KULIAHALISLAM.COM – Pada tanggal 19 Desember 1948, Belanda secara mendadak menyerang Yogyakarta melewati Maguwo yang akhirnya bisa masuk kota. Itulah agresi militer Belanda ke-2. Perlawanan dari pihak kita waktu itu kecil, sebelum itu pasukan-pasukan TNI telah mengundurkan diri ke luar kota.
Komando kita yang ada di kota Yogyakarta ialah Komando Militer Kota (KMK). Komandannya Letkol latif Hendraningrat yang pada tanggal 17 Agustus 1945 menggerek bendera Merah Putih di Gedung Proklamasi.
Maka dengan sendirinya saya (Soeharto) tidak bisa mencampuri apa yang dilakukan di kota itu. Saya sebagai Komandan Brigade hanya mempersiapkan pertahanan di luar kota Yogyakarta. Yang ada di kota pada waktu itu hanya satu kompi, pengawal Kompi Brigade dan Pengawal Presiden.
Maka praktis pada waktu penghambatan terhadap serangan Belanda dari Maguwo terus ke kota itu dilakukan hanya satu kompi saja, yakni kompi pengawal pribadi saya. Saya menyadari tugas yang berat itu dalam keadaan tanpa pasukan.
Saya masih juga berusaha mengambat pasukan musuh yang bergerak. Saat itu Bung Karno dan Bung Hatta ditawan dan dikirim ke Parapat, Sumatra Utara. Saya masih bertahan hingga pukul dua atau tiga siang waktu itu. Kami masih sempat tembak-menembak dengan tentara Belanda di Selatan Sentul. Sewaktu tembak-menembak itu saya sungguh prihatin.
Bagaimana kecewanya rakyat Ibukota Yogyakarta menyaksikan Belanda dengan mudah masuk ke tengah kota. Mereka tentu tidak tahu bahwa saya tidak punya pasukan. Pasukan saya ada di Purworejo di daerah Barat.
Otak saya seakan berputar-putar, cari akal bagaimana caranya untuk mengembalikan kepercayaan rakyat Yogyakarta kepada TNI. Satu-satunya jalan adalah melakukan serangan balasan secepat mungkin ke Ibukota.
Dalam kesempatan itu saya pun menyadari, bahwa Yogyakarta adalah Ibukota Republik. Apa yang terjadi di Ibukota sangat besar pengaruhnya terhadap perlawanan di daerah lainnya. Begitu pula terhadap dunia luar. Ditengah suasana tembak-menembak dengan Belanda di kampung Nyutran pinggiran kota sebelah tenggara, secara kebetulan Kapten Widodo menghampiri saya.
Saya tahu bahwa Widodo itu Komandan Kompi dari Batalyon Sardjono yang ada di Purworejo. Saya (Soeharto) perintahkan padanya “Kamu segera lapor kepada Komandan Batalyon bahwa musuh ada di Yogyakarta, sekarang tarik seluruh Batalyon ke Yogyakarta. Segera susun sektor di Selatan Yogyakarta. Dan tunggu perintah saya sambil mempersiapkan untuk melaksanaan serangan umum ke kota itu dan tunggu petintah saya.”
Setelah Widodo berangkat, saya menuju Ngotho tempat Pos Komando Pertama yang telah ditentukan sebelumnya, memberi petunjuk pada staf untuk memindahkan Posko ke sebelah timur kali Opak di desa Segoroyo. Saya memutuskan, segera mengadakan konsolidasi, mendatang seluruh wilayah Yogakarta. Dengan pasukan kelompok kecil, saya terus berkeliling daerah.
Mayor Ventje Sumual saya tunjuk menjadi pemimpin di sektor Barat dengan tugas menghimpun, mengkonsolidasi semua pasukan yang bersenjata di daerahnya. Di utara ada Pasukam Militer akademi yang komandannya Kolonel Djatikusumo.
Karena pangkatnya lebih tinggi daripada pangkat saya, maka saya menunjuknya Kepala Staf saja dan Mayor Kasno untuk memimpin sektor Utara. Di sebelah timur saya tunjuk Mayor Soedjono dari batalyon saya sendiri untuk memimpin sebelah timur.
