Membedah tolak ukur adab dan feodalisme: di mana letak hormat kepada Kiai? Perdebatan tentang adab kembali meledak di ruang publik. Berawal dari potongan video santri yang membungkuk dan mencium tangan kiai, muncul suara-suara yang menudingnya sebagai praktik feodalisme. Di sisi lain, banyak pula yang membela bahwa itu adalah ekspresi ta’dzim – bagian dari spiritualitas keilmuan Islam.
Namun yang luput dibahas bukanlah perilakunya, melainkan tolak ukurnya: kapan sebuah tindakan disebut adab, dan kapan ia berubah menjadi feodalisme? Pertanyaan ini sederhana tapi fundamental, sebab di situlah letak keseimbangan antara penghormatan dan kemerdekaan manusia.
Dalam tradisi Islam klasik, adab bukan sekadar etika sosial. Ia adalah kerangka moral dan epistemologis – cara manusia menempatkan sesuatu pada tempatnya. Syed Muhammad Naquib al-Attas dalam Islam and Secularism menyebut adab sebagai “pengakuan dan pengenalan yang benar terhadap tatanan wujud.” Artinya, adab tidak berhenti pada kesopanan, tetapi merupakan kesadaran tentang posisi manusia di hadapan Tuhan, ilmu, dan sesama.
Di sinilah letak keindahannya: adab melahirkan tatanan batin yang menolak kesombongan. Ia bukan soal siapa lebih tinggi, tapi soal siapa lebih sadar akan keterbatasannya. Maka, adab sejati selalu lahir dari kerendahan hati – bukan dari struktur sosial, melainkan dari struktur batin.
Namun, ketika kesadaran itu memudar dan digantikan oleh pola hubungan kuasa, adab mudah menjelma menjadi feodalisme.
Feodalisme pada dasarnya adalah sistem sosial yang menempatkan sebagian manusia di atas yang lain secara permanen, bukan karena ilmu atau kebajikan, tetapi karena status. Dalam sejarah Nusantara, feodalisme mengakar lewat relasi antara bangsawan dan rakyat, yang kemudian diwarisi dalam bentuk kultural: sikap tunduk buta pada figur, jabatan, atau gelar.
Ketika penghormatan berubah menjadi ketakutan, dan keilmuan digantikan oleh kharisma semu, maka adab kehilangan ruhnya. Di titik inilah ta’dzim bisa terjerumus jadi ta’assub -pengagungan berlebihan yang menutup pintu nalar.
Feodalisme hidup dari ketimpangan simbolik. Ia bertahan bukan karena keikhlasan murid menghormati, tapi karena murid merasa wajib menunduk agar diakui. Di sinilah beda paling tajam antara adab dan feodalisme: yang satu tumbuh dari cinta, yang lain dari rasa takut.
Tolak Ukur Adab
Secara normatif, tolak ukur adab dalam Islam bukan pada bentuk lahiriah, tapi pada niat dan keseimbangan antara haqq (kebenaran) dan ihsan (keindahan moral).
Ulama seperti Ibn Qayyim al-Jauziyyah menjelaskan bahwa adab adalah “timbangan batin antara hak dan kasih.” Seseorang disebut beradab bukan karena ia membungkuk, melainkan karena ia menimbang setiap tindakan dengan keadilan dan kasih.
Maka, tolak ukur adab dapat dilihat dari tiga dimensi: Dimensi niat (niyyah): Apakah penghormatan itu lahir dari keikhlasan atau keterpaksaan?
Dimensi keseimbangan (mizan): Apakah tindakan itu meneguhkan nilai kemanusiaan atau justru meniadakannya?
Dimensi tujuan (ghayah): Apakah penghormatan itu mengantarkan pada kebenaran, atau malah melanggengkan kekuasaan pribadi?
Jika tiga unsur ini seimbang, maka lahirlah adab sejati. Tapi jika salah satunya timpang -terutama ketika niat diganti dengan pamrih sosial – maka ia berubah menjadi feodalisme yang berselimut spiritualitas.
Dalam konteks pesantren, adab terhadap kiai bukanlah bentuk perbudakan. Ia lahir dari epistemologi Islam yang memandang guru sebagai wasilah (perantara) ilmu. Karena itu, kiai dihormati bukan karena darah biru atau jabatan sosial, melainkan karena perannya sebagai penjaga pengetahuan.
