Kuliahalislam.com-Najmuddin At-Tufi , merupakan ahli fikih, Ushul fiqih dan hadis dari kalangan mazhab Hanbali yang hidup pada abad ke-7 Hijriah dan awal abad ke-8 H. Nama lengkapnya adalah Abu ar-Rabi’ Sulaiman bin Abdul Qawi bin Abdul Karim bin Sa’id at-Tufi, atau lebih dikenal dengan nama Najmuddin at-Tufi. Nama at-Tufi diambil dari nama desa kelahirannya di daerah Sarsar, yang termasuk wilayah Baghdad, Irak.
Ada perbedaan pendapat mengenai tahun kelahirannya. Ibn Hajar al-Asqalani dalam kitabnya ” ad-Durar al-Kaminah (Tentang Tokoh-Tokoh Sejarah)”, menyebutkan bahwa at-Tufi lahir pada tahun 657 H. Ibnu Rajab dalam bukunya ” Zail Tabaqat al-Hanbaliah (Lampiran Tokoh-Tokoh Mazhab Hanbali)”, menyebutkan bahwa At-Tufi lahir di atas tahun 670 H.
Mustafa Zaid, Ulama Al-Azhar, Cairo menyebutkan tahun kelahiran at-Tufi adalah tahun 675 H berdasarkan buku At-Tufi sendiri yang berjudul ” al-Akbar fi Qawa’id at-Tafsir (Yang Mendasar dalam Kaidah Tafsir)”.Tentang wafatnya juga terdapat perbedaan pendapat, yang mengacu kepada tahun antara 710 H dan 716 H di Baitulmakdis (Yerusallem).
Pendidikannya
Pendidikan At-Tufi dimulai di kota kelahirannya dengan belajar pada beberapa orang ulama. Ia menghafal kitab al-Mukhtasar al-Kharaqi (Ringkasan Buku al-Kharaqi) di bidang fiqih dan kitab al-Luma’ karya Ibnu Jani, guru At-Tufi) di bidang bahasa Arab. Ia juga bolak-balik ke daerah Sarsar untuk belajar fiqih kepada Syaikh Zainuddin Ali bin Muhammad as-Sarsari, Ulama fiqih Hanbali yang dikenal dengan sebutan al-Buqi.
Pada tahun 691 H, ia pindah ke Baghdad. Di sana dia menghafal kitab al-Muharrar fi al-Fiqih ( sebuah buku pegangan dalam mazhab Hanbali) dan mendiskusikannya dengan Syaikh Taqiyuddin az-Zarzirati. Di samping itu dia belajar bahasa Arab kepada Abi Abdillah bin Muhammad al-Masuli, belajar hadis kepada Rasyid bin al-Qasim, Ismai’il bin at-Tabbal, dan Abdurrahman bin Sulaiman al-Harrani. Kebanyakan gurunya bermazhab Hanbali.
Di samping ilmu-ilmu di atas, dia juga belajar ilmu mantiq, ilmu faraid, ilmu al-jadal (cara berdiskusi), sehingga dia mampu mengemukakan pikirannya secara mandiri tanpa harus terikat pada mazhab.
Dalam kaitan dengan ini, ketika ia menyusun buku al-Akbar fi Qawa’id at-Tafsir, ia mengatakan bahwa buku tersebut ditujukan kepada mereka yang mengembangkan pemikiran untuk mencari kebenaran bukan kepada orang yang terikat dengan pendapat orang lain atau mencari kebenaran melalui pendapat orang lain.
Karya at-Tufi
Dia menyumbangkan banyak karya ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu. Akan tetapi kebanyakan bukunya masih berbentuk manuskrip yang bertebaran di beberapa negara Timur Tengah seperti di Mesir, Irak dan Turki.
Di bidang ilmu Al-qur’an dan hadis dia menyusun 10 buku diantaranya adalah al-Isyarah al-Ilahiyyah ila al-Mabahis al-Usuliyyah dan Idah al-Bayan ‘an Ma’ani Umm Al-Qur’an. Di bidang Fiqih dan Aqidah dan Ushul fiqih terdapat 22 buku diantaranya adalah Bugyah as-Sa’il fi Ummahat al- Masa’il dan al-Intisarat al-Islamiyyah fi Daf Syubhah an-Nasraniyyah.
Di bidang Ushuluddin bukunya di antaranya adalah Mukhtasar ar-Raudah al-Qadamiyyah dan Ma’arij al-Usul ila ‘Ilm al-Usul, ar-Riyad an-Nawadir fi al-Asybah wa an Naza’ir dan Syarah Mukhtasar at-Tibrizi. Bidang sastra Arab tulisannya adalah Daf’ al-Malam ‘an Ahl al Mantiq wa al-Kalam, ar-Risalah al-‘Alawiyyah fi al-Qawa’id al-‘Arabiyyah dan Tuhfah Ahl al-Adab fi Ma’rifah Lisan al-Arab.
Ia pernah dipengaruhi pemikiran Syiah sehingga ia menjadi penganut Syiah. Ia kemudian mengundurkan diri dari Syiah dan kembali menjadi seorang ulama mazhab Hanbali. At-Tufi menonjol di bidang Ushul fiqih ketika dia membicarakan konsep kemaslahatan dalam bukunya ” Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah.
Konsep Kemaslahatan At-Tufi
Kontroversi di bidang kemaslahatan inilah yang membuat dia tetap diingat sampai sekarang. Kalau menurutnya, ajaran yang diturunkan Allah melalui wahyu-Nya dan sunnah Rasulullah Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam pada intinya adalah untuk kemaslahatan umat manusia.