Sesudah persiapan beres dan saya tunjuk Letnan Marsudi dan wakilnya Letnan Amir Murtono untuk memimpin pasukan di kota Yogyakarta. Segera saya membuat rencana serangan umum pertama. Maksud saya bukan untuk menduduki melainkan untuk menunjukan kepada rakyat dan kepada Belanda bahwa TNI masih ada.
Maka serangan kami lakukan 30 Desember malam hari. Kami dihadang oleh pasukan Belanda, saya hampir saja terjepit, tetapi alhamdulilah saya bisa lolos. Kemudian kami terus lakukan serangan kepada Belanda. Saat menyetel radio siaran luar negeri bersama Purwadi terdengar perdebatan di PBB.
Belanda mengatakan “Belanda telah menguasai Yogyakarta, TNI sudah tidak ada”.
Hati saya melawan mendengar siaran itu, maka muncul keputusan dalam pikiran saya (Soeharto), kita harus melakukan serangan pada siang hari, suapaya bisa menunjukan pada dunia kebohongan si Belanda itu. Waktu itu tidak ada komunikasi antar pimpinan TNI. Pak Dirman sudah berada di dekat Jawa Timur. Mungkin sudah di Pacitan atau di desa Sobo.
Lalu saya putuskan, di pertengahan Februari mengadakan serangan terhadap pos-pos Belanda di luar kota untuk mengelabui perhatian tentara Belanda, seolah-olah kita tidak akan menyerang kota. Setelah itu, saya perintahkan setiap pasukan mempersiapkan diri untuk melaksanakan serangan umum.
Tujuan kita menyerang Belanda untuk menunjukan pada dunia bahwa TNI masih mampu mengadakan perlawanan. Di tengah ketegangan itu, istri saya melahirkan anak kami yang sulung yang kami beri nama Siti Hardijanti Hastuti (Tutut).
Kelahiran anak saya menambah semangat saya untuk berjuang. Pada malam 28 Februari 1949, kami dikejutkan bunyi ledakan dan tembakan yang cukup gencar, padahal tanggal 1 Maret akan kami lakukan serangan.
Serangan Umum 1 Maret 1949
Tepat pukul 06.00 pada tanggal 1 Maret 1949 bersama dengan dibunyikannya sirene akhir jam malam, yang telah saya tentukan sebagai tanda serbuan, terdengarlah tembakan yang gemuruh di seluruh kota. Belanda kaget. Dalam waktu yang singkat kami kuasai seluruh kota.
Bendera Merah Putih dikibarkan di Jalan Malioboro. Rakyat menyambut dengan pekikan “Merdeka”. Kami tahu, Kolonel Van Lengen meminta bantaun dari Semarang. Brigade Gajah Merah dimintanya datang di bawah pimpinan Kolonel Van Zanten.
Yogyakarta kami kuasai hingga tengah hari. Kemudian sewaktu Belanda mendapat bala bantuan dari Semarang. Saya perintahkan pasukan-pasukan untuk mundur. Saya perintahkan pasukan untuk menyerang pos-pos Belanda.
Serangan Umum 1 Maret pada siang hari itu kemudian kita beritakan ke luar negeri melewati Sumatra. Dari Sumatra berita itu lalu disiarkan ke chek-pointnya di Birma dan dari Birma diteruskan ke New Delhi dan terus menebar ke seluruh dunia serta menggentarkan sidang PBB. Kita beruntung masih memiliki pemancar radio di Playen (Wonosari).
Pemancar yang dipimpin Perwira AURI Boediardjo. Inilah yang memberitakan ke luar negeri. Karena marahnya, Belanda tanggal 09-10 Maret 1949 menyerang Wonosari secara besar-besaran. Dalam hati saya, saya tertawa karena dengan serangan itu Belanda masuk perangkap startegi saya.
Belanda tidak punya kekuatan yang cukup untuk pembersihan Wonosari. Untuk lebih membingungkan Belanda, saya siapkan Kompi Widodo dan Kompi Darsono. Saya pimpin sendiri bergerak ke Barat menyerang Bantar, Sleman, Kaliurang lalu menyerang Wonosari. Pada tanggal 5 April 1949, kami tiba di Imogiri dan Segoroyo. Tanggal 9 April 1949 barulah kami indah ke Bibis, mendekati kota.
