Keislaman

Iman di Ujung Tanduk: Menguak Rahasia Taqiyyah dan Batasan Paksaan (Ikrah) dalam Kitab Jami’ li Ahkam Karya Al-Qurthubi

5 Mins read

Mengapa Iman Tak Bisa Dipaksa? Pelajaran dari Surah An-Naḥl Ayat 106

​Ayat dan Terjemahan:

مَنْ كَفَرَ بِاللّٰهِ مِنْۢ بَعْدِ اِيْمَانِه اِلَّا مَنْ اُكْرِهَ وَقَلْبُه مُطْمَىِٕنٌّۢ بِالْاِيْمَانِ وَلٰكِنْ مَّنْ شَرَحَ بِالْكُفْرِ صَدْرًا فَعَلَيْهِمْ غَضَبٌ مِّنَ اللّٰهِۗ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيْمٌ

“Barang siapa kafir kepada Allah setelah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekufuran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan mereka akan mendapat azab yang besar.” (QS. An-Naḥl: 106)

​Di tengah tantangan hidup yang ekstrem, adakalanya manusia dihadapkan pada pilihan yang menakutkan: menjaga nyawa atau mempertahankan keimanan secara lahiriah. Dalam Islam, konsep untuk mengatasi dilema ini dikenal dengan istilah Taqiyyah.

​Konsep ini adalah sebuah keringanan (rukhshah) yang diberikan kepada seseorang untuk menyembunyikan keimanan, atau bahkan mengucapkan kekufuran, karena berada di bawah ancaman atau paksaan keras (ikrah).

​Jauh dari kesan kontroversial yang sering disematkan, hukum taqiyyah sejatinya adalah manifestasi nyata dari rahmat dan kemudahan Allah Ta’ala terhadap hamba-Nya. Konsep ini menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang realistis, menghargai nyawa, dan tidak membebani hamba-Nya di luar batas kemampuan.

​Dasar Hukum: Kisah ‘Ammār bin Yāsir dan An-Naḥl 106

​Ayat fundamental yang menjadi sandaran utama hukum taqiyyah adalah firman Allah dalam Surah An-Naḥl ayat 106 di atas. Ayat yang agung ini memiliki latar belakang historis yang sangat mengharukan dan heroik, berkaitan langsung dengan sahabat Nabi Muhammad SAW, ‘Ammār bin Yāsir.

​Kisah Keluarga Yāsir

​Di masa awal Islam, ‘Ammār bersama ayahnya, Yāsir, dan ibunya, Sumayyah, termasuk di antara tujuh orang pertama yang terang-terangan menampakkan keislaman mereka di Makkah. Mereka menjadi sasaran penyiksaan yang kejam oleh kaum musyrik Quraisy.

​Dalam cobaan yang mengerikan itu, Sumayyah diikat, disiksa, dan akhirnya ditikam dengan tombak hingga syahid. Ia menjadi syahidah (wanita syahid) pertama dalam Islam. Suaminya, Yāsir, juga menyusul syahid tak lama kemudian.

​Adapun ‘Ammār, ia dipaksa mengucapkan kata-kata kekufuran dengan lisannya—sebuah tindakan yang ia lakukan karena tidak tahan menahan siksaan. Dalam keadaan sedih dan takut, ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW.

Baca...  Rahasia-rahasia Puasa Menurut Imam Al-Ghazali

​Rasulullah SAW kemudian bertanya kepadanya: “Bagaimana engkau mendapati hatimu?”

​‘Ammār menjawab dengan penuh keyakinan: “Tenang dengan iman.”

​Mendengar jawaban yang menenangkan itu, Rasulullah SAW bersabda: “Jika mereka kembali (memaksamu), maka lakukan kembali (apa yang mereka paksa).”

​Inilah esensi taqiyyah: yang terpenting adalah ketenangan iman di dalam hati, sementara lisan dan perbuatan lahiriah yang dilakukan di bawah paksaan dimaafkan karena Allah melihat niat yang murni dan hati yang teguh.

​Batasan dan Penerapan Hukum Pemaksaan (Ikrah)

​Setelah Allah memberikan keringanan yang luar biasa dalam perkara pokok syariat, yaitu kekufuran, para ulama kemudian mengqiyaskan (menganalogikan) seluruh cabang syariat lainnya pada keringanan ini.

​Intinya, setiap hukum syariat yang dilanggar di bawah paksaan, pelakunya tidak berdosa dan konsekuensi hukumnya tidak berlaku. Hal ini didukung oleh hadis masyhur Nabi Muhammad SAW:

​”Diangkat (tidak dihukum) dari umatku kesalahan, kelupaan, dan apa yang mereka lakukan karena dipaksa.”

