Siapa yang tidak mengenal Bassam Tibi. Ia adalah seorang professor di bidang hubungan Internasional di Universitas Gottingen dan juga Guru Besar di Universitas Cornel. Ia di lahirkan di Damaskus pada 04 April 1944 keturunan dari keluarga Banu al-Tibi yang terkemuka di Damaskus. Sebelum pindah ke Jerman pada 1962, dia menempuh pendidikan di sekolah model Islam dan Barat. Bassam Tibi juga menyelesikan pendidikan menengah dengan gelar sarjana muda bidang bahasa Perancis.
Latar belakang akademisnya meliputi berbagai disiplin ilmu termasuk ilmu sosial, filsafat dan sejarah. Dia menerima doktor pertamanya pada tahun 1971 dari Universitas Goehte di Frankfrut. Di antara guru-gurunya semasa studinya di Frankfrut adalah Max Horkheimer dan Theodor W. adorno, Jurge Habermas dan Iring Fetcher. Tibi menerima Dr. Habilnya (Doktor luar biasa Jerman) dari Universitas Hamburg pada 1981.
Dengan demikian, tak mengherankan berkat dari pengalaman akademisnya baik di Amerika Serikat maupun di Jerman, pemikiran Bassam Tibi berkembang dan tumbuh secara matang. Tentu saja karena Bassam Tibi tampaknya dapat memanfaatkan pergaulan ilmiah di berbagai Universitas di dua Negara tersebut.
Rupanya, selain berkunjung ke Barat, Tibi juga melakukan perjalanan penelitian ke Timur Tengah. Perjalanan ini didukung oleh The Goethe Institute (Lembaga Kebudayaan Jerman). Walaupun lembaga ini tak terlihat dalam penelitian yang berkaitan dengan keahlian yang berhubungan dengan ilmu yang hubungan Internasional, namun amat berjasa dalam dialog intercultural. Dalam dialog dan diskusi yang disponsori oleh The Goethe Institute, telah memungkinkan Bassam Tibi untuk menguji tesa-tesa yang diajukannya.
Sebagai akademisi intelektual Bassam Tibi dikenal sebagai tokoh yang produktif dalam melahirkan karya-karya tulis baik dalam bentuk buku ataupun yang berbentuk artikel dan jurnal ilmiah. Karya-karya ilmiahnya pada umumnya ditulis dengan mengunakan bahasa Arab, Inggris dan Jerman. Ada juga buku-bukunya berkenaan seputar kajian peradaban Islam, politik Islam khususnya diwilayah Timur tengah.
Di antara bukunya: “The Challenge of Fundamentalisme. Political and the New World Disorder”, “The crisis of modern Islam. A Preindutrial Culture in the Scientific Technologi Age”, dan lainnya. Sementara bukunya yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah: “Islam dan Islamisme”, “Ancaman Fundamentalisme Rajutan Islam politik dan Kekacauan Dunia”, “Islam Kebudayaan dan Perubahan Sosial”.
Islamisme Bukan Islam
Islam berbeda dengan Islamisme, begitu tesis Bassam Tibi. Islam adalah iman, kehangatan spiritualitas, tata cara ibadah, nilai-nilai etis inklusif, dan nalar yang tercerahkan. Islam adalah kehangatan kemanusiaan. Islam “memeluk” beragam kebudayaan yang humanis.
Sebaliknya, kata Bassam Tibi, Islamisme berurusan dengan tatanan politik, tetapi politik yang diagamaisasikan. Islamisme adalah institusionalisasi politik dengan kepentingan dan agenda-agendanya, tetapi meminjam “baju Islam”. Jadi, Islamisme urusannya “merebut kekuasaan” dengan bendera Islam.
Tibi memberi, setidaknya, enam ciri Islamisme: pertama, memperjuangkan tatanan politik Islami; kedua, anti semit; ketiga, anti demokrasi (dianggap sistem thagut dan haram); keempat, formalisasi syariah; kelima, kampanye otentisitas dan kemurnian Islam sambil menunjuk sesama muslim yang tidak sepaham sebagai “yang tidak murni dan tidak otentik”; keenam, totalitarianisme.
Dari sini kita tahu bahwa, enam ciri tersebut, Islamisme ingin kebangkitan kembali Islam. Akan tetapi kata Tibi, upaya tersebut adalah tradisi yang dibuat-buat. Semua ciri-ciri dan karakteristik yang dibuat oleh kaum Islamis sebenarnya adalah “konstruksi baru, dibuat-buat, dan tidak sesuai dengan warisan sejarah Islam yang otentik”. Sekali lagi, Islamisme adalah salah satu tafsir atas Islam, bukan Islam itu sendiri. Islam memang menyiratkan nilai-nilai politik tertentu tapi tidak mensyaratkan suatu pemerintahan dengan Nizham Islami.
Konsep ummah dalam Islamisme berarti kewarganegaraan yang ada dalam sistem (nizham) Islami. Siapa pun orang Islam yang menolak sistem Nizham Islami, menolak formalisasi syariah dan mengkritik ajaran tentang kemurnian dan otentisitas Islam, akan dianggap “musuh Islam”. Dengan baju dan jargon-jargon Islami seperti dalam enam ciri diatas, maka kata Tibi, kaum Islamis akhirnya akan menjadi kelompok yang totaliter dan otoriter.
Islamisme ini, dalam praktiknya yang ekstrem, mewujud dalam bentuk organisasi dan kelompok-kelompok yang meneriakkan jihad, dalam “pengertian perang” terhadap siapa pun yang tidak sepaham dengan mereka. Bagi Tibi, Islamisme ini sangat berbahaya, karena bukan substansi Islam yang ingin mengembangkan budaya, kemanusiaan, dan ilmu pengetahuan, tetapi “kekuasaan Islam dengan ideologi politik yang berbeda dari ajaran Islam”.
Membuat tafsir atas Islam sah dan valid. Merasa merepresentasikan “kehendak tuhan” juga sah dan valid. Namun, yang memancing konflik pada aras sosial adalah “menghakimi orang lain yang berbeda sebagai sekutu Iblis” yang harus diperangi. Keyakinan personal dilindungi, tak ada yang bisa membatasi. Tetapi, ekspresinya di wilayah publik harus sesuai dengan kepatutan sosial, aturan hukum dan kesepakatan kita berbangsa-bernegara. Hal-hal inilah yang mau dilawan dan dirobohkan oleh kaum Islamis.
Jelasnya, dari sini kita paham bahwa, Bassam Tibi kelihatan sangat geram dengan kaum Islamis. Memang, tesis Tibi ini, Islamism and Islam (2012) bisa dikritik dari banyak sudut. Namanya karya ilmiah, pasti ada kelemahan-kelemahan, bias subjektifitas dan lain-lain. Tetapi dalam konteks Indonesia hari ini, jika melihat kelompok Islam yang aktif meneriakkan “sistem politik Islam (dalam pengertian formalisasi syariah), menolak demokrasi, menolak Pancasila, menolak keragaman dan heterogenitas tafsir atas Islam, menolak keragaman kekayaan budaya bangsa”, atau suka mengumbar ceramah-ceramah kebencian, segera saya teringat Bassam Tibi.
Syahdan, sulit dipungkiri, Islamisme yang dikampanyekan itu kini jadi salah satu biang keladi atas problem-problem sosial keagamaan di tanah air. Celakanya, kaum Islamis itu kini di depan rumah kita dan mau merobohkan rumah kita bersama. Wallahu a’lam bisshawaab.