Diingat kembali, serangan Umum 1 Maret itu merupakan bagian dari strategi perjuangan bangsa Indonesia pada umumnya, khususnya dari satuan yang bergabung dalam Wehrkeise III ketika itu, untuk mengusir penjajah Belanda dari Bumi Nusantara.
Jadi, peristiwa heroik itu tidak berdiri sendiri. Penyerangan kita itu sendiri mempunyai tujuan politis, militer maupun psikologis, karena kota Yogyakarta pada waktu itu Ibukota Negara Republik Indonesia.
Belakangan ini (akhir Oktober 1986) kami peringati lagi peristiwa penting itu dengan mengesahkan berdirinya Paguyuban Wehrkreise III Yogyakarta dan Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949.
Kami buat panji Paguyuban Wehrkreise dan saya menyerahkannya dalam upacara kekeluargaan yang dilangsungkan di rumah di Jalan Cendana kepada ketua umumnya, Sutopo Juwono.
Dibentuknya “Paguyuban Wehrkreise III” dan “Yayasan Serangan Umum 1 Maret 1949” ini sama sekali tidak untuk menonjol-nonjolkan diri atau menonjolkan para pelaku secara keseluruhan.
Kami membentuknya selain untuk mewariskan nilai-nilai sejarah dan perjuangan, juga sekaligus sebagai koreksi agar kesalahan-kesalahan dalam operasi perjuangan dulu itu tidak terulang lagi oleh pelaku dalam operasi-operasi militer di masa mendatang.
Belanda Meninggalkan Yogyakarta
Serangan Umum 1 Maret 1949 ternyata memang berpengaruh. Dewan Keamanan PBB mendesak Belanda yang angkuh itu untuk berunding dengan Indonesia dan menghentikan tembak-menembak.
Perundingan berjalan lagi dengan sebutan yang terkenal “Perundingan Roem-Royen”.
Sesuai dengan perjanjian Roem-Royen 7 Mei 1949, pasukan Belanda yang tadinya ada di ibukota RI harus meninggalkan Yogyakarta, dan pasukan RI dengan segenap aparat pemerintahanya kembali.
Tanggal 24 Juni 1949, Van Royen mengumumkan persetujuan penarikan tentara Belanda dari Yogyakarta sejak tanggal tersebut.
Pertemuan Soeharto dengan Sri Sultan
Soeharto menyamar masuk kota menemui Sri Sultan pada pertengahan buan Mei. Dalam perundingan dengan Sri Sultan, Soeharto menjelaskan pendirianya kepada Sri Sultan. Soeharto memandang bahwa Belanda tidak pernah berkuasa di Yogyakarta oleh karena itu tidak perlu ada upaca secara resmi Yogyakarta dari Belanda ke Indonesia.
Soeharto berkata pada Sri Sultan “saya berpegang teguh pada sikap, jangan sampai ada yang memandang, bahwa TNI itu tidak ada. Dan Polisi itu merupakan bagian kecil daripada satuan yang ada di kota Yogyakarta waktu itu, bahkan di bawah komando saya, karena saya membuat peraturan di sana.
Semua kekuatan bersenjata, kecil maupun besar waktu itu saya perintahkan bergabung dengan Wehrkreise III. Pada Brigade X saya katakan : Kalau bergerak sendiri-sendiri, akan saya lucuti.”
Begitulah Yogyakarta ditinggalkan oleh Belanda. Pemerintah RI kembai ke ibukotanya dengan disaksikan oleh pejabat-pejabat yang diundang. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta kembali di tengah kita di Yogyakarta. Kemudian menyusul Sjafrudin Prawiranegara, bekas ketua PDRI. Sidang Kabinet RI pun segera dilangsungkan.
Sumber : Soeharto, Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya yang dipaparkan oleh G. Dwipayana dan Ramadhan K.H
Walau ada sebagian sejarawan yang tidak berpendapat penggagas serangan umum 1 Maret adalah Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Jendral Besar Soedirman namun tidak dapat dipungkiri atau dilupakan fakta sejarah bahwa Jendral Besar Soeharto juga memiliki peranan besar dalam peristiwa itu.
Semua tokoh dalam peristiwa sejarah ini baik tokoh besar maupun kecil memiliki perananya masing-masing yang tidak layak dilupakan bangsa ini dan tidak layak mendewa-dewakan hanya tokoh tertentu saja.