​Hukum Konsekuensi Kufur di Bawah Paksaan

​Para ulama sepakat bahwa orang yang dipaksa mengucapkan kekufuran tidak berdosa jika hatinya tetap beriman. Lebih lanjut, konsekuensi hukum duniawi tidak berlaku bagi orang tersebut, yaitu:

  1. ​Istri tidak dianggap bercerai (talaq tidak jatuh).
  2. ​Ia tidak dihukumi sebagai orang kafir (murtad).

​Pendapat yang bertentangan—seperti pendapat Muhammad bin al-Ḥasan (murid Abu Hanifah) yang menghukumi murtad secara lahiriah dengan konsekuensi istri terpisah atau tidak disalatkan jika meninggal—dianggap tertolak berdasarkan keumuman Surah An-Naḥl ayat 106 dan hadis nabi.

​Keringanan (Rukhshah) pada Perkara Lain

​Para ulama berbeda pendapat mengenai perluasan keringanan ini pada perbuatan selain ucapan, tetapi mayoritas cenderung pada kemudahan:

  1. ​Meninggalkan Salat, Puasa, atau Minum Khamar: Dosanya dihapus. Para ulama berpendapat bahwa ucapan dan perbuatan memiliki hukum yang sama dalam kondisi dipaksa, selama keimanan tetap tersembunyi.
  2. ​Sujud kepada Selain Allah: Boleh dilakukan demi menyelamatkan diri. Ini dianalogikan dengan salat sunah di atas kendaraan pada saat perjalanan (yang tidak harus menghadap kiblat).
  3. ​Pernikahan: Akad pernikahan yang dilakukan di bawah paksaan adalah batal (tidak sah), karena akad tersebut cacat sejak awal akibat kurangnya kerelaan kedua pihak.
  4. ​Jual Beli (Zalim): Jual beli yang dilakukan oleh seseorang karena dipaksa secara zalim (tidak adil) untuk menjual hartanya adalah tidak sah dan tidak mengikat. Penjual yang dipaksa berhak mengambil kembali barangnya. Hal ini merupakan kesepakatan ulama (ijma‘).
Baca...  Suci Atau Tetap Manusia? Cara Al Qurthubi Menjelaskan ‘Ismah Para Nabi

​Talak (Perceraian) Orang yang Dipaksa: Perbedaan Pendapat

​Mengenai talak yang diucapkan di bawah paksaan, terdapat perbedaan pendapat yang signifikan:

  1. ​Mayoritas Ulama (Mālik, Asy-Syāfi‘ī): Mereka berpendapat talak tersebut tidak berlaku. Alasannya, orang yang dipaksa tidak ridha dan tidak memiliki niat untuk menjatuhkan talak, sehingga talaknya batal. Pendapat ini didukung oleh ‘Umar bin al-Khaṭṭāb, ‘Alī bin Abī Ṭālib, dan Ibn ‘Abbās.
  2. ​Ulama Kufah (Abu Hanifah): Mereka berpendapat talak tersebut tetap berlaku dan sah. Abu Hanifah berhujah bahwa dalam kasus ini, yang hilang hanyalah unsur keridaan. Menurutnya, keridaan bukanlah syarat wajib dalam talak. Ia menganalogikan talak orang yang dipaksa dengan talak orang yang bercanda atau bersenda gurau, yang mana talaknya tetap dianggap sah. Namun, analogi ini banyak dibantah oleh mayoritas ulama yang menegaskan bahwa orang yang bercanda tetap memiliki niat (meski main-main), sementara orang yang dipaksa sama sekali tidak memilikinya.

​Batas Keringanan: Perkara yang Tidak Diberi Keringanan

​Meskipun Islam memberikan keringanan yang luas, terdapat batas-batas tegas di mana taqiyyah tidak berlaku. Pada kasus-kasus ini, seorang muslim wajib memilih bersabar meskipun nyawa menjadi taruhannya:

  1. ​Membunuh Orang Lain: Siapa pun yang dipaksa membunuh seorang muslim, tidak boleh melakukannya. Ia wajib bersabar dan tidak boleh menyelamatkan dirinya dengan mengorbankan nyawa orang lain.
  2. ​Melanggar Kehormatan: Tidak boleh melanggar kehormatan muslim, termasuk dengan memukul atau bentuk pelanggaran fisik lainnya.
  3. ​Zina: Meskipun ada perbedaan pendapat, pandangan yang kuat dari mayoritas ulama (seperti Mutharrif, Aṣba‘, dan Al-Ḥasan) menyatakan tidak boleh melakukan zina meskipun diancam bunuh. Jika ia melakukannya, ia tetap wajib dikenai hukuman had (cambuk atau rajam).