Oleh sebab itu, dalam segala persoalan kehidupan manusia yang dijadikan pertimbangan adalah kemaslahatan. Apabila suatu pekerjaan mengandung kemaslahatan bagi manusia maka pekerjaan itu harus dilaksanakan.
Dalam membahas konsep kemaslahatan ini, at-Tufi berbeda sekali dengan ulama lain. Pada dasarnya ulama mazhab membagi kemaslahatan menjadi tiga bentuk, yaitu ; pertama, Maslahah mu’tabarah (Kemasalahatan yang ditunjuk langsung oleh Al-qur’an atas sunah Rasulullah Wasallam). Kedua, Maslahah Mulgah (Kemaslahatan yang bertentangan dengan teks wahyu atau hadis ataupun ijmak). Ketiga, al-Maslahah al-Mursalah ( kemaslahatan yang tidak secara tegas ditentang oleh wahyu atau hadis).
Tetapi bagi at-Tufi pembagian tersebut tidak ada. Menurutnya, Karena tujuan Syariat adalah kemaslahatan segala bentuk kemaslahatan ( didukung teks suci atau tidak didukung oleh teks suci) harus dicapai tanpa merincinya seperti di atas.
Selanjutnya dalam mensyarah Hadis Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam yang artinya “Dalam Islam itu tidak boleh memudarati dan tidak boleh juga dimudarati orang”, (H.R Al-Hakim, al-Baihaqi, dan Daruqutni dari Abu Sa’id al-Khudri (wafat. 84 H) dalam kitabnya al-Arba’in an-Nawawiyyah, at-Tufi mengatakan bahwa ada empat hal yang menjadi dasar pendapatnya tentang kemaslahatan.
Pertama, kebebasan akal manusia untuk menentukan kemaslahatan dan kemudaratan di bidang muamalah duniawi. Implikasi dari dasar ini adalah bahwa menentukan sesuatu itu kemaslahatan atau bukan cukup dengan penalaran manusia, tanpa didukung oleh wahyu ataupun hadis.
Pendapat at-Tufi ini sangat bertentangan dengan pendapat kebanyakan ulama Ushul fiqih yang menyatakan bahwa kemaslahatan itu harus senantiasa mendapat dukungan dari Nas (Al-Qur’an dan Hadis), walaupun hanya secara umum.
Kedua, kemaslahatan tersebut merupakan dalil tersendiri di luar teks suci (al-qur’an dan hadis). Akibatnya, kemaslahatan tersebut tidak harus didukung oleh teks suci baik secara terperinci maupun secara universal; semuanya tergantung pada penalaran akal manusia.
Ketiga, ruang lingkup kajian kemaslahatan tersebut terbatas pada persoalan muamalah duniawi dan adat kebiasaan karena pemilik kemaslahatan dalam bidang ibadah adalah Allah sendiri, sedangkan bidang muamalah duniawi dan adat kebiasaan terkait dengan kemaslahatan manusia sendiri.
Keempat, kemaslahatan tersebut merupakan dalil syariat yang paling kuat. At-Tufi tidak menetapkan bahwa kehujahan kemaslahatan tersebut hanya jika teks ayat atau hadis tidak ada, tetapi sejak semula ia menetapkan bahwa kemaslahatan tersebut adalah dalil yang berdiri sendiri dan merupakan dalil syariat yang paling kuat, sehingga jika terjadi pertentangan teks wahyu atau hadits dengan kemaslahatan yang terkait dengan persoalan muamalah duniawi, harus dahulukan kemaslahatan tersebut melalui jalan takhsis atau bayan (pengkhususan dan penjelasan).
Keempat dasar yang dianut At-Tufi tersebut tidak sejalan dan bahkan bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama ushul fiqih. Bagi at-Tufi, karena dasar syariat Islam itu adalah kemaslahatan sedangkan kemaslahatan itu sendiri dapat dicapai melalui akal, maka dalam menentukan sesuatu itu kemaslahatan atau mafsadat tidak diperlukan wahyu atau hadis; cukuplah penentuan melalui penalaran akal karena Al-qur’an dan Sunnah itu sendiri berulang kali memberikan dorongan agar manusia mempergunakan akalnya secara maksimal.
Sekalipun terhadap pendapat At-Tufi ini muncul banyak kecaman dari para ulama sezaman dan sesudahnya, seperti Syekh Muhammad Said Ramadan Al Buti ( ulama abad ini, Guru Besar Usul Fiqih di fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah), dalam bukunya Dawabit al-Maslahah (Kriteria Kemaslahatan) dan Husein Hamid Hasan (Ulama Ushul Fiqih di Universitas Umm al-Qura, Mekah) dalam bukunya Nazariyyah al-Maslahah fi at-Tasyri’ al Islami (Teori Kemaslahatan dalam Syariat Islam), banyak juga yang memuji keberanian at-Tufi seperti Mustafa Zaid, (Ulama Ushul Fiqih di Universitas al-Azhar, Mesir) dalam bukunya al-Maslahah fi al-Fiqih al-Islami wa Najm ad-Din at-Tufi (Kemaslahatan dalam Fiqih Islam dan Najmuddin at-Tufi).
Prinsip at-Tufi tentang kebebasan akal dalam menentukan hukum terhadap persoalan yang bersifat muamalah duniawi dan adat kebiasaan yang sebelumnya dicanangkan oleh Imam Abu Yusuf (731 M-798 M), seorang sahabat Imam Hanafi dalam kitabnya al-Kharaj (Pajak) dan Ibnu Taimiyah, banyak mendapatkan sambutan ulama yang terpanggil untuk menjawab berbagai persoalan sosial masa kini.