Persoalan kepemimpinan adalah persoalan yang sangat penting dan strategis, karena sangat menentukan sebuah keluarga, masyarakat, dan bangsa. Oleh karena itu masalah ini menarik untuk dikaji lagi menurut perspektif Alquran.
Sebagian besar masyarakat memandang bahwa seorang perempuan yang menjadi pemimpin tidak layak karena mendahului kaum laki-laki, dan di lain pihak juga banyak yang juga menentang karena permasalahan gender.
Dalam realitas masyarakat bahwa perempuan yang bergerak dalam politik masih kurang. Karena banyak yang beranggapan bahwa seorang perempuan hanya mempunyai wewenang untuk menjadi seorang istri dan mendidik anak-anaknya di rumah.
Pada dasarnya Allah menciptakan manusia, baik laki-laki maupun perempuan, semata-mata bertujuan untuk mendarmabaktikan dirinya kepada-Nya. Islam datang membawa ajaran yang egaliter, persamaan, dan tanpa ada diskriminasi antara jenis kelamin yang berbeda sehingga laki-laki tidak lebih tinggi dari perempuan. Dengan demikian, Islam tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan, baik dalam hal kedudukan, harkat, martabat, kemampuan, dan kesempatan untuk berkarya.
Maka dalam hal ini kita harus memahami duduk persoalan kepemimpinan perempuan di dalam ajaran Islam, yang didukung oleh fakta-fakta peradaban manusia sejak dahulu hingga sekarang, dan tidak ada kitab fiqh yang mengatakan perempuan tidak boleh menjadi pemimpin di dalam rumah tangga.
Peran Perempuan
Pada dasarnya potensi yang dimiliki oleh perempuan sebagai makhluk religius, individu, sosial dan budaya sebenarnya tidak berbeda dengan laki-laki. Akan tentapi pada konteks pola dan gaya kepemimpinannya setiap orang pasti berbeda baik laki-laki maupun perempuan ada dua perbedaan kehidupan sosial yang nyata bagi laki-laki dan perempuan, lingkungan masyarakat sebagai tempat pertama bagi laki-laki, dan perempuanlah yang akrab dengan lingkungan rumah tangga hubungan di antara keduanya adalah tidak langsung.
Penafsiran yang diberikan kepada biologis perempuan menyebabkan kerugian mereka pada semua tingkat masyarakat bukan keadaan biologis mereka sendiri. Perempuan di manapun umumnya kurang dikenal dan kurang berwenang dalam adat. Penafsiran inilah yang mengikat mereka untuk hanya mengasuh anak-anak dan tetap dalam lingkungan rumah tangga.
Pandangan Islam Mengenai Kepemimpinan Perempuan
Berkaitan dengan nilai kesetaraan dan keadilan, Islam tidak mentolerir adanya perbedaan atau perlakuan diskriminasi di antara umat manusia. Berdasarkan surah Al-Ahzab ayat 35:
إِنَّ ٱلْمُسْلِمِينَ وَٱلْمُسْلِمَٰتِ وَٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتِ وَٱلْقَٰنِتِينَ وَٱلْقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلْخَٰشِعِينَ وَٱلْخَٰشِعَٰتِ وَٱلْمُتَصَدِّقِينَ وَٱلْمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلْحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَٱلْحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Artinya : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, 8 laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.
Dari ayat ini terlihat jelas bahwa Allah SWT. tidak membedakan antara laki-laki dan perempuan. Siapa saja di antara mereka akan mendapat ganjaran setimpal dengan apa yang telah mereka perbuat. Tidak ada perbedaan ataupun diskriminasi dalam hal ini
Mengenai boleh tidaknya perempuan jadi pemimpin, dapat dipahami menurut Abu Hanifah seorang perempuan dibolehkan menjadi hakim. Ketika perempuan diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan. Karena itu seorang perempuan juga boleh menjadi pemimpin.
Dilansir dari News Republika, ketua Majelis Ulama Indonesia, Ma’ruf Amin, mengatakan bahwa MUI Pusat belum pernah mengeluarkan fatwa tentang larangan perempuan menjadi pemimpin. Kepemimpinan wanita baik di level pemimpin tingkat atas (imamat al udhma) ataupun tingkat bawah. Sebab, persoalan kepemimpinan perempuan termasuk masalah yang diperselisihkan di antara ulama. “Terjadi perbedaan pendapat. Ada yang membolehkan dan ada yang melarang.” Sekalipun kelak dibahas di MUI, maka hasil akhirnya bisa dipastikan terjadi perbedaan.
Ketua Umum DD, A. Muiz Kabri, mengungkapkan pada awalnya memang menganggap seorang perempuan tidak bisa menjadi presiden. Tapi belakangan ini, ia berpikir bisa saja seorang perempuan menjadi presiden. Karena bukan dia sendiri yang mengurusi negara. Presiden mempunyai banyak staf-staf yang membantu dalam mengurus permasalahan negara (Ropi, 2003).
Pendapat yang membolehkan perempuan menjadi pemimpin negara juga datang dari Ahmadiyah. Naib Amir Ahmadiyah Indonesia, H. Sayuti Azis, memandang tidak ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, karena dalam pandangan Allah perbedaan itu terletak pada ketakwaan seseorang. Tidak ada masalah jika perempuan menjadi pemimpin negara.
Hal ini menurut Sayuti adalah juga keputusan Ahmadiyah Pusat di London. Sebab, ketika terjadi pro-kontra tentang boleh-tidaknya perempuan menjadi kepala negara, Ahmadiyah Indonesia langsung meminta fatwa dari London. Ternyata, pimpinan di sana tidak mempersoalkannya.
Yang penting, calon presiden perempuan tadi memang benar-benar mempunyai kemampuan dan memenuhi persyaratan.7 Selain itu sudah cukup banyak pos penting yang pernah dan sedang dipegang oleh kaum perempuan, seperti presiden, wakil presiden, menteri, hakim, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Gubernur dan jabatan-jabatan penting lainnya (Djazimah, 2011).
Referensi
Djazimah Muqoddas, S. H. (2011). Kontroversi Hakim Perempuan Pada Peradilan Islam di Negara-Negara Muslim. Lkis Pelangi Aksara.
News Republika, MUI tak Pernah Larang Pemimpin Wanita, diakses dari https://www.republika.co.id/berita/170321/mui-tak-pernah-larang-pemimpin-wanita, pada tanggal, 17 Juli 2024.
Ropi, I. (2003). Citra perempuan dalam Islam: pandangan ormas keagamaan. Gramedia Pustaka Utama.