​Keutamaan Memilih Kesabaran (Azīmah)

​Selain keringanan (rukhshah), syariat juga memuji pilihan yang lebih mulia, yaitu kesabaran (azīmah).

Baca...  Menyingkap Makna QS. At-Takwir Ayat 29 dalam Perspektif Syiah dan Mu’tazilah

​Para ulama sepakat bahwa bagi orang yang dipaksa mengucapkan kekufuran, memilih bersabar dan menghadapi kematian demi menjaga keimanan adalah lebih utama dan pahalanya lebih besar di sisi Allah.

​Hal ini didukung oleh kisah umat-umat terdahulu yang tetap teguh dalam keimanan meskipun digali lubang dan dipasangi gergaji di kepala mereka hingga terbelah dua. Kesabaran dan keteguhan ini dipuji Allah dan dijanjikan tempat di surga.

​Batasan Pemaksaan (Hadd al-Ikrah)

​Lantas, sejauh mana ancaman dianggap sebagai pemaksaan yang menggugurkan hukum? Batasan ini berbeda-beda di kalangan ulama:

  1. ​Pemaksaan Berat: Ancaman pembunuhan, pemotongan anggota tubuh, dan penyiksaan hebat disepakati sebagai pemaksaan.
  2. ​Pemaksaan Sedang: Pukulan yang menyakitkan, diborgol, dan dipenjara yang menimbulkan kesempitan juga dianggap pemaksaan (ikrah) menurut Imam Mālik dan para pengikutnya, bahkan jika tidak mengancam nyawa secara langsung.
  3. ​Ancaman Harta: Pendapat yang kuat menyatakan bahwa membela harta itu seperti membela diri (diperbolehkan). Sehingga, pemaksaan karena ancaman perampasan harta (terutama oleh penguasa zalim) dapat menggugurkan hukum, misalnya dalam kasus sumpah palsu karena terpaksa.

​Penutup: Rahmat di Balik Keadilan

​Hukum taqiyyah dalam Islam bukanlah sekadar izin untuk berbohong atau berkhianat, melainkan sebuah mekanisme perlindungan jiwa dan martabat manusia di bawah tekanan yang ekstrem.

​Ayat An-Naḥl ayat 106 secara tegas membedakan antara orang yang dipaksa—namun hatinya tetap tenang dengan iman—dengan orang yang meluaskan dadanya untuk kekufuran yang dijanjikan murka dan azab besar. Ini membuktikan bahwa inti dari keimanan selalu terletak pada niat dan ketenangan hati, bukan sekadar ucapan lisan yang dipaksakan.

​Sejatinya, hukum taqiyyah adalah keadilan Ilahi. Ia memberikan keringanan bagi yang lemah (rukhshah) sembari menjunjung tinggi keutamaan kesabaran dan kemuliaan bagi yang mampu bertahan (azīmah). Ia adalah bukti kemanusiaan dalam syariat Islam.

​Referensi: Diringkas dan diolah dari Kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Imam Al-Qurthubi.

2 posts

About author
Mahasiswa
Articles
Related posts
Keislaman

Kemaksuman Ahlul Bait dalam Tafsir Majma‘ Al-Bayān: Analisis Isi dan Validitas Metodologis

4 Mins read
Pembahasan mengenai kemaksuman Ahlul Bait (ʿiṣmah al-ahl al-bayt) merupakan salah satu tema paling sentral dalam teologi Syiah Imamiyah. Salah satu rujukan tafsir…
Keislaman

Melihat Al-Qur’an dari Sudut Baru: Mukjizat Abadi dalam Bahasa, Sains, dan Hikmah yang Tak Tertandingi

2 Mins read
Al-Qur’an tidak hanya sekadar kitab suci bagi umat Islam, tetapi juga sebuah mukjizat abadi yang terus mengundang decak kagum dari berbagai kalangan,…
KeislamanTafsir

Tafsir An-Nisa 159: Legitimasi & Kesaksian Nabi Isa atas Risalah

3 Mins read
وَإِن مِّنۡ أَهۡل ٱلۡكِتَٰب إِلَّا لَيُؤۡمِنَنَّ بِهِۦ قَبۡل مَوۡتِهۦۖ وَيَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَة يَكُون عَلَيۡهِم شَهِيدَ “Dan tidak ada seorang pun dari Ahli Kitab…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Keislaman

Melihat Al-Qur’an dari Sudut Baru: Mukjizat Abadi dalam Bahasa, Sains, dan Hikmah yang Tak Tertandingi

Verified by MonsterInsights