Latar belakang terjadinya perjanjian Hudaibiyah. Sejak hijrahnya Rasulullah beserta kaum muhajirin ke Madinah, dari tahun ke tahun agama Islam semakin kokoh. Bahkan pasukan muslim lebih banyak menang di setiap pertempuran melawan kafir Quraisy dan sekutu mereka. Dalam keadaan demikian, beliau SAW berinisiatif membawa umat Islam untuk melaksanakan umrah ke Baitullah.
Keputusan melakukan umrah ini diawali dari mimpi Rasulullah bahwa beliau bersama sahabat-sahabatnya memasuki kota Mekah dan bertawaf di Kakbah. Meskipun ternyata mimpi itu tidak terlaksana sebagaimana yang mereka harapkan dan harus tertunduk lesu pulang ke Madinah karena dihadang oleh kaum Quraisy yang kemudian menghasilkan kesepakatan Hudaibiyah sebagaimana terekam dalam surah al-Fath.
Rombongan Kaum Muslimin Berangkat Menuju Mekah
Ketika mendapat wahyu mimpi tersebut, Rasulullah mengumumkan kepada umat Islam Madinah untuk bersiap-siap pergi umrah ke kota Mekah. Mereka diperintahkan berpakaian ihram, membawa hewan kurban, dan tidak boleh membawa senjata kecuali senjata yang biasa dibawa oleh orang musafir. (Tafsir Fi Zhilalil Quran 10/373)
Pengumuman Rasul tersebut mencerminkan bahwa beliau saw sangat berharap supaya umat Islam yang menunaikan ibadah tersebut dalam jumlah sebanyak mungkin. Benar saja, para sahabat menyambut perintah Rasulullah dengan sukacita karena kerinduannya yang sudah bertahun-tahun kepada Baitullah. Di lain sisi, kesungguhan Rasulullah untuk meyakinkan suku-suku Arab, bahwa tahun ini keberangkatannya ke Mekah untuk umrah. Sehingga musuh-musuh Islam, terutama kaum Quraisy, tidak berani menyerang umat Islam
Pada Zulkaidah, tahun ke-6 Hijriah Rasul berangkat menuju Mekah bersama sekitar 1400 sahabat yang kesemuanya merasa yakin bahwa mereka akan berhasil melaksanakan ibadah umrah di Mekah. (Tafsir al-Misbah 13/177). Dengan berpakaian ihram, umat Islam keluar meninggalkan Madinah dan tidak membawa senjata perang sebagaimana perintah Rasulullah, kecuali pedang yang berada dalam sarungnya dan membawa 70 ekor unta. Di sepanjang perjalanan, beliau juga mengajak suku-suku Arab yang ditemui. (Bidayah al-Nihayah 3/166)
Kaum Quraisy Menghadang Umat Muslim
Mendengar berita tentang Rasulullah dan rombongannya serta tujuan kepergiannya, kaum Quraisy khawatir dan mendorong mereka untuk melarang beliau memasuki Mekah. Tokoh-tokoh Quraisy mengadakan pertemuan di dar an-nadwah (balai pertemuan) untuk membicarakan upaya dalam menghadang Rasulullah dan umat Islam.
Di antara usaha tersebut, yaitu memerintahkan semua masyarakat Quraisy yang mahir berperang turun ke medan perang. Mereka juga meminta bantuan kepada sukutu-sekutu Quraisy, seperti suku Ahabysi dan Tsaqaf untuk bergabung dengan mereka dalam menghadapi umat Islam. (Shul al-Hudaibiyah h. 141)
Quraisy juga memerintahkan pasukan kuda untuk menghadang Rasulullah dan rombongannya. Di bawah pimpinan Khalid bin Walid, pasukan yang berjumlah 200 orang itu bergerak menyusuri jalan utama Mekah-Madinah yang akan di lalui Nabi dan berhenti di sebuah lembah bernama Kira’ al-Ghamim, di depan ‘Usfan. (Sirah an-Nabawiyyah h. 166)
Sayyid Quthb (10/373) menerangkan, ketika Rasulullah tiba di ‘Usfan, beliau ditemui Basyar bin Sufyan al-Ka’bi, utusan pengintai dari Khuza’ah. Dia melapor bahwa kaum Quraisy telah menyusun langkah-langkah untuk menghadang muslimin. Mengetahui hal tersebut, Rasul menyusun kembali strategi sebab orang-orang Quraisy masih berambisi untuk membunuhnya dan melakukan makar terhadap umat Islam.
