Penulis: Rifki Adam Ramadhani*
KULIAHALISLAM.COM – Terkenal sebagai penghasil marmer terbesar di Indonesia, Tulungagung atau yang dulunya dikenal dengan nama Ngrowo menjadi salah satu kota di Jawa Timur dengan keindahan alamnya. Letaknya yang berbatasan langsung dengan samudera Hindia, membuat Tulungagung memiliki berbagai jenis pantai yang indah.
Namun, selain keindahan alam pantainya, Tulungagung juga memiliki banyak tempat yang bersejarah. Salah satunya adalah Masjid Al-Mimbar yang ada di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung. Masjid ini menjadi salah satu bukti awal Islam masuk di Ngrowo waktu itu.
Masjid Al-Mimbar dibangun pada tahun 1790 oleh K.H Hasan Mimbar. Beliau merupakan salah satu penyebar Islam di Tulungagung dan juga merupakan keluarga dari Kesultanan Mataram Islam.
Masjid ini merupakan masjid tertua di Tulungagung dengan bentuk arsitektur yang khas Kesultanan Mataram, awal bentuk masjid ini masih berupa serambi tanpa dinding. Dan yang menjadi keunikan masjid ini sampai sekarang adalah gerbang yang disusun dari batu bata merah yang bentuknya khas pintu gerbang Kesultanan Mataram.
Nasab K.H Hasan Mimbar dengan pemimpin Kesultanan Mataram Islam masih sangat kuat. Jika ditarik silsilah keturunannya, Raden K.H Hasan Mimbar merupakan putra Kiai Ageng Wiroyudo bin Raden Tumenggung Sontoyudo II bin Raden Tumenggung Sontoyudo I bin Raden Mas Ayu Sigit bin Kanjeng Ratu Mas Sekar bin Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Susuhan Adi Prabu Hanyakrawati Senopati ing Ngalaga Mataram (Sultan kedua Kesultanan Mataram Islam) bin Panembahan Senopati alias Danang Sutawijoyo alias Raden Ngabehi Loring Pasar yang merupakan Sultan pertama Kesultanan Mataram Islam. Banyak juga yang mempercayai bahwa K.H Hasan Mimbar masih keturunan Nabi Muhammad SAW dari garis keturunan Husain,
Penyebaran agama Islam di Tulungagung oleh K.H Hasan Mimbar diawali pada abad ke-18 M, saat itu Tulungagung masih bernama Ngrowo atau Bonorowo. Beliau diutus oleh Bupati Ngrowo kala itu Bupati Raden Ngabei Mangundirono atas perintah langsung dari Raja Mataram, Sinuhun Pakubuwono II. Sebab utusan menyiarkan Islam di Ngrowo, K.H Hasan Mimbar dihadiai sebidang tanah yang sampai saat ini dikenal dengan nama Desa Majan yang ada di Tulungagung.
Selain itu K.H Hasan Mimbar juga dihadiahi sebuah pusaka berupa golok oleh Sinuhun Pakubuwono II, yang sampai saat ini pusaka ini masih disimpan dengan nama Kiai Golok. K.H Hasan Mimbar kemudian memulai dakwahnya di tanah Ngrowo.
Penduduk Kadipaten Ngrowo kala itu sebenarnya sudah banyak yang memeluk Islam, namun tata cara ibadah mereka masih terpengaruh oleh tradisi dan adat Hindu, bahkan mereka juga masih melaksanakan upacara-upacara adat Hindu, kalau dizaman sekarang mungkin istilahnya Islam KTP.
Hal tersebut menjadi tantangan bagi K.H Hasan Mimbar, peran beliau disini adalah memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam keseharian masyarakat Ngrowo untuk upaya memisahkan ajaran-ajaran yang sesuai syariat Islam dan sekaligus K.H Hasan Mimbar melakukan syiar Islam dengan metode kajian kitab dan Al-Quran.
K.H Hasan Mimbar juga mengajarkan ajaran Tauhid, dengan berdzikir lailaha illallah serta mengedukasi masyarakat setempat tentang bagaimana sikap seorang hamba kepada tuhannya bahwa Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Esa. Penyebaran Islam oleh K.H Hasan Mimbar di Kadipaten Ngrowo rupanya terus berkembang hingga berdirilah sebuah masjid yang masih berdiri kokoh sampai sekarang dengan nama Masjid Al-Mimbar.
Tempat ibadah ini menjadi salah satu bukti keberhasilan dakwah K.H Hasan Mimbar. Keunikan masjid ini terlihat pada bentuknya yang limas dengan gerbang masuk masjid berupa gapura yang tersusun dari batu bata merah khas bangunan Kesultanan Mataram Islam.
Setelah sepeninggal K.H Hasan Mimbar, dakwah diteruskan oleh keturunannya hingga saat ini. K.H Hasan Mimbar dimakamkan di area Masjid Al-Mimbar di Desa Majan, Kecamatan Kedungwaru, Kabupaten Tulungagung. Pengaruh dakwah Islam K.H Hasan Mimbar di Tulungagung dapat diihat dari tradisi Grebeg Agung Maulud yang dilaksanakan setiap tanggal 12 Maulud atau bertepatan dengan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Grebeg bersala dari bahasa Jawa “Gambrebeg” atau bunyi keras. Sejarahnya kata grebeg ini tercipta ketika K.H Hasan Mimbar keluar dari pendapa untuk berdakwah bersama masyarakat Tulungagung di Masjid Al-Mimbar dengan ditandai dengan dikeluarkannya Kiai Golok pemberian Sri Sunuhun Pakubuwono II sebagai simbol dakwahnya di Kadipaten Ngrowo kala itu.
Menurut penuturan salah satu warga sekitar, Juretno menuturkan bahwa acara Grebeg Agung Maulud ini selalu dilaksanakan tiap tahunnya sebagai wujud syukur kepada Allah SWT dan sebagai pengingat perjalanan dakwah K.H Hasan Mimbar di Kota Tulungagung. “Grebeg Agung Maulud dilaksanakan setiap tanggal 12 Maulud bersamaan dengan peringatan Maulid Nabi.
Acaranya adalah kirab pusaka Kiai Golok oleh anggota dalem, diawali dengan dipikulnya bedug, kemudian arak-arakan dimulai dari gapura Sentono Dalem menuju Masjid Mimbar dengan diiringi seni beladiri dan rombongan hadroh”.
Masih dari penuturan Juretno, pusaka Kiai Golok dikirab menuju Masjid Mimbar dengan diirngi Sholawat Nabi untuk dimandikan atau disucikan. “Pemandian yang dimaksud disini bukan dimandikan dengan air ya, tetapi pusaka tersebut dikeluarkan dari peti kemudian dibacakan Shalawat Nabi untuk disucikan.
Jejak dakwah K.H Hasan Mimbar di Tulungagung sampai saat ini masih dilestariakn menjadi sebuah cerita sejarah turun-temurun. Dengan adannya peninggalan berupa Masjid Al-Mimbar serat makam beliau menjadi bukti kuat sejarah dakwah K.H Hasan Mimbar.
Meskipun sampai sekarang catatan sejarah mengenai sosok K.H Hasan Mimbar belum terpublish secara rinci, namun cerita sejarah ini dapat diperkuat dengan adanya keturunan-keturunan beliau yang sampai saat ini masih berdakwah dan melestarikan ajaran Islam di Masjid Al-Mimbar.
*) Mahasiswa UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung.