Opini

HSN 2025: Momentum Refleksi dan Aksi

4 Mins read

HSN 2025: momentum refleksi dan aksi. Ketika Republik ini menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional satu dekade lalu, sebagian orang menganggapnya sekadar seremoni kultural: penghormatan bagi kaum bersarung yang dahulu ikut menyalakan api perlawanan. Tapi tema Hari Santri 2025 “Mengawal Indonesia Merdeka Menuju Peradaban Dunia” menyiratkan sesuatu yang jauh lebih mendalam daripada nostalgia historis. Ia adalah pergeseran paradigma: dari santri sebagai penjaga tradisi menjadi santri sebagai arsitek peradaban.

Pertanyaannya: peradaban seperti apa yang hendak dikawal, dan bagaimana kemerdekaan bisa tetap hidup dalam derasnya arus global yang tak lagi mengenal batas?

Sejarah mencatat, seruan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945 bukan hanya peristiwa keagamaan, tapi juga pernyataan politik-kebangsaan yang menyatukan nilai iman dan cinta tanah air. Santri kala itu tidak sedang memperjuangkan ideologi, melainkan martabat: mempertahankan kemerdekaan yang baru lahir dari cengkeraman kolonialisme.

Namun delapan puluh tahun kemudian, medan jihad itu berubah. Musuhnya bukan lagi tentara kolonial, melainkan bentuk-bentuk baru penjajahan: hegemoni digital, ketimpangan ekonomi global, kemiskinan literasi, bahkan kolonialisasi budaya yang halus. Di sinilah makna “mengawal kemerdekaan” menemukan relevansi barunya. Ia bukan sekadar menjaga batas geografis, tetapi menjaga jiwa kemerdekaan-kebebasan berpikir, beriman, berkreasi-dari pengaruh destruktif globalisasi.

Dalam kerangka ini, santri seharusnya tidak berhenti sebagai benteng moral bangsa, tetapi melangkah lebih jauh menjadi agen peradaban. Jika dulu mereka melawan penjajah dengan bambu runcing, kini mereka perlu melawan kebodohan, kemalasan berpikir, dan krisis etika dengan pena, riset, dan kreativitas.

Santri di Persimpangan Globalisasi

Tema “menuju peradaban dunia” memberi isyarat bahwa pesantren tidak boleh hanya berpikir dalam lingkup nasional. Indonesia yang merdeka tidak cukup sekadar berdaulat secara politik; ia harus berdaulat dalam narasi global. Maka santri mesti tampil bukan hanya sebagai ustadz di kampung, tetapi juga sebagai intelektual di dunia digital, sebagai pemikir yang mampu memperkenalkan nilai-nilai Islam Nusantara yang toleran, ramah, dan membumi-ke forum global.

Baca...  Menjadi Mahasiswa Apoteker, Menjadi Manusia

Sayangnya, narasi semacam ini jarang disentuh media. Sebagian pemberitaan Hari Santri berhenti pada ritual dan seremoni. Padahal, tantangan sesungguhnya terletak pada bagaimana pesantren bisa mengintegrasikan warisan klasik dengan kebutuhan dunia modern. Kitab kuning tidak harus ditinggalkan, tetapi harus dibaca ulang dalam terang zaman: bagaimana Imam Ghazali berbicara tentang etika ilmu di tengah era kecerdasan buatan, bagaimana Ibnu Khaldun tentang sosiologi bisa berdialog dengan teori modern tentang perubahan sosial.

Pesantren memiliki kekayaan epistemik luar biasa tafaqquh fi al-din (pendalaman agama) yang melahirkan kedalaman moral. Namun kedalaman tanpa keterbukaan bisa berakhir pada isolasi. Di titik inilah “mengawal kemerdekaan” juga berarti membebaskan diri dari belenggu eksklusivitas keilmuan.

Kemerdekaan, sebagaimana ditulis Bung Hatta, bukanlah hasil, melainkan proses yang terus diperjuangkan. Ia bukan benda mati yang bisa diwariskan, melainkan napas yang harus dijaga agar tetap hangat. Begitu pula kemerdekaan bangsa ini: ia bisa membeku jika tidak terus dikawal dengan kesadaran kritis.

