(Sumber Gambar: Redaksi Kuliah Al-Islam) |
Selain itu, manusia-manusia yang memiliki jiwa membusungkan dada, memuja-muja dan membanggakan harta, tahta kuasa yang ia dapat raih, ia usahakan dan melalui cara apapun itu. Seolah-olah, manusia yang mendapat karunia tersebut berasal dari usaha keringat dirinya, pemberian dari keluarganya, dan kerjasama dari sesama yang lainnya. Padahal, semua segala sesuatu yang diraihnya tersebut adalah hasil dari kerjakeras, banting tulang menahan kerasnya cemoohan dan gesekan peluhan keringat, menahan panasnya terik matahari orang-orang dibawah yang menopangnya. Karena itu, manusia-manusia yang sudah merasakan nikmatnya kemawahan harga tahta tersebut, membuat ia memprioritaskan bahkan menuhankan harta-harta tersebut, seolah-olah dia bisa menguasai segala lini aspek aktivitas yang dilakukan manusia. Baik dari aspek pendidikan, agama, sosial ekonomi dan politik pemerintah. Semua nya, dipikirkan dan dikerjakan hanya dengan pandangan bahwa harta uang segalanya. Manusia tersebut menganggap, harta adalah segalanya, jadi bisa membeli segala sesuatu dengan hartanya itu.
Selanjutnya, manusia-manusia yang menadang hartanya atau uangnya adalah prioritas utama dan penting dalam eksistensi sosial hidup masyarakat. Maka, manusia-manusia tersebut menginvestasikan hartanya, menabung, memberi properti, sebagian memberikan bantuan. Pun, tak lupa untuk mewariskan kepada anak-anaknya, dan keluarganya.
Namun, manusia-manusia yang selalu membangga-banggakan atau mengagungkan harta tersebut dalam kondisi tertentu bisa melenyapkan nasib hidupnya, karena di deteksi penyakit tertentu. Manusia menghabiskan harta itu, untuk keluar masuk perawatan di rumah sakit, mmbeli obat-obatan, rutin kontrol kondisi dirinya dan bahkan tak lupa pula adalah manusia-manusia tersebut tak mampu hidup sehat, kuat dan bugar dan interaksi sosial seperti sedia kala. Karena, manusia tersebut perlahan-lahan kondisi tubuhnya semakin menurun, sakit-sakitan dan tak kuat lagi semua pancainderanya. Akhirnya, manusia-manusia tersebut menghabiskan masa-masa hidup muda, tua dan usia tertentu diatas ranjangnya. Dalam kondisi terbaring, lemah tak berdaya, dan sebagainya. Hanya ditemani anak-anaknya.
Lebih lanjut, berawal dari pandangan bahwa harta adalah segalanya yang utama dan penting dalam eksistensi aktivitas hidup sosial beragama dan bermasyarakat. Maka, harta-harta tersebut kemudian digunakan dikembangkan dan diinvestasikan dalam sektor-sektor potensial yang memungkinkan untuk mengembangkan harta tersebut bisa mendapatkan keuntungan-keuntungan.
Dalam kenyataannya, manusia mana yang berpikir harta adalah yang utama dan penting. Maka, secara gagasan dan gerakan nya yang selalu berorientasi, otomatis harta-harta tersebut digunakan untuk membiayai, membantu dan memperluas jaringan bisnis, jejaring politik sosial ekonomi untuk menguatkan modal sosial, menguatkan cengkeraman kaki-kaki raksasa untuk meraih melindungi tahta kekuasaan diruang publik. Namun, berdasarkan dari proses yang dilakukan tersebut membuat manusia-manusia cenderung menyalahgunakan harta tahta tersebut dalam implementasinya. Baik dalam penggunaan korupsi, kolusi dan nepotisme. Pembiayaan kejahatan, mafia dan industri yang bergerak mengarah kepada kerusakan atau kehancuran harkat martabat umat manusia.
Dengan kata lain, dalam konteks sosial politik. Manusia-manusia yang berharta atau beruang itu menggunakannya untuk mendaftar diri menjadi calon kepala daerah, memborong semua partai-partai koalisi, membeli partai bahkan mengincar posisi elit dalam lembaga politik tersebut. Bisa, melobi, membeli dan menyongok pihak tertentu untuk mendapatkan segala sesuatu yang strategis, penting dan utama yang menjadi impian hidupnya. Dengan demikian, manusia-manusia yang berhartawan, bisa berbuat kebaikan maupun kebutuhan, bisa membangun rumahrumah, harta, harta, jabatanjabatan, citra reputasi diri, eksistensi diri, bisa membawa kemuliaan maupun kerusakan. Bisa menuju kemajuan keadaban maupun menuju kehancuran dalam kebiadaban. semuanya kembali kepada pemahaman dan karakter manusia-manusia yang memiliki itu dalam penggunaannya. Namun, dalam kondisi interaksi kenyataan tersebut membuat manusia-manusia terjerumus dalam lembah kezaliman, konflik sengkarut kerusakan dan berakhir tragis.