KULIAHALISLAM.COM – Diantara argumentasi yang sering disampaikan dalam menghukumi bid’ah sesuatu—termasuk peringatan maulid Nabi SAW—adalah hal itu tidak pernah dilakukan oleh Nabi SAW.
Misalnya, agama ini telah sempurna sebelum Nabi wafat, maka melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi sama saja dengan menganggap agama ini belum sempurna.
Kalau perbuatan itu baik tentu sudah dilakukan oleh generasi salaf (لو كان خيرا ما سبقونا إليه) ; dan argumentasi senada lainnya yang sebenarnya belum layak dikatakan sebagai sebuah argumentasi (hujjah).
Kenapa demikian?
Pertama, tidak adanya Nabi melakukan sesuatu tidak berarti karena sesuatu itu haram atau batil. Banyak faktor yang melatarbelakangi kenapa Nabi tidak melakukan suatu perbuatan.
Bisa jadi karena memang tidak ada motifnya (ما يقتضيه). Bisa jadi karena memang hal itu tidak menjadi prioritas. Bisa jadi karena tidak terpikirkan (لا يخطر له على بال). Bisa karena khawatir hal itu akan diwajibkan. Dan sebab-sebab lainnya.
Sebagai contoh. Nabi SAW sangat ingin merombak Ka’bah dan mengembalikannya sebagaimana ketika dibangun oleh Nabi Ibrahim as. Tapi Nabi tidak melakukan hal itu. Mengapa?
يَا عَائِشَةُ، لَوْلاَ أَنَّ قَوْمَكِ حَدِيثُ عَهْدٍ بِجَاهِلِيَّةٍ لَأَمَرْتُ بِالْبَيْتِ، فَهُدِمَ، فَأَدْخَلْتُ فِيهِ مَا أُخْرِجَ مِنْهُ (رواه البخاري)
“Wahai Aisyah, kalaulah tidak karena kaummu baru saja keluar dari jahiliyah tentu aku akan perintahkan Ka’bah untuk dihancurkan lalu aku masukkan ke dalamnya apa yang telah dikeluarkan darinya.” (HR. Bukhari).
Apakah ini berarti kalau dilakukan renovasi terhadap Ka’bah menjadi bid’ah karena Nabi tidak pernah melakukannya? Tentu tidak. Nabi tidak melakukannya bukan karena hal itu salah apalagi haram, tapi karena kondisi psikologis kaum Quraisy yang belum siap untuk menerimanya.
Karena itu, di era Abdullah bin Zubair, ia merombak kembali Ka’bah dan memasukkan hijir Ismail ke dalamnya. Apakah ada yang mengatakan kalau Ibnu Zubair telah melakukan sesuatu yang bid’ah?
Satu hal yang perlu dicatat, masalah ini bukan perkara duniawi yang tidak ada hubungannya dengan syariat sama sekali. Ini adalah perkara agama dan akhirat. Jadi tidak bisa disamakan dengan penggunaan sendok, garpu, atau berbagai sarana transportasi yang tidak pernah ada di zaman Nabi SAW.
Kedua, dan ini sangat berkaitan dengan masalah ibadah. Nabi SAW sengaja tidak melakukan beberapa ibadah karena khawatir hal itu akan diikuti oleh para sahabat dan akhirnya menjadi sesuatu yang diwajibkan.
Nabi tidak ingin memberatkan umatnya. Kalau terlalu banyak kewajiban tentu peluang untuk meninggalkannya semakin besar, dan itu akan mendatangkan dosa bagi umatnya. Mari simak hadis shahih berikut ini :
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: إِنْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيَدَعُ العَمَلَ، وَهُوَ يُحِبُّ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ خَشْيَةَ أَنْ يَعْمَلَ بِهِ النَّاسُ، فَيُفْرَضَ عَلَيْهِمْ، وَمَا سَبَّحَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُبْحَةَ الضُّحَى قَطُّ وَإِنِّي لَأُسَبِّحُهَا (متفق عليه)
Dari Sayyidah Aisyah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw sengaja meninggalkan sebuah amal padahal beliau sangat ingin untuk melakukannya karena khawatir hal itu diamalkan juga oleh orang banyak dan akhirnya diwajibkan untuk mereka. Rasulullah Saw tidak pernah melakukan shalat dhuha, tapi aku melakukannya.”