Santri dipanggil bukan hanya untuk mensyukuri kemerdekaan, tetapi untuk memastikan bahwa kemerdekaan itu bekerja bagi semua. Dalam masyarakat yang masih dililit kemiskinan struktural, ketimpangan pendidikan, dan krisis moral, santri harus menjadi nurani publik bukan dalam pengertian moralistik yang menggurui, tapi sebagai suara penyeimbang di tengah euforia kemajuan.

Kemerdekaan yang tidak diawasi akan berubah menjadi anarki. Kemajuan tanpa nilai akan menjelma kekosongan. Maka tugas santri hari ini bukan lagi mengusir penjajah dari luar, tetapi menundukkan hawa nafsu penjajahan dari dalam: keserakahan, ego sektoral, dan penyembahan terhadap materi. Nabi Muhammad Saw pernah bersabda, “Jihad terbesar adalah melawan hawa nafsu sendiri.” Di era pasca-modern ini, jihad itu menemukan bentuknya: jihad melawan kebodohan dan ketidakadilan struktural.

Antara Tradisi dan Transformasi

Salah satu kekuatan pesantren adalah kemampuannya mempertahankan kontinuitas di tengah perubahan. Ia tidak menolak zaman, tapi tidak juga larut di dalamnya. Dalam bahasa KH. Hasyim Asy’ari, al-muhafazhah ‘ala al-qadim al-shalih wal akhdzu bi al-jadid al-ashlah menjaga yang lama yang baik, dan mengambil yang baru yang lebih baik.

Baca...  Sumpah Pemuda: Inspirasi Abadi, Aksi Tanpa Henti

Namun dalam praktiknya, keseimbangan ini sulit dijaga. Banyak pesantren yang masih tertinggal dalam literasi digital, manajemen pendidikan, dan inovasi ekonomi. Padahal “menuju peradaban dunia” tidak bisa dilakukan tanpa infrastruktur ilmu dan teknologi. Di sinilah diperlukan tafsir baru atas konsep ijtihad: keberanian menafsir ulang konteks agar nilai-nilai lama tetap hidup di dunia baru.

Bayangkan jika pesantren menjadi pusat inovasi sosial tempat di mana santri memadukan kitab kuning dengan riset teknologi terapan, menulis jurnal akademik berbahasa Arab-Inggris, membangun aplikasi dakwah etis, mengembangkan ekonomi pesantren berbasis wakaf produktif. Maka barulah “peradaban dunia” bukan jargon, melainkan kenyataan.

Menjadi bagian dari peradaban dunia bukan berarti larut dalam imitasi Barat, melainkan menawarkan nilai tandingan yang memuliakan manusia. Dunia saat ini sedang mengalami kekosongan spiritual kemajuan teknologi tidak selalu diiringi kemajuan moral. Di tengah krisis global itu, pesantren bisa menjadi oase: sumber nilai yang mengajarkan kesederhanaan, keikhlasan, dan keseimbangan antara akal dan rasa.

Santri memiliki bekal itu. Tradisi riyadhah (disiplin spiritual), tawadhu’ (rendah hati), dan ukhuwah (persaudaraan) adalah nilai universal yang bisa menjawab krisis global: keserakahan ekonomi, dehumanisasi teknologi, hingga alienasi sosial. Maka, jika santri mampu berbicara dalam bahasa dunia -bukan hanya bahasa lokal mereka akan membawa “Islam yang tersenyum” ke ruang global.

Namun, globalisasi juga menyimpan jebakan: kehilangan identitas. Karena itu, santri perlu menapaki dua jalan sekaligus menjejak di bumi pesantren, dan menatap cakrawala dunia. Tanpa akar, ia hanyut; tanpa sayap, ia terkurung.

Ruang Baru Jihad Santri

Ada satu aspek yang sering luput dibahas setiap Hari Santri: ekonomi dan teknologi. Padahal, dua hal ini adalah tulang punggung “peradaban dunia”. Santri tidak boleh berhenti di menara gading moralitas; ia harus turun ke gelanggang ekonomi dan teknologi untuk memastikan keadilan sosial yang nyata.

