(Sumber Gambar: Fitratul Akbar) |
Oleh: Fitratul Akbar*
KULIAHALISLAM.COM – Kemanusiaan sangat
beragam atau majemuk yang terdiri dari keragaman suku, ras, agama, wana kulit,
golongan, bahasa dan daerah. Kemajemukan atau pluralitas menjadi sesuatu yang
khas dan tidak dapat dipisahkan
dari segi kemanusiaan itu sendiri. Kemajemukan adalah seperti pelangi yang
berwarna warni. Kemajemukan adalah keserasian dan keindahan. Tuhan yang maha
kuasa, pasti memiliki tujuan,
ketika menciptakan manusia dalam kondisi yang beragam. Mustahil keragaman
manusia tanpa tujuan, kalau misalnya tujuan itu belum semuanya dapat ditangap
dan dipahami itu soal lain. Dalam beberapa ayat al–qur’an, dikatakan bahwa tujuan pluralitas mansia
adalah, Pertama sebagai tanda kebesaran Tuhan, (QS.Ar-Rum 30:20). Kedua, sebagai sarana berinteraksi dan
berkomunikasi antar sesama manusia. Ketiga, sebagai sarana manusia untuk
berlomba–lomba
dalam berbuat kebaikan dan kesejahteraan. Keempat, sebagai sarana untuk beramal
shaleh.(QS.Al-Ankabut 29:46).
Firman Allah swt dikutip di atas adalah menandaskan bahwa, umat islam melarang berbantahan dengan para penganut umat agama lain. Umat islam pun diperintahkan untuk
senantiasa menegaskan bahwa kita semua para penganut kitab suci yang
berbeda-beda itu, sama-sama menyembah Tuhan yang Maha Esa, dan sama-sama tunduk
dan menjalankan perintahnya Tuhan.
Bahkan biarpun
sekiranya kita mengetahui dengan pasti bahwa orang lain menyebah suatu objek sembahan yang bukan Allah yang Maha Esa, kita pun tetap dilarang untuk
berlaku tidak sopan terhadap agama lain. Menurut, al-qur’an, sikap demikian itu akan membuat mereka berbalik
menyerang dan melakukan tindakan zalim yang sama terhadap Allah yang Maha Esa.
Sebagai akibat dorongan rasa permusuhan terhadap mereka yang melakukan penyerangan pun, umat islam tetap
menjaga dan menjalin pergaulan yang baik sesama manusia atau agama lain.
Allah berfirman dalam
QS. Al-Maidah (5) ayat 48, yang berarti, “Seandainya Allah menghendaki tentulah
dia jadikan kamu sekalian (umat manusia menjadi umat yang tunggal. Tetapi
dibuat bermacam macam), agar dia menjadikan kamu sekalian dengan hal-hal (jalan
yang telah dianugerahkan kepada kamu itu). Maka berlomba-lombalah kamu sekalian
menuju kepada kebaikan. Dan hanya kepada Allah-lah tempat kembalimu. Kelak dia
akan menjelaskan kepadamu tentang hal-hal yang pernah kamu perselisihkan.[1]
Begitulah ajaran tentang
hubungan dan pergaulan berdasarkan pandangan bahwa setiap agama dengan cara dan
jalanya sendiri berjalan menuju kebenaran. Oleh karena itu, ekspresi
keberagaman yang terbuka atau inklusif pada setiap umat beragama adalah menjadi
kebutuhan yang terus-menerus dijaga dan dihayati dalam hidup bermasyarakat dan
benegara.[2]
Setiap agama tentu
mengajarkan nilai-nilai yang melahirkan norma atau perilaku para pemeluknya,
walaupun pada dasarnya sumber agama itu adalah nilai-nilai transenden. Jika
keyakinan ini dapat ditransformasikan secara positif, maka dapat membentuk
masyarakat kognitif, agama yang dapat menjadi pedoman dan petunjuk dalam berperilaku
dimasyrakat. Karena itu, agama tidak hanya berupa sistem kepercayaan belaka,
melainkan juga mewujud sebagai perilaku individu dalam sistem sosial yang
merangkul dan menjaga kedamaian di masyarakat.
Lebih lanjut, seperti
yang dikatakan Quraish Shihab bahwa, kebenaran agama pada hakekatnya berawal
dari sumber yang satu, atau menurut Huston Smith (1997), bahwa landasan
esoteris agama-agama itu sama.[3]
Gayung bersambut, semua
agama pada intinya sama dan satu, tetapi manifestasi sosio- kulturalnya
berbeda-beda. Cak Nur, menghendaki sejalan dengan seangat Al-Qur’an agar
fenomena lahiriah ini tidak menghalangi untuk menuju titik temu (common platfom)
antar semuanya. Islam, menurut, Cak Nur, adalah agama kemanusiaan, dengan cita-cita
kemanusiaan universal. Cak Nur, juga berpendapat bahwa cita-cita keislaman di
indonesia sejalan dengan cita-cita manusia indonesia pada umumnya. Oleh karena
itu, Cak Nur menyatakan bahwa sistem politik yang sebaiknya diterapkan di
indonesia adalah sistem yang tidak hanya baik untuk umat islam, tetapi juga
yang membawa kebaikan untuk semua anggota masyarakat indonesia. Cak Nur,
menyadari bahwa masyarakat indonesia sangat pluralistik, baik dari segi etnis,
budaya, suk, adat istiadat, maupun agama. Dari segi agama, sejarah menunjukkan
bahwa hampir semua agama, khususnya agama-agama besar dapat berkembang dengan
subur dan terwakili aspirasinya di indonesia.[4]
Menurut Asghar Ali
Enginee, keterbukaan, toleransi dan hormat terhadap agama-agama lain merupakan liberative element, elemen pembebasan
yang penting. Kalau diterima, bahwa elemen liberative merupakan bagian dari
pengalaman inti (core ekspresience) agama, sebagaimana yang dikatakan oleh A.Pleris, maka keterbukaan, toleransi dan
hormat terhadap agam-agama lain merupakan elemen penting untuk mewujudkan
penghayatan inti agama yang membesarkan itu. Dengan kata lain, agama-agama
dapat saling membantu untuk menghayati pengalaman nti agama masing-masing.
