Kita hidup di zaman yang penuh dinamika. Di satu sisi, perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan begitu pesat, namun di sisi lain, muncul berbagai tantangan serius dalam kehidupan beragama dan bermasyarakat.
Dua di antaranya adalah radikalisme dan sekularisme. Sekulerisme banyak dipahami sebagai ideologi yang memisahkan agama terhadap dunia, yang berarti kehidupan harus dijalankan tanpa campur tangan agama (Ashidqi & Gontor, 2014).
Agama dianggap tidak relevan dalam urusan sosial, ekonomi atau politik. Sedangkan paham radikalisme merupakan suatu bentuk dari ekspresi masyarakat dalam merespon permasalahan sosial, agama, dan politik secara berlebihan sehingga mengakibatkan muncul sikap yang di luar batas kewajaran manusia (Sainuddin et al., n.d.). Radikalisme kerap lahir dari pemahaman agama yang sempit dan tekstual tanpa mempertimbangkan konteks sosial atau realitas zaman.
Pertanyaan yang muncul adalah: bagaimana kita dapat menyeimbangkan antara pemahaman spiritual dalam berkehidupan sosial, ekonomi, maupun politik?. Ilmu kalam sebagai disiplin teologi Islam yang berfokus pada pemahaman rasional dan logis terhadap iman (Mukhlis, 2015), menawarkan pandangan yang relevan terhadap persoalan ini.
Melalui tulisan ini, mari kita cermati peran ilmu kalam dalam meredam gelombang sekularisme dan radikalisme, serta bagaimana ia menawarkan jalan tengah yang rasional dan moderat bagi masyarakat modern.
Radikalisme ditandai dengan sikap intoleran, eksklusif, dan penolakan terhadap perbedaan. Pemikiran ekstrem ini biasanya lahir dari pemahaman agama secara tekstual tanpa mempertimbangkan konteks. Teks tanpa konteks tidak akan bisa berjalan, memahami teks harus diiringi dengan konteks.
Jika tidak, hal ini menyebabkan sikap fanatik dan penolakan terhadap pemikiran yang berbeda. Jika seseorang memahami nilai-nilai Islam dengan pendekatan logis dan rasional, kemungkinan besar mereka akan lebih terbuka terhadap perbedaan dan tidak mudah terjerumus dalam pemahaman yang sempit.
Ilmu kalam menjadi jawaban terhadap sikap ekstrem ini yang menekankan sikap moderat dan inklusif. Ia tidak menolak akal, tapi juga tidak mengabaikan wahyu. Dengan cara berpikir yang logis, ilmu kalam membantu umat Islam memahami keimanan secara mendalam dan tidak hanya sekadar mengikuti secara buta.
Dalam realitas masyarakat modern, tidak sedikit individu mengalami keterasingan dari nilai-nilai spiritual dan tradisi agama. Keterasingan ini tumbuh seiring dengan menguatnya arus sekularisme, yang memandang bahwa agama tidak lagi relevan dalam dinamika kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik.
Pandangan ini melahirkan berbagai dampak negatif. Tanpa fondasi spiritual yang kuat, masyarakat yang terpengaruh oleh sekularisme cenderung mencari pelarian dalam hal-hal duniawi yang bersifat sementara. Dalam cara pandang yang sempit, sebagian pemikir sekuler menganggap bahwa beriman berarti menolak kemajuan, seolah-olah agama menjadi penghalang bagi perkembangan zaman.
Lebih dalam lagi, kehidupan modern acap kali membuat manusia kehilangan dzikrullah kesadaran akan kehadiran Tuhan. Akibatnya, muncul kekosongan batin yang tidak jarang berubah menjadi krisis spiritual. Inilah yang menjadikan ilmu kalam sangat relevan.
Dengan pendekatannya yang rasional, ia mampu menghadirkan pemahaman keagamaan yang tidak hanya logis, tetapi juga menyentuh aspek terdalam dalam diri manusia yakni spiritualitas. Dengan demikian, ilmu kalam dapat menjadi jembatan yang menghubungkan antara kebutuhan akan kemajuan dan kerinduan akan makna hidup yang lebih hakiki.
Ilmu kalam menegaskan bahwa keimanan tidak bertentangan dengan akal sehat dan kemajuan zaman. Justru sebaliknya, ia membuka ruang bagi keimanan untuk dikaji secara rasional dan berdampingan dengan sains serta modernitas.
Pendekatan ini penting agar agama tetap relevan dalam kehidupan masyarakat modern, tanpa mengorbankan prinsip-prinsip dasar keimanan. Para mutakallimin yakni para pemikir ilmu kalam dengan pendekatan logis dan rasionalnya, mampu menjembatani antara pemahaman keagamaan yang tradisional dan tantangan realitas sosial yang terus berkembang. Mereka membantu umat Islam memahami ajaran agamanya dengan cara yang kontekstual, menjadikan Islam tetap hidup di tengah dinamika zaman.
Lebih jauh, ilmu kalam menyediakan kerangka berpikir yang kokoh untuk memahami dan menanggapi pemikiran sekuler secara mendalam. Ia membuka ruang dialog antara keyakinan agama dan pemikiran sekuler dengan pendekatan yang logis, sehingga seseorang tetap bisa menjalankan ajaran agama tanpa harus merasa dibatasi kebebasan berpikir atau terasing dari perkembangan zaman.
Dalam konteks ini, masyarakat modern sangat membutuhkan keseimbangan antara kemajuan teknologi dan kebutuhan spiritual. Teknologi dipergunakan secara efektif untuk ladang dakwah dan penguatan iman, misalnya melalui kajian-kajian daring yang tersebar di berbagai platform digital seperti website dan YouTube. Upaya ini secara perlahan mampu mengikis pengaruh sekularisme yang ekstrem.
Ilmu kalam dapat berkontribusi signifikan dalam mengatasi kedua permasalahan tersebut melalui pendidikan yang menekankan kerohanian dan spiritualitas. Dengan memahami konsep-konsep utama dalam ilmu kalam, seperti tauhid (keesaan Tuhan) dan sifat-sifat Allah.
Masyarakat modern dapat mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang ketuhanan dan keimanan mereka, yang pada akhirnya akan memperkuat spiritualitas dan mencegah penyimpangan menuju ekstremisme dan sekulerisme.
Dengan demikian, ilmu kalam dapat menjadi alat yang efektif untuk menjaga keseimbangan antara keimanan dan perkembangan zaman, sehingga umat Islam dapat menjalankan ajaran agama dengan penuh keyakinan tanpa harus kehilangan relevansinya dalam masyarakat modern.
Referensi
Ashidqi, F., & Gontor, U. (2014). Problem Doktrin Sekulerisme (Vol. 12, Issue 2).
Mukhlis, F. H. (2015). MODEL PENELITIAN KALAM; TEOLOGI ISLAM (ILMU KALAM) AHMAD HANAFI. Dialogia, 13(2), 177–190. https://doi.org/10.21154/dialogia.v13i2.293
Sainuddin, I. H., Tinggi, S., Islam, A., Da’wah, D., & Makassar, W.-I. (n.d.). Moderasi Beragama dan Radikalisme di Era Modern.