Dengan menghalangi umat Islam untuk ziarah ke Mekah, sebenarnya kaum Quraisy sudah melakukan kekejaman (QS. al-Fath 25-27). Sebab Baitullah bukan milik Quraisy, melainkan milik semua orang Arab. Hanya saja orang-orang Quraisy itu berkewajiban menjaga Ka’bah. Di samping itu, ibadah umrah merupakan salah satu ajaran agama Allah, pelarangan bagi umat Islam yang lebih berhak melakukan ajarannya menandakan tindakan permusuhan.
Dalam keadaan menegangkan itu, Rasulullah meminta pendapat para sahabatnya, “Bagaimana pendapat kalian kita terus menuju Baitullah dan siapa yang menghalangi, maka kita perangi dia? “Sayyidina Abu Bakar kemudian merespon, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kita tidak datang untuk berperang, namun siapa yang menghalangi kita ke Baitullah. Beliau menjawab, “Berangkatlah!” (Tafsir at-Thabari 23/631)
Hal ini menjadi teladan bahwa meskipun sebagai utusan Allah sekaligus pemimpin negara, namun Rasulullah sangat terbuka dengan masukan dari para sahabat, sebagaimana pula dikatakan Abu Hurairah, “Tidak ada seorang pun yang kulihat lebih sering bermusyawarah dengan para sahabat daripada Nabi SAW.”
Memilih Singgah di Daerah Bernama Hudaibiyah
Kemudian Rasulullah melanjutkan, “Siapakah di antara kalian yang mau menuntunku ke jalan yang berbeda dari yang ditempuh kaum Quraisy?” Abdullah bin Abu Bakar mengatakan bahwa seseorang dari bani Aslam yang bisa dan bersedia menuntun rombongan muslimin ke jalan yang sulit dan terjal di antara dua jalan bukit dan bebatuan. (Tafsir Fi Zhilalil Quran)
Rasulullah memilih Hudaibiyah sebagai tempat singgah. Sebab secara geografis, Hudaibiyah berada di sebelah bawah Kota Mekah, tempat ini lebih dekat ke Makah dibandingkan tempat sebelumnya, ‘Usfan. Hudaibiyah yang terkenal terjal, curam, dan bertebing akan menyulitkan musuh untuk melakukan penyerangan.
Hudaibiyah juga dekat dengan daerah Khuza’ah. Posisi suku Khuza’ah, yang memilih netral dengan konflik antara Makah-Madinah tersebut nanti dapat dimanfatakan oleh Nabi untuk membantu umat Islam dalam menghadapi kesulitan selama berada di Hudaibiyah.
Ada peristiwa menarik, saat itu mata air di sana sedikit, maka umat Islam mengambil air dengan sehemat mungkin. Namun, air itu tetap tidak mencukupi. Rasulullah kemudian mengeluarkan anak panah dari bubungnya dan memerintakan kepada salah seorang sahabat untuk menancapkannya di lubang air itu. Tiba-tiba dari tempat tersebut memancar air sehingga umat Islam dapat bertahan dalam waktu yang lama.
Ternyata, strategi Rasulullah sangat mempengaruhi kaum Quraisy. Mereka terpaksa harus mengkaji ulang upayanya untuk menyerang umat Islam yang sedang berpakaian ihram. Menurut Fazlur Rahman (Muhammad Sebagai Pemimpin Militer h. 240), Quraisy tidak saja mengalami kesulitan, mereka bahkan khawatir akan mendapat kekalahan dari Rasulullah dan para pengikutnya.
Peristiwa di Hudaibiyah ini menjadi kemenangan mental-psikologis bagi umat Islam atas Quraisy yang dapat memberikan peluang besar bagi Rasul untuk memasuki babak baru dengan kaum Quraisy, yakni terciptanya hubungan damai.