilhami oleh Feminisme Liberal bagaikan percikan api yang menyulut semangat para perempuan Jawa untuk meraih mimpi dan berprestasi. Kini, berkat warisan Kartini, perempuan Jawa tidak lagi terkungkung oleh keterbatasan. Mereka tampil sebagai pemimpin, pengusaha, ilmuwan, dan seniman, membuktikan bahwa potensi mereka layak untuk diperhitungkan.
Meskipun Islam memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan, masih banyak perempuan Jawa yang menghadapi berbagai tantangan dalam mencapai kesetaraan dan keadilan gender. Tantangan tersebut antara lain:
Diskriminasi dan stereotip gender. Perempuan Jawa masih sering dihadapkan pada diskriminasi dan stereotip gender yang melabelkan mereka sebagai kaum yang lemah. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), sekitar 30% perempuan Jawa mengalami diskriminasi di tempat kerja. Nilai-nilai patriarki yang mengakar kuat dalam masyarakat mencengkeram erat, menempatkan perempuan di posisi kedua setelah laki-laki.
Beban pekerjaan rumah tangga yang tidak seimbang. Beberapa nasehat Jawa kuno bagaikan belenggu, meyakinkan perempuan bahwa mereka tak setara dengan laki-laki. Gerakan mereka dibatasi, dibelenggu tradisi yang melarang kebebasan dan memaksa mereka menerima takdirnya. Banyak perempuan Jawa menghabiskan lebih dari 20 jam per minggu untuk pekerjaan rumah tangga, sementara laki-laki hanya sekitar 7 jam. Ini menghambat pengembangan diri dan potensi mereka.
Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih membayangi kehidupan perempuan Jawa, bagaikan mimpi buruk yang tak kunjung usai. Berdasarkan laporan dari Komnas Perempuan, satu dari tiga perempuan Jawa mengalami KDRT dalam hidupnya. Jeritan mereka terbungkam, terkubur di balik tembok rumah menjadi korban kekejaman suami atau anggota keluarga lainnya.
Islam dan budaya Jawa memiliki banyak nilai-nilai luhur yang dapat menunjang emansipasi perempuan. Perempuan Jawa memiliki banyak potensi yang dapat dioptimalkan dalam bingkai syariat Islam. Perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya kesetaraan dan keadilan gender. Dengan edukasi tentang hak-hak perempuan Jawa dan cara memaksimalkan potensi mereka menjadi kunci penting.
Pemberdayaan perempuan Jawa perlu digalakkan agar mereka mampu menjadi agen perubahan yang positif dalam masyarakat dan dapat meningkatkan akses perempuan Jawa terhadap pendidikan dan pelatihan keterampilan yang relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Ini akan membantu mereka menjadi lebih mandiri dan berdaya saing. Kerja sama dari berbagai pihak juga sangat berpengaruh, diharapkan perempuan Jawa dapat mencapai emansipasi dan keadilan gender tanpa harus kehilangan identitas budayanya.