Baca...  Papua Tanah Perdamaian: Peran Pemuka Agama dalam Merawat Toleransi

Banyak pesantren kini mulai merintis koperasi digital, e-commerce berbasis wakaf, hingga start-up sosial. Langkah ini penting, sebab kemerdekaan sejati menuntut kemandirian ekonomi. Sebagaimana dikatakan KH. Ahmad Dahlan, “Agama tanpa ilmu dan kerja hanyalah khayal.” Begitu pula pesantren: tanpa inovasi, ia akan menjadi museum, bukan mercusuar.

Santri abad ke-21 perlu memahami coding sebagaimana ia memahami nahwu-sharaf; perlu membaca algoritma sebagaimana ia membaca tafsir. Di sinilah ruang peradaban baru terbuka: ketika nilai dan teknologi berpelukan, bukan bertentangan.

Peradaban dunia yang hendak dituju bukanlah peradaban yang sekadar canggih, tapi yang manusiawi. Dunia modern kerap menempatkan manusia sebagai angka, bukan jiwa. Maka tugas santri bukan hanya mencerdaskan, tapi memanusiakan. Santri harus menjadi jembatan antara modernitas dan moralitas, antara rasionalitas dan spiritualitas.

Dalam konteks ini, Indonesia bisa menjadi contoh dunia. Islam Nusantara yang lahir dari rahim pesantren adalah model Islam yang tidak menakutkan, tapi menenangkan; tidak konfrontatif, tapi dialogis. Bila itu dikawal dengan kesungguhan, bukan mustahil pesantren menjadi laboratorium peradaban global: tempat di mana agama dan kemanusiaan berpadu dalam harmoni.

Tema Hari Santri 2025 seharusnya tidak berhenti di spanduk atau pidato upacara. Ia mesti menjadi gerakan kebudayaan. Mengawal kemerdekaan berarti memastikan rakyat merdeka dari kemiskinan dan kebodohan. Menuju peradaban dunia berarti membangun masa depan dengan ilmu, akhlak, dan inovasi.

Santri hari ini tidak lagi cukup menjadi penonton sejarah. Ia harus menjadi penulisnya. Sebab di tangan merekalah, kemerdekaan dijaga bukan dengan senjata, melainkan dengan pena, etika, dan karya.

Dan jika suatu saat dunia menatap Indonesia sebagai teladan peradaban yang damai, mungkin mereka akan menyadari: di baliknya, ada doa yang tidak pernah padam dari langgar-langgar kecil pesantren. Di sanalah kemerdekaan dijaga sunyi, tapi pasti.

13 posts

About author
Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum, Universitas Islam Malang dan Alumni PP Darurrahman, Pangarangan, Sumenep, Alumni PP Nurul Jadid, Paiton, Probolinggo.
Articles
Related posts
Opini

Sumpah Pemuda: Inspirasi Abadi, Aksi Tanpa Henti

2 Mins read
Sumpah pemuda: inspirasi abadi, aksi tanpa henti. Kawan, izinkan saya berbagi pandangan mengenai Sumpah Pemuda, namun dengan gaya santai, layaknya sedang menikmati…
Opini

Agama, Marxisme, dan Pertarungan Besar Zaman Ini

3 Mins read
Agama, marxisme, dan pertarungan besar zaman ini. Di dunia hari ini, kita sering dipaksa memilih: mau jadi orang beragama atau jadi kritikus…
Opini

Waktu, Takdir, dan Kebebasan Manusia

3 Mins read
Waktu, takdir, dan kebebasan manusia. Kadang saya heran, kenapa banyak orang bisa begitu pasrah pada kata takdir, tapi di saat yang sama…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

×
Berita

Syaqia Rahmani, Siswa SD Muhammadiyah Gilipanda Kota Bima Raih Juara 3 Lomba Menulis Aksara Mbojo Tingkat Propinsi

Verified by MonsterInsights