Tradisi carok di daerah Madura ini merupakan bentuk pertahanan harga diri, bagi masyarakat Madura harga diri adalah nilai yang dijunjung tinggi dan harus selalu dijaga, tradisi carok ini juga pertama kali dibawa oleh R. Sakera pada abad ke-19.
R. Sakera pada saat itu ia menggunakan carok sebagai pembelaan diri pada masa penjajahan Belanda. R. Sakera yang saat itu merupakan mandor kebun sawit pun akhirnya dipenjara sebab berusaha untuk melawan pemerintahan hindia belanda dengan menggunsakan senjata tajam berupa celurit.
Meskipun sering dipandang kontroversial karena kekerasannya, tradisi carok di Madura memiliki makna filosofis yang mendalam. Secara tradisional, carok adalah bentuk duel dengan senjata celurit yang dilakukan untuk mempertahankan kehormatan. Filosofinya tidak sekadar tentang kekerasan, melainkan juga mencerminkan nilai-nilai yang dipegang teguh oleh masyarakat Madura, seperti harga diri, tanggung jawab, dan keberanian.
Makna filosofis dari tradisi carok ini adalah :
Harga diri dan kehormatan
Bagi masyarakat Madura harga diri merupakan nilai tertinggi yang harus dijaga, tidak ada apapun yang dapat setara dengan harga diri mereka, bahkan nyawa orang lain, begitupun dengan kehormatan, masyarakat Madura senantiasa menjaga kehormatan dan martabat keluarga, baik dirinya sendiri maupun istri dan anak, mereka tidak akan senang apabila keluarga diusik apalagi direndahkan.
Rasa tanggung jawab dan komitmen terhadap nilai sosial
Masyarakat Madura menanamkan nilai sosial kepada anak anaknya terlebih laki-laki, mereka menekankan adanya tanggung jawab besar yang harus dijaga dan wajib untuk dipertahankan, apapun resikonya.
Keberanian
Dalam carok setiap orang yang terlibat akan pantang untuk menyerah, mereka akan saling menyerang hingga sampai di titik darah penghabisan, mereka tidak akan berhenti sebelum seseorang yang mereka target kan bisa mereka dapatkan, karena bagi Masyarakat madura mati lebih baik daripada hidup tanpa memiliki kehormatan.
Konsep Gentleman lokal
Meski terlihat sebagai tindakan kekerasan, carok memiliki aturan tidak tertulis, seperti saling menghormati sebelum dan sesudah pertarungan. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun ada konflik, pertarungan dilakukan dengan “terhormat” dalam konteks budaya setempat
Sebagai simbol penyelesaian konflik secara mandiri
Dalam masyarakat agraris yang minim akses hukum formal, carok dianggap sebagai bentuk penyelesaian konflik yang cepat, meski carok juga menunjukkan sisi gelap dari minimnya pendekatan hukum yang adil.
Tradisi carok di Madura, meski sarat dengan nilai-nilai filosofis seperti kehormatan, keberanian, dan tanggung jawab, tetap menjadi bagian kontroversial dari budaya lokal. Dalam konteks modern, carok sering dipandang tidak lagi relevan karena bertentangan dengan prinsip hukum dan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Oleh karena itu, tantangan yang dihadapi masyarakat Madura adalah bagaimana menjaga nilai-nilai luhur seperti kehormatan dan keberanian tanpa harus mengekspresikannya melalui kekerasan.
Dialog, pendidikan, dan pendekatan hukum yang adil dapat menjadi jalan untuk menggantikan tradisi ini dengan cara-cara yang lebih damai dan konstruktif. Tradisi carok seharusnya menjadi pelajaran tentang pentingnya menjaga martabat, tetapi dengan tetap menghormati kehidupan dan hukum yang berlaku.