Keislaman

Ketika Iman Terancam: Dialektika Sunni dan Syiah tentang Taqiyyah

2 Mins read

Sejarah penafsiran Al-Qur’an selalu menyimpan keunikan dan keragaman pemahaman di kalangan para ulama. Salah satu ayat yang menarik untuk dikaji adalah surah Ali Imran ayat 28, yang membahas konsep taqiyyah atau upaya melindungi diri dalam kondisi tertekan. Perbedaan penafsiran antara aliran Sunni dan Syiah pada ayat ini menggambarkan betapa kompleksnya pemahaman keagamaan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor historis, politis, dan teologis.

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُوْنَ الْكٰفِرِيْنَ اَوْلِيَاۤءَ مِنْ دُوْنِ الْمُؤْمِنِيْنَۚ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللّٰهِ فِيْ شَيْءٍ اِلَّآ اَنْ تَتَّقُوْا مِنْهُمْ تُقٰىةًۗ وَيُحَذِّرُكُمُ اللّٰهُ نَفْسَهٗۗ وَاِلَى اللّٰهِ الْمَصِيْرُ ۝٢٨

“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai para wali dengan mengesampingkan orang-orang mukmin. Siapa yang melakukan itu, hal itu sama sekali bukan dari (ajaran) Allah, kecuali untuk menjaga diri dari sesuatu yang kamu takuti dari mereka. Allah memperingatkan kamu tentang diri-Nya (siksa-Nya). Hanya kepada Allah tempat kembali.” (QS. Ali Imran: 28)

Dalam penafsiran aliran Sunni, sebagaimana dijelaskan oleh Imam Al-Qurthubi dalam tafsirnya Al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Ali Imran ayat 28 ditafsirkan sebagai peringatan tegas untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai penolong atau pemimpin di atas orang-orang beriman. Penafsiran ini menekankan pentingnya solidaritas internal umat Islam dan larangan untuk terlalu dekat dengan kelompok di luar komunitasnya. Konsep taqiyyah dalam pandangan Sunni dibatasi pada upaya perlindungan diri yang sangat terbatas, yakni hanya diperbolehkan ketika nyawa terancam dan dengan syarat hati tetap teguh pada keimanan.

Hal ini sebagaimana dijelaskan Al-Qurthubi dalam tafsirnya dengan mengutip Ibnu Abbas, “Pada ayat ini Allah SWT melarang orang-orang yang beriman untuk berbaik-baik dengan orang-orang kafir, lalu menjadikan mereka para pemimpin dan penolong mereka.” Penafsiran Al-Qurthubi pada ayat ini banyak menggunakan riwayat dari Ibnu Abbas yang cenderung tegas dan sangat berhati-hati terkait dengan persoalan taqiyyah.

Baca...  Khutbah Jum’at: Akhlak Terhadap Allah SWT

Sementara itu, penafsiran aliran Syiah yang direpresentasikan oleh Al-Qummi membawa sudut pandang yang jauh berbeda. Bagi Syiah, taqiyyah bukan sekadar strategi bertahan, melainkan sebuah prinsip fundamental dalam kehidupan beragama. Konsep ini dikembangkan sebagai metode diplomasi keagamaan dan strategi bertahan dalam situasi marginalisasi. Dalam sejarah Syiah yang kerap mengalami tekanan politik dan keagamaan, taqiyyah menjadi instrumen penting untuk memelihara eksistensi komunitas dan melindungi ajaran-ajaran inti agama.

Kaum syiah akan secara jelas mengakui kepemimpinan yang saat itu tengah berdiri, namun mereka tetap menjaga ketaatan kepada para imam mereka di dalam hati. Ini adalah ajaran inti terkhususnya pada Syiah Imamiyah dalam kepemimpinannya Abu al-Hasan ‘Ali bin Ibrahim al-Qummi.

Perbedaan penafsiran ini tidak berhenti pada level teoritis saja, melainkan memiliki dampak praktis yang signifikan. Dalam aliran Sunni, taqiyyah dipahami secara sangat hati-hati dan terbatas, dengan penekanan pada upaya menjaga kemurnian akidah. Adapun dalam perspektif aliran Syiah, taqiyyah menjadi cara untuk menyembunyikan keyakinan sejati sambil tetap loyal pada  kepemimpinan spiritual internal mereka. Hal ini memungkinkan komunitas Syiah untuk bertahan dan berkembang di tengah-tengah tekanan sosial dan politik yang kerap mereka hadapi sepanjang sejarah.

Menariknya, meskipun memiliki perbedaan dalam penafsiran, kedua aliran memiliki titik temu mendasar. Keduanya sama-sama memahami taqiyyah sebagai upaya memelihara keimanan dan melindungi diri dalam situasi yang sulit. Perbedaannya terletak pada batasan dan kedalaman penerapan konsep tersebut. Aliran Sunni cenderung lebih ketat dan defensif, sementara Syiah mengembangkan konsep ini menjadi strategi bertahan yang lebih kompleks dan filosofis.

Perlu dipahami bahwa perbedaan penafsiran ini bukanlah sesuatu yang perlu dipertentangkan, melainkan kekayaan intelektual dalam tradisi keislaman. Setiap penafsiran lahir dari pergumulan sejarah, pengalaman sosial, dan konteks politik yang berbeda. Artikel ini tidak bermaksud untuk menghakimi atau membandingkan, melainkan mengajak pembaca untuk memahami kompleksitas penafsiran Al-Qur’an dengan sikap akademis dan saling pengertian.

Baca...  Tawaran Al-Jabiri: Model Pembacaan Turas Yang Ideal

Dengan demikian, surah Ali Imran ayat 28 menjadi cerminan nyata bagaimana Al-Qur’an dapat dipahami secara beragam, namun tetap memiliki spirit yang sama yaitu menjaga keimanan, melindungi diri, dan mempertahankan eksistensi spiritual di tengah berbagai tantangan kehidupan.

3 posts

About author
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Ampel Surabaya.
Articles
Related posts
KeislamanKisah

Memetik Hikmah Kisah Perjalanan Nabi Musa dan Nabi Khidir

4 Mins read
Salah satu nabi yang memiliki anugerah tubuh kuat dan gagah adalah Nabi Musa AS, beliau berasal dari kaum Bani Israil dan merupakan…
KeislamanPendidikan

Sumber Pengetahuan yang Sebenarnya

4 Mins read
Pada hakikatnya manusia sebagai mahkluk theomorfis mempunyai sesuatu yang agung didalam dirinya, yaitu akal—kehendak yang bebas (free will) dan kemampuan berbicara. Akal…
Keislaman

Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah (Analisis Pemahaman Ayat-Ayat Dakwah Muhammadiyah)

1 Mins read
Pendahuluan Muhammadiyah merupakan gerakan Islam, dakwah amar ma’rûf nahi munkar, dan tajdîd (pembaruan) baik dalam arti purifikasi (pemurnian) dan dinamisasi (pengembangan) berlandaskan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Verified by MonsterInsights