Apakah ada yang mengatakan bahwa Sayyidah Aisyah telah melakukan hal yang bid’ah dengan mengerjakan shalat Dhuha karena Nabi tidak pernah melakukannya? Apakah ada yang mengatakan kepada Sayyidah Aisyah, “Kenapa engkau melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah? Kalau hal itu baik tentu Rasul lebih dahulu melakukannya.”?
***
Kedua, dalam pembahasan ilmu Ushul, sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi masuk dalam kategori at-turuk (التروك). Hukum awal yang bisa disimpulkan dari at-turuk adalah bahwa sesuatu itu boleh untuk ditinggalkan atau tidak dikerjakan, karena Nabi memang tidak mengerjakannya.
Tapi menyimpulkan dari at-turuk bahwa hal itu menjadi salah apalagi bid’ah jika dikerjakan, maka ini jauh dari pemahaman Ushul.
Imam asy-Syafi’i berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف
“Setiap yang memiliki sandaran dari syariat maka itu tidak bid’ah meskipun tidak pernah diamalkan oleh salaf.”
Imam Abu Abdillah at-Tilmsani dalam kitab Miftah al-Wushul berkata:
ويلحق بالفعل فى الدلالة الترك ، فإنه كما يستدل بفعله على عدم التحريم يستدل بتركه على عدم الوجوب
“Sama dengan perbuatan (fi’il) dalam hal ini adalah at-tark (sesuatu yang ditinggalkan). Sebagaimana perbuatan Nabi dijadikan sebagai dalil bahwa perbuatan itu tidak haram dilakukan, demikian juga dari peninggalan Nabi juga dijadikan dalil bahwa perbuatan itu tidak wajib dilakukan.”
Imam Abu Said ibnu Lubb, seorang ulama Ushul, ketika membantah pendapat yang memakruhkan berdoa selesai shalat, berkata :
غاية ما يستند إليه منكر الدعاء أدبار الصلوات أن التزامه على ذلك الوجه لم يكن من عمل السلف ، وعلى تقدير صحة هذا النقل فالترك ليس بموجب الحكم فى ذلك المتروك إلا جواز الترك وانتفاء الحرج فيه ، وأما تحريم أو لصوق كراهية بالمتروك فلا ، ولاسيما فيما له أصل جملي متقرر من الشرع كالدعاء
“Alasan yang digunakan oleh orang yang mengingkari doa setiap selesai shalat adalah ‘merutinkan hal ini dalam bentuk tertentu tidak pernah dilakukan oleh salaf’. Meskipun penukilan ini benar (bahwa para salaf memang tidak pernah melakukan hal tersebut) namun ‘meninggalkan’ (at-tark) tidak memberikan dampak apa-apa terhadap perbuatan yang ditinggalkan kecuali bahwa perbuatan itu boleh ditinggalkan. Adapun memberi label haram atau makruh pada perbuatan yang ditinggalkan tersebut, ini tidak bisa. Apalagi untuk perbuatan yang memiliki dasar secara umum dalam syariat seperti masalah doa.”
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa melakukan shalat sunat dua rakaat sebelum Maghrib hukumnya makruh. Ini karena Abu Bakar, Umar dan Utsman radhiyallahu ‘anhum tidak pernah melakukannya. Pendapat ini dibantah oleh Ibnu Hazm dalam kitab al-Muhalla. Ia berkata:
لو صح لما كانت فيه حجة لأنه ليس فيه أنهم رضي الله عنهم نهوا عنهما
“Kalaupun benar mereka tidak pernah melakukannya namun hal ini tidak bisa menjadi hujjah, karena mereka pun juga tidak melarang itu dilakukan.”
***
Ketiga, tidak semua amal dan kebaikan pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Dengan alasan sederhana, amal dan kebaikan sangat luas dan tidak terhingga, sementara usia Rasul SAW terbatas. Apalagi dengan beban amanah yang begitu berat, tidaklah mungkin beliau melakukan dan mencontohkan setiap detail amal dan kebaikan.
Yang penting, beliau sudah memberikan pondasi dan rambu-rambu utamanya. Ini cukup menjadi panduan dan acuan. Karena itu, tidaklah dibutuhkan dalil secara spesifik untuk setiap amal. Dalil-dalil yang bersifat umum sudah cukup menjadi dasar selama amal tersebut tidak bertentangan dengan nash-nash yang ada.