Namun, modernisasi mengubah relasi ini. Kiai kini bukan hanya figur spiritual, tapi juga simbol sosial, politik, bahkan ekonomi. Di sinilah terjadi ambiguitas: sebagian kiai masih menjaga ruh keilmuan, tapi sebagian lain terjebak dalam struktur kekuasaan. Akibatnya, ketika santri menunduk, publik bertanya: “apakah itu adab atau kultus?”
Pertanyaan ini sah. Karena adab, jika tidak dikawal dengan kesadaran kritis, bisa dimanfaatkan sebagai tameng kekuasaan simbolik. Inilah yang disebut Pierre Bourdieu sebagai capital culturel – kekuasaan yang bersumber dari simbol dan pengakuan sosial.
Di sini, adab yang sejatinya spiritual berubah jadi ritual sosial. Bentuknya sama, tapi rohnya hilang.
Dari Istana ke Media Sosial
Ironisnya, mereka yang menuduh pesantren feodal sering tak sadar bahwa dunia modern pun melahirkan feodalisme baru. Di media sosial, kita menyembah popularitas, menunduk pada algoritma, dan mengukur nilai diri dari verifikasi digital.
Feodalisme hari ini tak lagi berbentuk istana, tapi sistem pengakuan yang menindas dengan cara halus. Orang menunduk bukan pada kiai, tapi pada trending topic. Mereka mencari validasi, bukan keberkahan.
Maka, perdebatan soal adab kepada kiai seharusnya tidak dilihat sebagai konflik antara masa lalu dan masa depan, tapi sebagai cermin untuk melihat bagaimana peradaban kita memperlakukan otoritas dan penghormatan di era pasca-kebenaran.
Bagaimana mengukur adab tanpa jatuh pada simbolisme kosong?
Ukurannya bukan pada gaya tubuh, tapi pada roh hubungan. Adab sejati membuat seseorang tetap merdeka secara batin, bahkan dalam penghormatan. Ia bukan meniadakan kritik, tapi menuntun kritik agar tidak kehilangan kasih.
Seseorang bisa tidak mencium tangan kiai, tapi tetap beradab karena menjaga lisannya, menimbang ucapannya, dan tidak merendahkan guru di ruang publik. Sebaliknya, seseorang bisa tampak sopan di hadapan kiai, tapi menjelekkan di belakang – itu bukan adab, melainkan topeng sosial.
Feodalisme diukur dari relasi kuasa, sementara adab diukur dari ketulusan. Feodalisme mengikat, adab membebaskan. Feodalisme mengatur dari luar, adab menata dari dalam.
Jalan Tengah
Kita butuh reformasi konsep adab: bukan meniadakan penghormatan, tetapi mengembalikan maknanya ke pusat spiritual. Santri tetap boleh menghormati kiainya dengan penuh cinta, tapi juga harus dididik untuk berpikir kritis dan otonom. Sebaliknya, kiai harus rendah hati dan siap dikoreksi tanpa merasa wibawanya runtuh.
Imam Syafi’i pernah berkata, “Aku tidak pernah berdebat dengan seseorang kecuali aku berharap kebenaran keluar dari lisannya.” Itulah adab intelektual sejati – yang menempatkan kebenaran di atas ego.
Dengan semangat itu, adab dan kebebasan tidak saling meniadakan. Keduanya bisa berdampingan dalam keseimbangan antara cinta dan akal. Di titik itu, adab bukanlah feodalisme, tapi puncak kemerdekaan spiritual.
Perdebatan soal “adab kepada kiai” hanya permukaan dari krisis yang lebih dalam: kehilangan ruh adab dalam arti sejati. Kita sibuk memperdebatkan bentuk, tapi lupa pada isi. Sibuk membahas siapa yang harus dihormati, tapi abai bagaimana menghormati dengan benar.
Tolak ukur adab sejati bukan pada siapa yang kita tunduki, tetapi pada seberapa jujur hati kita dalam menempatkan kebenaran di atas segala ego. Feodalisme tumbuh ketika penghormatan kehilangan arah, dan adab menjadi komoditas sosial.
Adab yang benar justru membuat manusia setara di hadapan Tuhan, karena ia lahir dari kesadaran bahwa setiap ilmu berasal dari-Nya.
Maka, mari bedakan dengan jernih: Adab mengangkat manusia dari keangkuhan, sementara feodalisme menjatuhkan manusia ke dalam ketakutan.