Artinya bahwa, dengan penghayatan agama yang liberatif, dimana umat islam tidak
hanya menjalankan ibadah ritual belaka, juga menjadi aktor yang menebar
kedamaian, kesejahteraan sesma manusia dimuka bumi.[5]
Kemajemukan Agama
Sebagai makhluk Tuhan, kita benar–benar menjadi manusia ketika napas atau
ruh Tuhan dihembuskan ke setiap diri kita. Karena itu, kita semua layak
diperlakukan secara setara dan bermartabat. Semua umat manusia, apapun
kepercayaan, ras, kelas dan kebudayaan mereka adalah setara. Seperti itulah
ujaran al–qur’an. Bukan hanya individu yang layak
mendapatkan rasa hormat. “Keberagaman
bahasamu dan warna kulitmu, demikian
kita membaca dalam Al–Qur’an, adalah tanda tandanya,(QS.Ar-Rum 30:22). Jadi, diskriminasi itu haram bukan
hanya atas nama warna kulit, melainkan juga atas nama bahasa dan kebudayaan. Al–Qur’an bersikukuh bahwa semua bahasa dan
kebudayaan itu sama, sama–sama
penting untuk menjaga keberagaman, dan harus dihargai secara setara pula.[6]
Lebih lanjut bahwa,
keberagaman dan perbedaan merupakan ciptaan Tuhan. Segala sesuatu mengada dalam bentuk
yang beragam dan berbeda-beda. Kemudian, bahwa keberagaman merupakan prasyarat
keberlangsungan hidup itu sendiri. Ketika
keberagaman surut, satu bahasa menghilang, satu kebudayaan di asImilisasikan kedalam kebudayaan lain,
flora dan fauna musnah, kita dan dunia pun ikut surut. Keberagaman memungkinkan
kita tetap ada dan hidup sejahtera dilingkungan dunia kita. Sama halnya,
keberagaman, memungkinkan kita bergaul satu sama lan, mengenali satu sama lain,
membantu satu sama lain. Seperti bunyi
Qur’an surah (Al–Hujurat (49)
ayat 13).[7]
Apakah yang bisa
ketahui satu sama lain, jika kita tingal dinegeri yang berbeda, dengan agama berbeda,
bahasa berbeda, dan bersama orang dari ras dan kebudayan yang berbeda? Jawab, Ziaudin
Sardar adalah, ini semua tampak sebagai elemen yang mendefinisikan identitas. Al–Qur’an mengatakan bahwa identitas itu
penting bagi kemampuan kita sebagai manusia untuk pertama–tama mengenal diri kita sendiri.
Kemudian, ketika sudah mengetahui diri kita sendiri sebagai makhluk Tuhan, kita bisa mengenal orang lain
setara sebagai sesama makhluknya. Hanya ketika sudah memiliki jati diri yang
mengakarlah kita bisa belajar bagaimana meluaskan kewajiban dan tanggung jawab
serta hak dan tugas kita sendiri kepada orang lain.[8]
Ada satu lagi elemen
yang tidak boleh kita lupakan dalam tujuan yang ditekankan Al–Qur’an dibalik keberagaman identitas
manusia. Kita belajar tentang dunia dan mengetahui tempat lahir kita, orang
disekitar tempat tinggal, keluarga masyarakat dan melalui asosiasi lebih luas
dan suku atau bangsa kita. Karena itu, perbedaan tempat, lingkungan, kebudayaan dan
elemen identitas yang berbeda merupakan bagian penting dari pengetahun–pengetahuan kita perlukan untuk menyayangi
seluruh ciptaan tuhan.
Tidak ada seorang pun yang bisa dan akan mengetahui segala sesuatu tetang
keberagaman dunia. Kita saling memerlukan dan juga membutuhkan perbedaan identitas,
pengalaman, dan pengetahuan
agar kita bisa bertahan hidup dan berjaya.
Al–Qur’an jelas menuntun kita untuk menerima,
menghargai dan belajar dari keberagaman identitas manusia serta kontribusi
positif yang diberikan keberagamaan itu bagi eksistensi manusia. Namun,
sebagaimana ditunjukkan sejarah, kerap ada kejutan yang membawa kita menjauhi
tuntunan itu. Kerentanan manusia membuatnya terlalu mencintai identitas dan
keberadaan dirinya sendiri. Akibatnya, ketimbang menghargai keberagaman, justru
keberagaman sebagai sumber rasa takut. Mempertahankan identitas kita sendiri menjadi
alasan untuk berperang, mendominasi, dan bahkan melenyapkan orang lain.[9]
[1]Ziaudin Sardar,
Ngaji Quran Dizaman Edan, Sebuah Tafsir Untuk Menjawab Persoalan Mutakhir, Hal
419-420.
[2]Ibid, Hal
420.
[3]Ibid,
Hal 421.
[4]Ibid,
Hal 422.
[5]Pluralitas
Agama, Kerukunan Dalam Keragaman, Ed Nur Ahmad, Hal 4.
[6] Ed Nur Ahmad,
Hal 4.
[7]Pluralitas Agama,
Kerukunan Dalam Keberagaman Ed Nur Ahmad, Hal:43.
[8]Ed, Nur Ahmad,
Hal 46.
[9]Hal 216, Nru
Ahmad, Pluralitas Agama, Kerukunan Dalam Keragaman.