Maka ayat seperti :
وَافْعَلُوا الْخَيْرَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (الحج : 77)
“… lakukanlah kebaikan semoga kamu beruntung.”
Sudah cukup menjadi dalil untuk setiap bentuk kebaikan tanpa harus ada contoh nyata yang spesifik dari Rasulullah SAW.
***
Apakah ini berarti setiap orang boleh berkreasi dalam ibadah sesuai seleranya masing-masing? Tentu tidak demikian.
Rasulullah SAW telah memberikan contoh bagaimana menilai amal ibadah yang dikerjakan padahal tidak ada contoh spesifik dari beliau. Dalam banyak hadis kita menemukan para sahabat yang melakukan bentuk ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW sebelumnya.
Ketika hal itu diketahui oleh Rasulullah SAW beliau memberikan penilaian. Ada yang disetujui seluruhnya, ada yang disetujui sebagiannya dan ada yang ditolak sama sekali.
Sebagai contoh. Ada seorang laki-laki dari kalangan Anshar ditunjuk oleh kaumnya untuk menjadi imam di masjid Quba`. Laki-laki tersebut punya satu kebiasaan yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW. Setiap kali ia akan membaca surat setelah al-Fatihah, ia awali dulu dengan membaca surat al-Ikhlas.
Setelah itu baru ia membaca surat yang ia inginkan. Ini dilakukannya di setiap rakaat. Artinya, di setiap rakaat ia membaca dua surat sekaligus (selain al-Fatihah) ; surat al-Ikhlas sebagai pembuka dan surat lain yang ia pilih.
Jelas ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Karena itu orang-orang yang menjadi makmumnya mengeluhkan hal tersebut. Mereka meminta sang imam untuk meninggalkan kebiasaan itu. Ia bisa pilih; membaca surat al-Ikhlas saja tanpa surat yang lain, atau surat yang lain saja tanpa diawali dengan al-Ikhlas.
Tapi ia menolak. Ia malah mempersilahkan mereka untuk mencari imam yang lain kalau kebiasaannya itu tidak mereka senangi. Tapi karena ia adalah imam terbaik yang ada di kampung itu, akhirnya para jamaah tetap mempertahankannya. Namun mereka datang menemui Nabi mengadukan kebiasaan imam mereka.
Nabi SAW memanggil sang imam dan bertanya:
مَا يَمْنَعُكَ أَنْ تَفْعَلَ مَا يَأْمُرُكَ بِهِ أَصْحَابُكَ، وَمَا يَحْمِلُكَ عَلَى لُزُومِ هَذِهِ السُّورَةِ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ
“Apa yang membuatmu tidak mau melakukan apa yang disarankan sahabat-sahabatmu? Dan apa yang membuatmu selalu merutinkan surat tersebut (al-Ikhlas) di setiap rakaat?”
Ia menjawab:
إِنِّي أُحِبُّهَا
“Saya menyukainya.”
Ternyata motifnya adalah rasa suka. Apakah Nabi akan mengatakan bahwa tidak boleh rasa suka menjadi dasar sebuah amalan; mesti ada dalil. Tidak. Nabi Saw bersabda:
حُبُّكَ إِيَّاهَا أَدْخَلَكَ الجَنَّةَ
“Rasa sukamu pada surat itu akan memasukkanmu ke surga.”
Selawat dan salam untukmu Baginda… keluasan pandangan dan kelembutan ucapan seperti ini yang sudah mulai hilang dari sebagian umatmu saat ini…
***
Kalau imam masjid Quba di atas punya kebiasaan membaca al-Ikhlas sebelum membaca surat pilihan setelah al-Fatihah, sahabat yang satu ini malah menjadikan al-Ikhlas sebagai penutup surat yang dibacanya.
Jadi setelah ia membaca surat pilihan, ia mengakhirinya dengan membaca al-Ikhlas, baru kemudian ia rukuk. Ia adalah sahabat yang Nabi utus sebagai komandan dalam sebuah sariyyah. Hadits tentang ini diriwayatkan oleh Sayyidah Aisyah yang terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim.
Mungkin ada yang berkata, “Bukankah ketika Nabi sudah mengakui perbuatan sahabat itu maka ia berubah menjadi hadits taqriri? Jadi, ‘kreativitas’ para sahabat itu sudah menjadi hadits ketika Nabi sudah mengakuinya.”?
