Penjuru kota Surabaya tetaplah riuh seperti biasa, begitu juga pada Ahad, 15 Desember 2024. Mahasiswa program studi tasawuf dan psikoterapi semester 3 maupun 5 mendapat sepucuk titah tugas dengan seutas senyuman untuk mengemban amanah ‘ngabdi sehari’ di Pesantren Terpadu Daru Ulil Albab (DUA), Nganjuk.
Pesantren tersebut milik salah seorang dosen yang senantiasa mewarnai sehari dalam seminggu kami dengan lantunan ayat suci Alqur’an yang dikemas rapi pada e-book panduan ulil albab, beliau adalah Bapak Kharisudin yang juga seorang tokoh pendiri Pesantren.
Dalam rangka ‘mewarnai’ Ujian Akhir Semester (UAS), segenap mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel serempak beranjak dari zona nyaman. Bersama dengan segenggam niat yang mereka teguhkan, sebagian memilih untuk menggunakan kereta api dan sebagiannya lagi memilih ‘membolang’ sembari mengenal medan Surabaya hingga kota tujuan dibersamai motor mereka masing-masing.
Perjalanan pun dimulai. Berbeda dengan mulusnya aspal Surabaya, medan yang kini disepak terjang memiliki beberapa ‘surprise’ di bagian jalan tertentu, yang apabila terisi air hujan maka akan menjadi danau penyebab utama mogoknya motor milik para pengendara.
Hektaran sawah serta pemandangan khas hijaunya disuguhkan dari awal roda berputar, pepohonan rindang dan view pedesaan juga tak luput dari pandangan sekaligus kencangnya angin yang membawa butiran debu juga menjadi pemanis di perjalanan kali ini.
Adzan dzuhur mengalun merdu mengiringi putaran roda menyusuri jalanan kediri sebelum benar-benar tiba dititik akhir tujuan, Pesantren Terpadu Daru Ulil Albab. Sebuah pesantren yang terletak tepat di sebrang sungai Bengawan Solo dekat dengan jembatan penyeberangan berlokasi di desa Kelatun, Nganjuk.
‘Barongan’ atau bambu-bambu tinggi menjulang di kanan dan kiri jalanan masuk pesantren yang tegak dan rimbun menambah kesan sakral kawasan ini. Dari kejauhan terlihat tulisan DUA di jajaran pagar besinya, cat dengan warna cerah juga menyelimuti kebanyakan bangunan disana, ditambah beberapa ekor hewan seperti karkun, burung dara dan lainnya yang juga dipelihara dalam asrama memberikan kesan asri, serasa menyatu dengan alam.
Saatnya berkhidmat. mengemas makanan untuk acara Haul Akbar. Namun perhatianku terhenti pada kalimat pemberitahuan salah seorang mahasiswi “panggon e nak mburi ka’bah, rek” dalam bahasa Indonesia berarti “tempatnya dibelakang ka’bah, rek”.
Memang yang dimaksud adalah miniatur ka’bah yang biasa digunakan untuk praktik manasik Haji oleh para santri, tapi yang terbesit dalam benak saya adalah Ka’bah yang sesungguhnya. Yah, kompas barat atau kiblat salat umat Islam seluruh dunia.
Sebagai seorang muslim yang belum pernah menghadap secara langsung, tentu banyak pertanyaan yang terbesit ketika melihat miniatur yang berada didepan mata. Termasuk mengapa miniatur tersebut dibangun secara permanen ?
Berbicara tentang Kompas barat umat Islam atau istilah kiblat yang tiba-tiba terpikirkan sejenak setelah mencerna pemandangan yang terlihat. Disisi lain pesantren juga terdapat beberapa lafax syahadat yang terukir di tembok bangunan sekitar masjid juga beberapa lafaz Alqur’an yang segaja diukir dibeberapa bagian tembok lainnya, bukan hanya itu, hal ini juga diperjelas dengan kalimat pada prasasti ‘8 Permata Diri Santri (GRAPIYAK) Pesantren Terpadu Daru Ulil Albab’ juga menunjukan diurutan pertama yakni Gemar Berdzikir.
Berdzikir secara bahasa adalah mengingat atau menyebut, secara istilah berarti mengingat Allah SWT dengan tujuan untuk mendekatkan diri kepada-Nya serta menenangkan jiwa dengan cara membaca kalimah thayyibah seperti tahlil, tahmid, tasbih, takbir dan lainnya.
Ya, benar bahwa sebagian besar maksud tujuan adanya beberapa monumen pesantren tersebut tentu agar siapapun yang membacanya akan teringat pada Allah SWT sehingga dapat memperoleh ketenangan sesungguhnya. Seperti yang tertera pada QS. Al Rad ayat 28, artinya:
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram”
Juga langkah-langkah mengingat serta berdzikir yang dapat dilakukan dengan banyak cara seperti melakukan dzikir setelah salat, berdzikir dengan menghitung biji tasbih hingga ruas-ruas jari tangan, menulis kaligrafi, menghafal Alqur’an, mendegarkan murotal, membaca sholawat, berdzikir dalam hati atau bisa juga diletakan pada media tembok seperti yang terdapat di Pesantren Terpadu Daru Ulil Albab.
Karena manusia itu makhluk visual, maka ia akan lebih cenderung senang melihat sesuatu sebagaimana terletak pada ayat Alqur’an yang pertama kali turun, artinya:
“Bacalah”
Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa membaca dilakukan dengan melihat sedangkan yang dilakukan dengan tidak melihat namanya menghafal. Melihat banyak hal dengan memaknainya akan mendapatkan pembelajaran hidup yang tidak didapat dibangku sekolah formal, begitu juga dengan monumen lafaz. Terlepas dari hukum syariatnya memperbolehkan atau sebaliknya.
Bagi saya, mewujudkan lafaz dzikir menjadi hal yang kasat mata seperti pada beberapa spot Pesantren justru akan dapat berdampak baik bagi banyak orang, mereka bisa saja lebih sering mengingat Allah SWT dibandingkan orang-orang jauh atau jarang melihat hal tersebut (monumen lafaz) yang tentu saja sifat manusia tak lain dan tak bukan adalah tidak terlepas dari kesalahan serta sifat lupa.
Atau sedikit banyak mereka akan sadar bahwa ketika tidak lagi terisi dengan kalimah tayyibah, batin maupun hari-hari mereka akan terasa kosong. Maka dari itu kita dapat menjadikan monumen yang di Pesantren Terpadu Daru Ulil Albab sebagai Kompas Barat mewujudkan dzikir menjadi benda kasat mata serupa monumen, agar banyak hal yang mengingatkan manusia supaya lebih sering mengingat Tuhannya dimanapun mereka berada, selama masih diberi kesempatan.