(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 telah segera dimulai. Pilkada ini terdiri dari Pemilihan Gubernur (Pilgub) dan Pemilihan Bupati (Pilbup), yang diselenggarakan secara bersamaan di beberapa daerah di Indonesia. Penyelenggaraan Pilkada ini telah diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) sesuai dengan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 2 Tahun 2024 tentang Tahapan dan Jadwal Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota Tahun 2024. Pada Pasal 201 ayat (8) UU Pilkada disebutkan bahwa “Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024”. Daerah yang akan melaksanakan Pilkada Serentak 2024 Pada tahun 2024, sebanyak 545 daerah di Indonesia akan melaksanakan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak. Rincian daerah tersebut adalah sebagai berikut: Jumlah Daerah yang melaksanakan Pilkada; • 37 provinsi (Gubernur), • 415 kabupaten (Bupati), • 93 kota (Walikota). Adapun daerah Provinsi Nusantara Tenggara Barat akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah, Pemilihan Gubernur NTB, pemilihan Bupati Bima, Walikota Bima dan daerah lainnya.
Pemilihan Kepala Daerah, atau yang sering disingkat sebagai Pilkada, merupakan proses pemilihan langsung yang dilakukan oleh penduduk setempat yang memenuhi syarat administratif. Pelaksanaan Pilkada diatur oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tingkat provinsi serta di tingkat kabupaten/kota, sementara prosesnya juga diawasi oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Dalam rangka penyelenggaraan Pilkada tahun 2024 yang sesuai dengan prinsip-prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.
Pilkada atau kita sebut juga sebagai Demokrasi Lokal selalu menarik perhatian. Berbagai catatan kritis bermunculan. Mulai dari pembahasan langsung atau tidak, netralitas ASN dan Penyelenggara, mahar politik, strategi pemenangan dan kegiatan politik lainnya. Pilkada langsung semenjak pertengahan tahun 2005 sampai tahun 2006 telah dilaksanakan di lebih dari 250 daerah provinsi/kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Dari sudut pandang upaya untuk membuat kehidupan menjadi lebih demokratis, pilkada langsung dianggap suatu kemajuan besar karena sebelum 2004, kepala daerah selalu hanya dipilih oleh DPRD, dan tidak melibatkan rakyat daerah secara langsung. Kepala daerah selama ini menjadi sosok misteri karena di beberapa kasus, calon kepala daerah adalah calon yang ditentukan oleh pusat.
Dengan demikian, jadi tidaknya seseorang menjadi kepala daerah, sangat tergantung pada keputusan politik Pemerintah Pusat. Hal yang demikian telah membuat persaingan untuk menjadikan seseorang kepala daerah, sangat tergantung pada lobby-lobby di tingkat pusat. Selanjutnya pengangkatan atau penunjukan kepala daerah menjadi sangat diwarnai persaingan politik di tingkat pusat yang diawaki oleh partai-partai yang umumnya partai besar. Kepentingan masyarakat daerah sangat dikesampingkan sehingga agregasi dan artikulasi kepentingan masyarakat daerah menjadi nihil. Partai-partai menjadi kepanjangan tangan kepentingan tertentu, ketimbang memfungsikan diri menjadi corong masyarakat. Karena itu, ada kecenderungan oligarki, sehingga partai menjadi semena-mena terhadap kepentingan masyarakat. Ide untuk mengadakan pemilihan kepala daerah secara langsung, menjadi sebuah terobosan besar karena ide ini merupakan perwujudan dari pola mengakomodasi suara.
Kondisi Warga
Masyarakat hidup dalam kondisi kemiskinan, ketakberdayaan, keterbelakangan dan situasi keterpurukan baik aspek material ekonomi, interaksi sosial, kualitas pendidikan dan faham agama dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. Masih hidup dalam keluhan penderitaan keperluan sehari-hari sehingga langkah yang diambil adalah mengambil pinjaman bank, kredit koperasi, pinjam-meminjam uang, ancaman martabat sosial ekonomi, terjerat pinjaman online, eksploitasi lintah darat dan sebagainya.
Masyarakat masih terus bersuara, pendapat dan menyampaikan keluhan kepada pihak yang berwenang untuk bertanggung jawab dalam, menyediakan harga-harga kebutuhan pokok yang murah meriah, bahan-bahan makanan yang terjangkau, busana pakaian dan aksesoris hingga kebutuhan yang menunjang aktivitas, kontribusi dan partisipasi dalam kehidupan. Masyarakat masih terus bersuara dan berharap, agar pemerintah menyediakan kebutuhan dan keinginan hajat hidup sehari-hari yang terjangkau bisa digunakan untuk memenuhi aktivitas berkeluarga dan bermasyarakat. Seperti biaya listrik, elektronik murah, penyediaan sarana kebutuhan sumber air bersih, pembuangan sampah sampah yang digunakan, dibebaskan biaya, bantuan sarana dan prasarana dalam bantuan material/sosial.
Masyarakat masih terus bersuara, karena hidup dalam kondisi tak menentu, tak pasti dalam aspek sosial ekonomi, pendidikan dan agama. Sehingga setiap menjalani aktivitas sehari-hari kerapkali mengalami kondisi serba khawatir, waspada dan mencemaskan karena tidak mampu berpikir kreatif untuk mendapat pemasukan ekonomi, tidak leluasa interaksi sosial dan sulit untuk berpartisipasi dalam kegiatan keluarga, agama dan bermasyarakat. Masyarakat masih hidup dalam tekanan, ancaman, dan eksploitasi yang bertubi-tubi dari kalangan penguasa yang menyalahgunakan kekuasaan, bertindak sewenang-wenang, mencuri memanipulasi hak-hak sosial politik warga, mengeksploitasi tenaga-tenaga warga.
Masyarakat pun seolah-olah tak punya hak bersuara, berekspresi dan berpendapat dalam menyuarakan aspirasi keresahan dan keluhan terkait kondisi hidup yang dialaminya. Masyarakat hanya diagung-agungkan dan didekati saat musim pemilu/pilkada hanya untuk merebut hak suara kepentingan elektoral saja, namun setelah pesta pemilukada demokrasi prosedural tersebut selesai maka hak-hak sosial politik warga diabaikan, tak didengar, tak digubris, hanya sebatas figuran, bahan manipulasi eksploitasi bahkan mendapat ancaman balik dari pejabat’ publik dan politisi-politisi kejam yang duduk’ di kursi kekuasaan eksekutif/legislatif suatu daerah.
Masyarakat seolah-olah tak punya kehendak bebas, harkat martabat diri dalam beragama dan bermasyarakat sehari-hari. Karena warga kerapkali mendapat perlakuan tidak adil, tidak lantas dan tidak manusiawi dihadapan kekuasaan dan hukum bernegara. Maka munculah ungkapan, hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Hukum lunak lembut dihadapan pejabat’ publik, politisi-politisi dan manusia beruang bersenang-senang gembira, tetapi sangat tajam dan perlakuan kejam ketika berhadapan dengan warga-warga kalangan bawah, rakyat jelata tak berdaya. Hanya bisa Isak tangis, mengeluh sengsara dan gigit jari. Karena warga kerapkali menjadi korban sasaran atas kezaliman, kekejaman dan kebiadaban para pejabat-pejabat publik dan politisi-politisi yang berwatak bengis, rakus, diktator despotik dan sewenang-wenang terhadap tirani kekuasaan dan semena-mena terhadap materi milik aset-aset negara.