Ini benar. Namun yang menjadi fokus dalam hal ini adalah para sahabat tidak memahami bahwa setiap amalan mesti ada dalil secara spesifik. Mereka melakukan amalan-amalan itu dengan ijtihad sendiri. Ketika amalan-amalan itu sampai ke telinga Nabi, beliau memberikan tanggapan. Ternyata tanggapan beliau positif.
Namun demikian ada juga ‘kreativitas’ sahabat dalam beribadah yang tidak sepenuhnya diterima oleh Nabi Saw.
Ada seorang sahabat yang bernazar untuk berpuasa sambil berjemur di bawah terik matahari. Ia menyangka itu lebih baik dan lebih besar pahalanya karena lebih berat. Rasulullah Saw melihat hal itu. Beliau menyuruh sahabat tersebut tetap melanjutkan puasanya tapi berjemurnya dihentikan.
***
Apakah sebuah perbuatan kalau tidak sunnah berarti bid’ah?
Tidak mutlak demikian. Mari perhatikan riwayat berikut ini.
Abu Said al-Khudri menceritakan, “Ada dua orang pergi safar. Ketika waktu shalat masuk air tidak ada. Keduanya akhirnya tayammum, lalu shalat. Selesai shalat keduanya mendapatkan air. Waktu masih ada. Salah seorang dari keduanya mengulang kembali shalatnya. Tapi yang seorang lagi tidak. Setibanya di Madinah, keduanya menceritakan hal itu pada Rasulullah SAW.
فَقَالَ لِلَّذِي لَمْ يُعِدْ: «أَصَبْتَ السُّنَّةَ، وَأَجْزَأَتْكَ صَلَاتُكَ». وَقَالَ لِلَّذِي تَوَضَّأَ وَأَعَادَ: «لَكَ الْأَجْرُ مَرَّتَيْنِ»
Untuk yang tidak mengulang shalatnya, Rasul bersabda: “Engkau sudah benar, sesuai sunnah. Shalatmu sudah sah.” Sementara untuk yang berwudhuk dan mengulang shalatnya lagi Rasul bersabda, “Engkau dapat pahala dua kali.”
***
Ada baiknya kita berhati-hati dalam membuat sebuah kesimpulan hukum, apalagi hukum syar’iy. Jangan terlalu mudah mengatakan, “Ini bid’ah karena tidak pernah dilakukan oleh Nabi, para sahabat dan generasi salaf.” Tidak pernahnya hal itu dilakukan, tidak serta merta membuat perbuatan itu haram, salah atau menjadi bid’ah jika dilakukan.
Perbuatan itu mesti dibawa dan dihadapkan kepada nash-nash yang ada (termasuk nash-nash yang bersifat umum dan global), kaidah-kaidah istinbat dan sumber-sumber hukum yang disepakati oleh para ulama untuk mengetahui status yang tepat untuknya ; wajib, sunnah, mubah, makruh atau haram.
Sebagai penutup ada baiknya kita cermati riwayat berikut ini.
Imam Abdullah bin al-Mubarak meriwayatkan dari Sallam bin Abi Muthai’, dari Ibnu Abi Dukhailah dari ayahnya, ia berkata: “Suatu ketika saya berada di dekat Ibnu Umar. Saat itu ia berkata:
نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الزبيب والتمر ، يعنى أن يخلطا
“Rasulullah Saw melarang zabib dan korma untuk dicampurkan.”
Tiba-tiba ada seseorang di belakangku bertanya, “Apa tadi yang ia sampaikan?” Aku pun menjawab, “Rasulullah Saw mengharamkan korma dan zabib untuk dicampurkan.” Mendengar jawabanku itu, Ibnu Umar berkata, “Engkau bohong.” Aku bertanya, “Bukankah engkau yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW melarang hal itu? Bukankah itu berarti haram?” Ibnu Umar berkata, “Engkau mau bersaksi untuk itu?”
Sallam –perawi hadits- mengatakan, “Apa yang dilarang Nabi boleh jadi adalah adab.”
Artinya, tidak setiap larangan itu berarti haram untuk dilakukan. Ada larangan yang berarti hal itu sebaiknya ditinggalkan (makruh). Ada larangan yang sifatnya khilaf aula dan sebagainya.
اللهم علمنا الأدب والفقه فى دينك وتبليغه ، آمين
Penulis: Ustadz Yendri Junaidi, Lc